Part 17. I’m Sorry I Can’t
Ternyata ambulans sampai lebih dulu dari kami. Kami langsung masuk ke ruang IGD. Di sana ayah sedang di periksa oleh dokter jaga. Sudah ada adikku juga di sana.
"Gimana, Rin?" Kataku.
"Ada tulang yg retak, ya kan, Dok?" Jawab adikku, sambil melihat ke arah Pak Dokter, memastikan. Kalau di IGD, malam-malam gini, dokternya biasanya masih muda-muda.
Ayah sendiri sedang tidur sekarang. "Tadi saya udah kasih obat bius, sekalian pain killer. Ada tulang yang retak di pahanya kirinya. Saya sarankan besok langsung aja di oprasi. Biasanya akan dipasang pen lalu di gips sementara. Karena udah berumur juga, biasanya lama penyembuhannya. Tapi besok pagi, untuk lebih pastinya dokter bedah akan visit."
"Oh gitu, Dok. Jadi, bakal nggak bisa jalan, apa gimana ya?" Aku sekarang lebih bawel daripada adikku. Aku merasa bersalah karena memakai mobilnya, membuatnya jadi lebih terlambat sampai ke rumah sakit.
"Tergantung dari lama penyembuhannya."
Kita bertiga cuma bisa diam. "Ibu sekarang urus kamar dulu aja. Supaya pasien bisa dipindah. Terus besok pagi, ketemu sama dokter bedah buat persiapan operasi."
Aku mengangguk. Si Dokter itu pun berlalu. "Aku ke depan dulu ya, ngurus." Kata Nino spontan.
"Eh, nggak usah, No. Aku aja."
"Bawa kartu berobat ayah nggak, Rin?" Lanjutku.
"Udah ada di kasir depan kok."
Aku berjalan ke counter depan. Nino mengikutiku dari belakang. Sekitar hampir setengah jam kemudian, akhirnya ayah di pindah ke kamar rawat. "Kamu pulang aja. Udah hampir jam dua belas. Besok masih ngantor, kan?" Ucapku pada Nino di kamar rawat.
Dia diam sebentar. "Mmh... Kamu yakin, nggak apa-apa berdua aja sama Karin?"
"Iya, nggak apa-apa kok. Kan kalau ada apa-apa tinggal panggil suster. Besok pagi juga dokternya udah ada."
"Ya udah, aku balik ya." Nino berjalan keluar pintu. Aku mengikutinya sampai menuju depan lift.
"Makasih ya, No."
Dia tersenyum. "Iya, sama-sama. Kamu kalau ada apa-apa, jam berapa aja. Telepon aku, ya."
Aku mengangguk. "No more drama, janji?" Katanya lagi.
Aku mengangguk lagi. Lalu pintu lift terbuka. Nino beranjak masuk. "E, eh, No!" Aku menahan pintu lift yang terbuka.
"Mobil aku gimana?"
"Oh iya! Hampir lupa. Mmh, aku suruh supir ambil, terus dianter ke sini aja, ya? Nanti aku kasih nomer handphone kamu ke Pak Mijan. Gimana?"
"Oke!"
"Tapi, paling cepet subuh. Nggak apa-apa? Di Senopati sampe jam tigaan masih rame sih biasanya. Aman lah ya, kali."
"Iya..." Kataku. Tapi tanganku masih menahan pintu lift yang terbuka. Karena tubuhnya juga masih berdiri diantara pintu lift, tangannya pun sekarang ikut menahan lift itu.
Seperti masih ada sesuatu yang ingin kukatakan kepadanya. Tapi apa yaa... Sekitar tiga detik kita sama-sama diam terpaku. Melihat wajah satu sama lain. Mungkin sebenarnya bukan ada yang perlu kukatakan, melainkan, aku belum mau melihatnya pergi.
Entah refleks dari mana. Aku mendekatkan tubuhku ke tubuhnya. Jarak kita yang tadi sekitar setengah meter, sekarang menjadi hitungan senti. Dengan jarak sedekat itu, bisa kulihat wajahnya kemudian memerah. Atas dasar kewajiban menjaga pintu lift agar tidak menjepit kami berdua, tangan kita terasa terpaku di titik itu. Jujur, aku masih kangen sama Nino. Lebih tepatnya, kangen dengan Nino yang seperti sekarang ini.
Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Kebanyakan maen ama itu Bule, jadi bikin gue suka pengen cium-cium di mana aja, deh. Eh, bikin gue jadi lebih lebih ekspresif maksudnya, mungkin. Rasa deg-degan campur perih menyatu di sudut hatiku. Entah kenapa, ada rasa perih ini. Padahal barusan dia baru saja bilang, kalau aku boleh menghubunginya kapan saja. Tapi faktanya, malah terasa seperti aku baru saja kehilangannya.
Masih tanpa kata, dengan sadar, aku melihatnya memajukan juga kepalanya. Bibir kita semakin dekat. Walau belum sampai bersentuhan, tapi bagiku rasanya seperti sudah berkecupan. Rasa yang mungkin datang dari memori masa lalu. Semua rasa yang masih jelas kuingat sampai sekarang.
Aku memejamkan mataku. Satu gerakan lagi kita akan berciuman. Namun tetiba aku merasakan pundaku berat. Aku sontak membuka mata. "Don't, Luna." Aku mendengar suaranya lirih. Dia memilih menjatuhkan kepalanya ke pundaku. Perih itu makin terasa. Satu tanganku kulepas dari pintu lift. Refleksku hanya dapat memeluk punggungnya. Mengusap-usapnya. Dia menolak menciumku.
"Kenapa?" lirih juga aku spontan menanyakannya. Sepertinya aku mulai mengikuti Hanny dengan prinsip YOLO-nya. Aku hanya ingin tahu jawaban kenapa dia menolaknya. Mendengar pertanyaanku, Nino bangun dari pundaku. Mendadak menatap lekat wajahku. Pandangan yang, jika kudefinisikan seperti rasa bersalah, bercampur dengan rindu yang tertahan.
"I can't. I'm sorry, Luna." Katanya sambil menunduk. Dia menggigit bibir atasnya sambil menggeleng. Sedetik kemudian, dia melepaskan kedua tangannya yang tadi menahan pintu lift. Lalu mundur masuk ke dalamnya. Mau tidak mau aku pun harus melepaskan tanganku juga. Sampai pintu lift tertutup. Kita hanya bisa saling menatap.
***
Pagi itu, dokter bedah sudah visit. Aku pun subuh tadi sudah ‘PP’ mandi, ganti, baju dan membawa beberapa baju ke rumah sakit. Nanti siang operasinya. Seharusnya jadi operasi yang biasa aja. Karena tidak ada yang vatal kata dokter bedah. Hanya untuk menyatukan kembali bagian yang retak dengan benda semacam logam. Kemudian, dipasang gips, agar kaku dan diharapkan dapat membuat tulang paha tersebut kembali seperti semula.
"Semalem emang gimana sih, Rin, kok bisa jatoh?"
"Itu, lampu depan kan mati. Yaudah, ayah naek kursi buat benerin. Gue juga lagi di kamar, nggak liat langsung. Tau-tau, gedebuk aja! Pas gue keluar ayah udah di rumput gitu. Kayaknya jatohnya dua kali. Dari kursi ke lantai, terus dari lantai ke taman depan. Gitu."
"Ooh...." Jawabku.
"Lun..." Kata ayah lirih. Aku dan Karin kaget bahwa ayah sudah sadar.
Mendadak, "Gimana sama Nino?" Bingung juga ya, kenapa pertanyaan pertamanya harus soal Nino.
"Nino udah pulang semalem, Yah. Dia cuma nganter ke rumah sakit aja."
"Rin, ini ayah kenapa kata dokter?"
"Tulang paha kiri ayah ada yg retak. Nanti siang operasi. Udah ayah tenang aja ya pokoknya. Biar cepet sembuh."
"Hmmh..." Ayah mengehela nafas panjang. "Maaf ya, ayah jadi ngerepotin."
"Nggak kok. Yang penting ayah sembuh dulu aja." Kata Karin. Sedangkan aku, diam saja.
"Lun, gue sarapan dulu ya." Pamit Karin. Aku kebetulan sudah sarapan pagi-pagi tadi saat pulang ke rumah.
"Iya."
"Tuh, ayah sarapanya di makan juga, ya." Lanjut adikku sembari keluar kamar.
Agak krik-krik nih, seruangan berdua aja sama Ayah. Secara, terakhir kali di rumah aku selalu lebih memlilih menghindarinya. Dan, masih ada rasa kesal ini gara-gara semua paksaannya terhadap hidupku. "Gimana sama Nino, Lun?" Seketika, dia bertanya lagi sambil membuka plastik wrapping yang membungkus sarapannya.
"Nino, baik-baik aja, kok."
"Kamu sama Nino, nggak balikan aja?" Duh, itu pertanyaa atau perintah sih.
Ada gejolak yang timbul seketika dari pertanyaan itu. Terlebih lagi, karena itu terlontar dari mulutnya, ayahku sendiri.
Aku menghela nafas lalu duduk di samping kasur. "Nggak bisa, Yah. Luna sama Nino, udah beda sekarang. Nino bahkan, mungkin, sekarang udah punya hati ke perempuan lain lagi."
"Kamu nggak mau pertahanin dia?"
Aku menggeleng. "Nggak sesimple itu. Untuk perihal Nino, Luna cuma minta ayah mencoba mengerti. Sama halnya kayak Luna dan Karin yang selalu mencoba mengerti apa yang terjadi antara Ayah dan Ibu. Dulu."
***