Part 16. She Changed Me
"Sampai dimana tadi?" Katanya lagi setelah mematikan handphone. Bingung ye, Mak, mau marah, udah dimatiin juga handphone-ya. Mau biasa aja, tapi penasaran, itu 'si Sayang' siapa sih.
"Minta maaf, baikan..." Jawabku, kikuk.
"Eh, kamu mau makan apa? Sampe lupa..." Dia ketawa kikuk juga.
"Mmh, ada saran?" Jawabku sambil membuka-buka menu.
"Duh, di sini nggak ada telor balado, Lun. Gimana dong? Mau pindah?" Seketika dia menahan tawa.
"Ih, apaan sih! Kamu lupa ya, aku sekarang kan udah ke Bule-Bule-an sukanya, Weeek!" Aku menjulurkan lidahku. Tapi lalu Nino seketika memberhentikan tawa kecilnya, berubah menjadi raut yang agak tegang. Ups! Lo bego banget sih, Lun! Pake bahas Bule segala, ah!
Tapi tidak perlu menunggu lama, senyum kecil itu kembali merekah. Ada sehembus sejuk terasa di hati ini. Karena kebodohanku tadi, suasana yang sudah dia bikin cair, sekarang jadi kikuk kembali. Aku bersiap-siap melayangkan garpu kalau dia memperpanjangnya. Lebay gak sih, gue?
"Kamu happy sama dia?"
"HAH?" Jawabku yang lebih terdengar seperti orang budeg, ketimbang orang bingung.
"Kamu denger kok apa yang aku bilang." Ia menjawab selembut kapas. Nino abis makan apa sih? Kok baik banget.
Dia mengacungkan tanganya, memanggil waitress. "Aku nyaman sama dia, No." Jawabku.
"Mau sphageti atau pizza?" Tanyanya.
"Pizza aja biar bisa sharing."
"Papperoni Pizza satu ya, Mbak. Hmm, sama kamu mau minum yang lain?"
"Lemon Mojito satu ya." Si Mbak itu pun pergi dari meja kami.
"Oiya No, kenapa harus sekarang ya? Maksduku, kenapa baru sekarang kamu ngomong kayak gini?"
"Yaaa... Karena aku capek aja, Lun. Kamu nggak capek apa?" Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Tapi, masih ada yang mengganjal, perlu kuluruskan. Sepertinya, ini saat yang tepat.
"Apa karena kamu udah nemuin wanita lain, terus kamu mau nikah lagi, jadi kamu bilang gini sama aku?"
"Wow, wow! Hold on, Luna. Aku nggak bilang begitu, kan?" Jawabnya kaget.
"Iya, ya?" aku nyengir, maksa.
Laki-laki dengan jam fossil di tangan kanannya itu lalu mengambil handphone-nya yang tadi mati. Jemarinya menggoyang-goyangkan handphone mati itu.
"Ooh, maksud kamu, yang tadi?" Aku tidak menjawab. Gengsi lah ngaku cemburu.
"Dia Hanny." Penjelasannya.
"Your ho-ney?" Aku menebak.
"Bukan. Namanya Hanny. H-A-N-NY." Nino mengeja.
"Temenku di kantor." Penjelasannya masih jauh dari kata lengkap.
"Te-rus, you are a couple?"
Nino menggeleng. Kembali sehembus lega menyeruak di dadaku. "Belum." Lalu lega itu kembali menjadi sesak seketika.
"Aku nyaman sama dia. Kita memang deket. Tapi, buat hubungan yang serius, apalagi sampai nikah lagi. Belum kepikiran sampai situ, lah." Ini baru penjelasan yang lengkap buatku.
Makanan dan minuman yang tadi di pesan akhirnya datang juga. Kami mengambil irisan pizza itu. Lalu mulai memakannya.
"Kenapa? Kamu cemburu, ya?" Nino emang hobi kayaknya bikin orang kaget sama kalimat-kalimatnya. Aku tidak menjawab, tapi pura-pura sibuk menenangkan diri dari hampir keselek karena kaget sama pertanyaannya..
"Akuin aja, Lun. Kamu cemburu kan sama Hanny?" Liriknya, sambil mengunyah pizza. Lirikan menggoda yang sama, yang dulu selalu dia lemparkan ketika sedang membuat lelucon garing denganku.
"Nggak kok. Biasa aja." Aku bernada sedatar mungkin, kufokuskan pada mulutku yang penuh dengan pizza.
"Udah, ngaku aja lagi. Aku juga cemburu banget waktu kamu cium-cium itu Bule di Hard Rock. Malah, dari kita ketemuan di Beachwalk, pertama kali aku lihat kamu duduk sama itu Bule. Aku tahu, dia bukan hanya sekedar teman."
Aku masih diam. Mengosongkan mulutku. Lalu menggelontornya dengan Mojito. "Iya. Aku cemburu. Padahal... Itu nggak seharusnya terjadi. Kita udah cerai, dan kamu benar, kenapa kita masih terasa saling menyakiti satu sama lain, ya." Ungkapku.
Kembali senyum itu merekah di bibir tipisnya yang basah karena habis meminum bir putih yang sejak pertama sudah dipesannya. "Nah! Akhirnya kamu paham, kenapa aku ajak ketemuan."
"Siapa nama Bule itu?" Lanjut Nino.
"Kamu beneran mau tau?" Aku ragu. Takut dia nanti emosi lagi.
"Luna, percaya deh. I'm changed. Sakit? Pasti. But we have to let it go. Kita harus sama-sama belajar buat begitu."
"Namanya Charlie. Kita kenalan nggak sengaja waktu lagi makan siang gitu. Dia baik, awalnya kita cuma temenan. Ya, di Bali aku kan, nggak punya temen. Tapi lama-lama, kita saling nyaman."
"Good." Jawab Nino kembali dengan mulut penuh.
"Oh iya, kamu mau tau, alasan sebenarnya kenapa aku ke Bali?"
"Buat nulis, kan?" Dia menjawab spontan.
"Mmh, iya sih, nulis juga. Tapi... Actually, karena aku mau ngelupain-kamu... No." lirih, tapi rasanya enak sekali bisa mengobrol dengan Nino dalam keadaan seperti ini. Seperti bertemu dengan orang baru, tapi dengan casing lama. Aku nggak tahu kenapa aku harus sejujur ini. Tapi, ini sangat melegakan rasanya.
Dia mendongak ke arahku. "Berhasil?" Lagi-lagi kalimatnya berhasil membuat score kita 1-0.
"Menurut kamu?" Aku balik tanya. Tapi reaksinya hanya diam berpikir.
"Aku pernah sebel banget sama kamu lho, Lun. Tapi terus, I didn't know why, I just kind of missing you, suddenlly. Surat-surat, itu cuma basa-basi aku aja. Pas aku tau kamu di Bali, aku langsung ke sana. Padahal nggak tau juga mau ngapain aku di sana. Cuma mau lihat kamu aja. But then I saw you with him, rasa kangen itu berubah lagi jadi sebel. Ya, I hate you again. Sampai kamu siram aku di Mall waktu itu-"
"Eh iya, maaf banget ya yang waktu itu. Aku..."
"Nggak apa-apa. Dari situ aku baru mikir, bahwa, kamu juga cemburu sama aku-yang aku nggak pernah sangka sebelumnya. Dan, aku mikir lagi, what happened to us? We hate each other, we love each other, then we lose each other."
Mungkin aku sudah kenyang. Rasanya pizza di kerongkonganku tidak bisa tertelan. Aku tidak bisa berkomentar banyak dari kalimat-kalimat Nino. Semuanya yang ia bilang itu, benar.
"Kamu salah makan apa sih, No? Kok tumben wise ba-nget..." Jujur aku terkesima.
"Apaan sih, Luna. I told you, I'm changed. She changed me." Sesak itu menghampiri dadaku lagi.
"Oh, really?"
"Perhaps." Nino cuma tersenyum.
"Kamu sendiri sama Charlie, gimana?"
"Hah?" Aku bego mendadak lagi gara-gara pertanyaan tentang Charlie.
"Sayangnya, kita udah lose contact. Handphone-nya nggak aktif dari beberapa bulan lalu. Aku sekarang lagi fokus nulis aja. Karena, ya... You know, Ayah terus-terusan, nyuruh aku buat kerja kantoran lagi. Passionku di nulis, No. Aku nggak mau lagi nine to five di sesuatu yang aku nggak suka."
Dia mendengarkanku dengan seksama. "Good. Semangat, yah!" Dia tersenyum semanis madu, lagi.
Kita sekarang sudah tidak sama-sama makan pizza. Sudah kenyang.
"Waktu aku lihat kamu di Hard Rock itu, aku emang kebetulan aja lagi iseng nongkrong. Bukan stalking kamu, lho. Terus tiba-tiba aku lihat kamu sama Charlie masuk. Mana kamu aku telelponin nggak diangkat-angkat, lagi. So, that moment was just made me starring at you two. He was so sweet, he gave you a song, hugged you, kissed you. Kalian itu jatuh cinta. So, go get him!"
Aku yang sekarang gantian tersenyum. "Nggak semudah itu, No. It feels... traumatic."
"Find him! Apa yang aku lihat nggak mungkin salah. Dia nggak bohong. Dia jatuh cinta sama kamu. Datang ke Bali lagi. Cari dia. Siram dia aja kalau pas kamu ketemu, dia malah lagi sama cewek lain."
"HAHAHA... Nyindir yaa..."
"Hahaha... Itu untung dingin lho. Coba kalo waktu itu yg aku bawa hot coffee, aku tuntut pidana nanti kamu." Barisan giginya yang rata terlihat dibalik tawanya. Sudah lama sekali rasanya aku tidak melihatnya tertawa lepas seperti ini.
"What she did to you, No? Gimana cara dia bisa bikin..."
"Ooh... Nggak, nggak ada yang spesial kok. Biasa aja. Hanny cuma bilang, jangan pernah memendam. Slogan hidupnya YOLO, You Only Live Once, ngapain pakai harus ada yang ditahan-tahan. Tapi, aku belajar banyak dari itu."
Aku manggut-manggut. Rasa sesak itu masih menghampiriku. Setiap kali kudengar Nino menyebut nama perempuan yang namanya menyerupai madu itu.
"No, was it hurt?" Tanyaku spontan. Pengen tau aja.
Pertanyaanku, menyetop tawanya. "What hurt?"
"Waktu kamu di Hard Rock, was it feel hurt for you?"
Dia tertunduk. Menghela nafas lalu dia mengangguk. "Makanya, aku marah banget besoknya di pesawat."
"Tapi... Ya sudahlah ya... Yang penting, kita udah nggak di fase itu lagi sekarang, kan?" Lanjutnya.
Gantian aku mengangguk.
"Kamu naik apa ke sini?"
"Pakai mobil ayah."
"Oh. Makannya udah? Pulang yuk!"
Dia mengantarku sampai ke mobil. Kita mengobrol ringan sambil berjalan berdampingan di pinggir jalan dan diterpa angin malam sepoi-sepoi. Lagi, kalau ada orang yang melihat, pasti mereka akan bilang, "Wah, romantis banget, sampe dianterin ke mobil segala ceweknya." Hey, kita ini mantan suami-istri yang baru aja baikan, bukan rujuk. Kenapa juga sih aku selalu peduli dengan apa kata orang, ck!
"Apa kabar Ayah dan Karin?"
"Baik. Nggak lama lagi ayah pensiun. Kalau Karin, dia masih kuliah kayak biasa aja. Nggak tau tuh, kapan lulusnya. Mama apa kabar?"
"Alhamdulillah baik. Bulan depan katanya mau umroh."
Akhirnya kita sampai di depan mobil. "Bye No..." Aku benci setiap saat di sebuah perpisahan.
"Bye. Hati-hati ya nyetirnya, udah malam." Gesture kita sama-sama kikuk. Dia membuka kedua telapak tangannya. Lalu mengusap-usap bahuku. Kemudian terhenti di pundak. Dua detik ia diam di situ.
"Aku pulang, ya." Jarinya lalu menunjuk ke arah Laberista.
Aku mengangguk. "Take care." Lirih dengan senyum manis, kataku.
Lalu ia berbalik badan dan berjalan ke arah Lounge itu. Seketika nada dering Calvin Harris terdengar di telingaku. Ah, pasti ayah. Aku melihat nama adikku muncul di layar. Oh, pasti ayah menyuruh Karin untuk meneleponku.
"Hallo, lo dimana?!" Nadanya mirip orang marah-marah.
"Apaan sih? Gue abis ketemu Ni-"
"Ayah jatoh, nih! Gue mau bawa ke rumah sakit, nggak ada mobil."
"HAH! Iya, iya! Gue balik sekarang."
Aku panik. Rasa bersalah campur khawatir tumpah ruah seketika. Bingung juga ya, kalau aku pulang, paling cepat satu jam baru sampe rumah. Belom lagi jalan ke rumah sakitnya. Sepersekian detik aku berpikir.
"NO! NINOO!" Aku berteriak. Seolah memberi pengumuman kepada semua yang ada di pinggir jalan, yang mana sih orang bernama Nino itu.
Nino berbalik, menoleh ke arahku. "Kenapa?" Dia mangap-mangap menjawabku tanpa suara. Dia tidak sebodoh itu kayaknya, untuk membalasku dengan berteriak juga.
"Sini sebentar!" Aku masih tetap berteriak.
Dia semi berlari ke arahku. "Ada apa, Lun?" Dia ikut panik.
"Ayah jatoh. Kata Karin, mau dibawa ke rumah sakit tapi nggak ada mobil. Kayaknya parah deh. Gimana yah? Tolongin dong...." Aku juga nggak yakin sih, bantuan apa yang kuperlukan dari Nino. Aku cuma, panik.
"Sekarang posisinya dimana?"
"Di rumah."
"Bentar." Nino langsung menelepon rumah sakit, minta dikirim ambulans ke rumahku. Dia masih hafal alamat rumahku ternyata.
"Kita sekarang langsung ke rumah sakit aja kali ya. Biar nanti barengan sampainya."
Aku membuka pintu mobil. "Ini biarin aja di sini. Nanti bisa diambil sama supir aku. Kamu bareng aku aja." Iya sih, belom pernah juga aku menyetir dalam keadaan panik gini. Nino lalu menekan tombol gembok di kunci yang kupegang. Kemudian menarik tanganku berlari ke arah mobilnya.
***