Part 10. Bola Delapan
CÉTAK!
Bola putih itu melesat, menabrak sekumpulan lima belas bola lainnya. Tapi tidak ada satu bola pun yang masuk ke lubang. Sodokan pertama Gina tampaknya gagal.
"Bola kecil aja, Lun." Kata Doni kepadaku. Aku mendengar kalimat Doni tapi tidak menjawabnya. Kucari bola bernomor di bawah sembilan-selain delapan, yang memungkinkan kumasukan ke lubang. Setengah meja aku berkeliling. Kuputuskan melesatkan bola putih itu ke bola berwarna biru, nomor dua. Tidak seratus delapan puluh derajat lurus dengan lubang, tapi jika kusentuh bola biru itu dengan bola putih di sudut kanannya, kupikir bola bernomor dua itu akan masuk.
"AARGH!" Kataku gagal memasukannya. "Kurang pinggir dikit lo tadi." Kata Doni.
"Kecil apa gede nih, sayang?" Kata Ical kepad Gina.
"Bebaaas." jawab Gina.
CÉTAK!
Bola putih itu sukses menggiring bola berwarna hijau-putih bernomor empat belas masuk ke lubang. Kulihat Ical tersenyum puas. Lalu ia beranjak mengarahkan stiknya ke sudut lain bola putih tadi, sekarang ke arah bola bernomor sembilan. Lima detik kemudian. "Tai! Masuk lagi!" Umpat Doni.
"HAHAHA... Sabar ye, Don. Lo se-tim ama gue, pas-pasan." Kataku.
"Lo lebih jago kok ketimbang Gina. Tapi sayangnya, Ical juga lebih jago dari gue." Jawab Doni.
"Yang kalah ada hukumannya, dong!" Ucap Gina di ruangan berukuran sekitar 5x5 meter itu. Ical punya meja billiard di rumahnya. Oh, jangan ditanya apa yang sudah sering Gina dan Ical lakukan di atas meja billiard itu. Dua bulan lagi mereka akan menikah. Mereka semua teman satu kampusku dulu. Iya, teman kampus, artinya teman-temannya Nino juga. Dulu, kita satu geng, termasuk Nino.
Anggota lengkap kita sekitar tujuh orang. Empat laki-laki dan tiga perempuan. Tapi seiring waktu, tinggal segini aja yang masih suka ngumpul. Sampai satu tahun setengah lalu, aku masih suka se-tim dengan Nino jika sedang memainkan bola delapan ini. "Hukman, hukuman... Hidup gue udah susah, jangan pake dihukum-hukum segala deh!" Timpalku.
"Jiaaah... Dia Baper!" Kata Ical yang sekarang duduk di kursi minibarnya melihat aksi Doni memasukan bola bernomor lima.
"Lo jadi pisah ama Nino emangnya?" Tanya Gina.
"Perlu gue jawab?" Kataku.
"Jalan lo." Kata Doni ke Gina.
Gina mengarahkan bola putih itu lagi ke nomor dua belas. Mendorong stik menyentuh bola putih, tapi bola putih itu malah menyentuh bola nomor delapan dan tidak ada bola yang masuk satu pun. Aku langsung bangun dari dudukku, menjalankan giliranku di game ini. Kumasukan bola nomor tujuh dengan mudah. Lalu kulanjutkan membidik bola bernomor satu sekarang. Tapi gagal. "Tar juga lo balikan lagi paling ama Nino." Ucap Doni.
"Gak bakal." Jawabku sambil berjalan ke arah kursi tinggi itu, memberikan kesempatan untuk Ical menjalankan gilirannya.
"Lo serius, Lun, si Nino beneran mau cerai-in lo?' Kata Gina mulai serius.
"Lah, kan udah gue bilang tadi, kemaran itu kita udah ketok palu."
"Si Nino kok gitu sih? Dia kenapa sih?" Kata Gina. Permainan ini kayaknya lebih seru bagi aku dan Gina untuk menjadi ajang curhat dan rumpian, ketimbang memasukan bola-bola itu ke lubangnya.
Aku mengangkat bahuku. "Sabar aja, tar juga lo ketemu jodoh yang sehidup semati. Lo ama Nino, gak jodoh berarti. Udah, gitu aja, kok repot!" Kata Ical setelah memasukan dua bola bernomor di atas sembilan tadi.
"Yee... ya repot lah, Cal! Selain hati gue yang patah, terus sekarang, gue mau makan apa? Kan dulu Nino yang nggak ngijinin gue kerja. Dan bodohnya, gue nurut lagi!"
"Apply lagi aja lah. Or, lo katanya nulis sekarang?"
"Iya, freelance doang. Cari kerja kan nggak gampang, Cal." Jawabku. Kami berempat lalu terdiam.
"Udah, kalah aja lo! Bola gue tingal satu lagi tuh, lo masih tiga." kata Ical ke Doni.
"Eits! belom tentu. Tunggu ampe abis dong." Tukas Doni yang berhasil memasukan satu bola bernomor kecil. Sekarang beralih ke giliran Gina.
"Kenain tengah atasnya, Sayang." Kata Ical ke Gina. Memandunya agar memasukan sisa satu bola terkahirnya sebelum bola delapan.
CÉTAK!
Kembali, Gina tidak memasukan satu bola pun. Malah membuat bola putih itu sejajar dengan bola bernomor tiga dan lubang.
Lalu, "Gue, ya!" Kataku bersemangat.
Timku dan Ical cuma selisih satu bola. Kudorong kencang dan pasti Stikku menyentuh sisi bawah bola putih. Satu ayunan saja, bola berwarna merah itu masuk ke lubang. Seakarang, posisi kita sama.
Dengan jantung berdegup, aku mendorong bola putih meunju bola bernomor empat. Dan, "Yeaay!!" Masuk lagi. "Abisin, Lun." Teriak Doni.
Dengan degup jantung yang sama, aku mendorong bola putih itu lagi menuju bola kramat berwarna hiitam, bernomor delapan. "Aiish!! dikit lagi ituu!" Umpat Doni. Aku pun berjalan lesu ke arah kursi.
CÉTAK! CÉTAK!
Pas! Hanya butuh dua sodokan cepat bagi Ical untuk menghabiskan bola-bola di atas meja itu.
Tadi siang Gina meneleponku, menawari menjemputku ke rumah di hari sabtu ini. "Jalan, yuk!" kata Gina. Langsung saja kuiyakan ajakannya. Akhirnya dia mengajakku ke rumah Ical, yang saat kita sampai, disana sudah ada Doni. Doni sendiri sudah menikah tahun lalu. Saat kapal pernikahanku dengan Nino goyang, kami masih sempat datang bersama ke pesta pernikahan Doni waktu itu. Istrinya bukan teman satu kampus kita.
"Lo Don, nggak akan bernasib sama kayak gue, kan?" Sindirku cengar-cengir.
"Astagfirullah! Kagak lah, Lun. Si Widi lagi dines keluar kota aja."
"Ya biasa aja kali, Don, jawabnya. Ampe istigfar gitu..." Aku manyun.
"HAHAHA... Sorry, sorry. Gue sekarang emang lagi memperbanyak dzikir, Lun."
"PRET!" Timpalku
"Jalan lo!" Kata Ical ke Doni setelah memecah sekumpulan lima belas bola itu, dan memasukan satu bola bernomor kecil.
"Gue yang gede ya sekarang?" Kata Doni.
Doni memasukan satu bola bernomor tigabelas. Lalu gilirang Gina sekarang.
"Lo mending diem aje deh, Gin. Ical maen sendiri juga menang kayaknya." Kataku.
"Hehehe... Nggak guna banget ye, gue kayaknya di game ini." Jawabnya setelah tidak satu pun bola bernomor kecil bisa dimasukannya.
"Tapi kamu berguna kok di hidup aku, Sayang." Gombal Ical sambil menarik pinggang Gina ke arahnya.
Aku dan Doni sama-sama memasang muka eneg. "Mau lanjut apa mau ngamar aja nih lo berdua!" Kata Doni.
"HAHAHA... Lo berdua pathetic banget sih. Yang satu baru cerai, yang satu lagi ditinggal istri dines weekend-weekend gini." Ical malah makin meledek.
"Balik aja yuk, Don!" Aku melengos berdiri berjalan mengarah ke pintu.
"Eeeh.... Iya iya. Becanda Luna! Lo sensi amat sih." Timpal Ical. Lalu Gina merangkulku balik ke kursi.
"Orang yang abis cerai itu, sensinya LIMA KALI CEWEK PMS TAU!" Kataku.
"Oowwhh..." Gina mengusap-usap punggungku.
"Tau, kamu, Kalau ngomong jangan asal dong, Yank!" Ical cuma cengar-cengir.
"Gue balik dulu ya! Widi udah take off nih katanya dari Palembang. Gue jemput dia dulu di Soeta." Pamit Doni.
"Oh. Gue juga balik deh." Males juga kan ya jadi obat nyamuk Gina dan Ical. Aku pun memesan taksi online, mengingat hari ini sudah gelap.
***
Lamunanku kembali melayang ke arah luar jendela mobil taksi online yang sedang kutumpangi. Seketika handphone-ku berbunyi. Muncul sebuah nama yang-kayaknya hampir bikin aku nangis mendadak karena saking senangnya.
"Hallo." Sapaku sumringah.
"Hai..." Jawabnya kikuk di seberang sana. Dua detik kita berdua terjeda sama-sama diam.
"Mmh, I'm sorry, I called you in this late of night-" Katanya.
"Di sini belom jam sembilan, kok." Langsung kupotong kalimatnya.
"Oh. Mmh... Luna, I just, I, wanna hear your voice."
"Me too, Charlie."
Ada suara tawa kecil di seberang sana. Terbayang jelas olehku eksprisnya.
"How are you?" Tanyanya.
"Just cut the shit!"
"What?" Dia sepertinya bingung.
"Aku di sini baik-baik aja, kok. And, don't you dare to guess how much I miss-"
"Do you really miss me?" Dia memotong kalimatku.
"Actually, all I just wanna say is-your cake." Aku berucap sambil menahan tawa.
"HAHAHA.... "Belum sebulan, tapi rasanya sudah seabad bagiku tidak mendengar suara tawa renyahnya itu.
"Oke. I'm not going to ask about you again. Now, how's your Dad?"
"My Dad? He is fine." Aneh aja ya, ada yang nanya kabar ayahku, padahal ketemua aja belum pernah. Tapi, ya kali masa dia mau nanya kabar Nino.
"Good. You doing fine with him?"
"Ye-ah... At least, I'm still being his daughter, maybe." Jawabku sambil mengangkat satu tangan. Kembali kudengar tawa kecil di telinga.
"Kamu lagi apa?" Suasana sudah mencair. Tanpa perlu usaha yang keras, seakan hidungku dapat mencium bau pasir basah itu.
"Aku lagi di jalan. Tadi abis ketemu temen."
"Well... kamu punya teman juga ternyata."
"HAHAHA... Punya dong!" Lalu pembicaraan kita berlangsung sampai sesaat sebelum aku turun di depan rumah.
Aku tidak punya rencana kapan akan menghubungi Charlie lagi. Aku memang tidak terbiasa merencanakan hidupku. Mungkin itu salah satu kesalahanku juga. Tapi malam ini, Charlie berhasil membuatku merasa seperti anak SMA yang lagi jatuh cinta, pacaran, terus LDR-an, cengar-cengir sendiri di kamar, ngelus-ngelus fotonya di handphone, terus ketiduran sambil masih senyam senyum. Norak banget nggak sih gue!
He said, "I'll be waiting for you here," at the end of the phone. Succesfully made me kind of freaky teenager.
***