16
Aku tengah menimbang-nimbang, apakah perlu menanyakan padanya perihal "pergi nonton berdua" itu atau tidak. Kurangnya bukti membuatku takut kalau dugaanku salah dan ia justru akan berbalik marah padaku, namun hal ini sangat mengganjal jika tidak ditanyakan. Memang aku hanya melihat foto dua buah tiket dipegang oleh sebuah tangan yang kuduga adalah tangan demigod-ku di kiriman Instagram Kak Laras.
Kuseruput milk tea vanila ku sekali lagi sebelum akhirnya kuberanikan diri untuk memecah keheningan yang telah menyelimuti kami sejak beberapa menit lalu dengan bertanya, "Mas, dua hari lalu, siang menjelang sore aku ke tempat mas tapi masnya lagi pergi sama Kak Laras ya?"
Ia sontak menoleh ke arahku, membuatku menciut.
Posisi kami adalah di taman sebelah lapangan parkir sekolah dan sore ini tidak ada orang lain selain kami berdua di sekitar sini.
"Kamu tau darimana aku pergi sama Kak Laras?"
Oh, jadi benar?
Aku ingin marah, ingin menangis, tapi tak berani dan yang dapat kulakukan hanyalah diam.
.
Tak ada lagi pembicaraan diantara kami setelah itu hingga aku ditelepon oleh ibuku diminta untuk segera pulang. Ia bahkan hanya menjawab pamitku dengan sebuah anggukan tanpa menawarkan diri untuk mengantar. Marahkah ia? Bukankah aku yang seharusnya marah? Diam bukanlah solusi, seharusnya jika memang tidak ada apa-apa diantara mereka ia menjelaskan padaku atau setidaknya menjawab agar semuanya pasti dan tidak ada ganjalan diantara kami.
Malam inipun aku tak bisa tidur memikirkannya yang juga sama sekali tidak mencoba menghubungiku atau sekedar mengirim pesan menanyakan sudah makan atau belum seperti biasa. Disini aku mulai khawatir hubungan yang telah kami perjuangkan selama ini akan kandas begitu saja?
Saat ini aku butuh sandaran, butuh tempat untuk bercerita, namun tak satupun dapat kupercaya.
.
Bahkan hingga pagi ini Elios sama sekali tak menghubungiku padahal kutahu dia menyukai beberapa kiriman di timeline semalam. Aku juga tak berusaha mengbubunginya terlebih dahulu, biar kami sama-sama tenang barulah. Jujur saja aku juga takut hubungan kami akan memanas dan berakhir pada perpisahan jika aku terus mengejarnya membahas hal itu yang tentu tak disukainya.
Yakin ia tak akan menjemputku pagi ini namun juga tak enak untuk meminta tumpangan Kenand disaat kondisinya seperti ini aku meminta ayah memutar arah mengantarku terlebih dahulu sebelum berangkat ke kantor. Masalahnya aku juga bangun kesiangan dan waktuku tak cukup banyak untuk bisa tiba di sekolah tanpa terlambat jika harus menunggu angkutan umum atau bus yang jarang-jarang lewat depan gang rumahku.
"Kok tumben nggak bareng Elios?" tanya ayah saat kami sudah hampir sampai di sekolahku.
"Sekali-kali kan pengen dianterin ayah," jawabku berusaha tanpa menyinggung soal Elios sedikitpun.
"Sering-sering dong jangan sekali-kali."
"Iya, Yah, tiap hari ya kalau gitu."
Ayah mengangguk pasti.
Kami terdiam selama beberapa saat hingga ayah menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang sekolah.
"Kamu nggak ada masalah kan sama Elios?"
"Tenang aja, Yah." Aku mencium tangan ayah dan segera turun dari mobil sebelum ditanya lebih lagi tentangnya.
***