11
Hingga detik ini aku masih belum mengerti apa maksud dari bisikan Kak Mimin pagi itu, juga aku tak memberitahukannya pada Kenand, kurasa tak perlu lah. Aku juga tak menemukan perubahan pada Kak Mimin sedikitpun, atau aku yang kurang peka? Kalau ini terjadi beberapa minggu atau bahkan beberapa hari sebelumnya mungkin aku akan menceritakannya pada Elios dan meminta pendapatnya, tapi kini aku sudah terlanjur nyaman tanpanya, bahkan sudah lebih dari seminggu ini kami tak berkomunikasi sama sekali meski beberapa kali berpapasan di koridor kelas. Bukan berarti hubungan kami berakhir begitu saja, aku tentu masih bersamanya, hanya saja ia bukan prioritasku saat ini, begitupun sebaliknya.
"Thia! Thia!"
Aku merasakan seseorang menepuk-nepuk punggungku.
"Hm?"
"Thia, bangun."
"Eum?" Aku mengangkat kepalaku yang sedari tadi kuletakkan di atas meja. Rupanya Tata yang menyangka aku tengah tertidur di dalam kelas.
"Itu, Kenand, sama Kak Mimin," ucapnya ragu-ragu sambil menunjuk ke arah luar kelas.
"Kenapa sih?"
"Itu, lihat aja sendiri."
Malas-malasan aku bangkit dan membawa ranselku. "Dimana?"
Tata berjalan mendahuluiku. "Ikut aja sini."
Memang sejak jam pelajaran terakhir usai aku memutuskan untuk menunggu di dalam kelas saja sembari mengerjakan tugas kemudian beristirahat dengan meletakkan kepala di atas meja setelah menyelesaikan tugasku. Kenand ada eksul bulu tangkis dan aku harus menunggu untuk bisa pulang bersamanya.
"Itu, Thi, sana deh bantuin, aku pulang duluan. Daaah..." Tata berlari meninggalknaku begitu saja di depan aula sekolah setelahnya.
Memang aku dekat dengan keduanya tapi bukan berarti aku bisa ikut campur begitu saja kan?
Aku hanya melongok masuk ke dalam aula kemudian kembali lagi ke tempatku semula. Hanya ada mereka berdua, tak enak jika aku mengganggu. Ah, lebih baik aku pulang sendiri saja lah.
Sekali-kali mungkin ada baiknya aku mampir dulu ke toko aksesoris seberang sekolah sebelum pulang dengan bus. Teman-temanku banyak mendapatkan pernak-pernik lucu dari sana dan aku sudah lama tidak memperbaharui perlengkapan sekolahku, bahkan aku masih menggunakan kotak pensil dan penggaris yang sama seperti saat SMP.
Untuk pertama kalinya aku mengunjungi toko serba pink ini, sebelumnya aku hanya pernah beberapa kali lewat tanpa berkesempatan untuk mampir, sejak awal aku selalu berangkat dan pulang sekolah bersama Elios kemudian dilanjutkan dengan Kenand yang mana mau menungguiku cuci mata.
Saking excited-nya aku sampai bingung mau beli barang apa, sejari tadi aku hanya berjalan kesana kemari, mengambil satu barang, membawanya, kemudian mengembalikan ke tempat semula ketika menemukan barang lain yang juga menarik perhatianku. Masalahnya uangku terbatas, sangat terbatas. Seingatku hanya ada dua lembar uang kertas di dalam dompetku, satu berwarna biru dan yang lainnya ungu serta beberapa keping uang koin yang harus disisakan untuk membayar ongkos bus nanti jika tak mau pulang berjalan kaki nanti.
"Dek?"
Aku yang tengah berjongkok memilih-milih lampu tidur berbagai bentuk mendongak. Benar saja, siapa lagi yang memanggilku seperti itu?
"Kok disini, Mas?" tanyaku sembari bangkit berdiri.
"Justru Mas yang harusnya tanya, kamu ngapain disini?"
"Mau beli ini." Aku mengangkat dua buah lampu tidur di kedua tanganku.
"Kok sampai jam segini?" Mulailah ia menginterogasiku.
"Kenand ada bulu tangkis."
"Kenapa harus bareng Kenand?"
"Ya daripada jalan kaki."
"Pulang aja sama aku, aku nggak suka kamu terlalu dekat sama Kenand. Ayo sekarang pulang."
"Ya deh iya, aku bayar dulu."
"Nggak usah, besok lagi aja, udah sore." Ia memaksaku mengembalikan barang pilihanku ke tempatnya semula tanpa memberiku kesempatan untuk menolak dan menarikku keluar.
***