10
Seminggu kebelakang ini Kenand selalu menjemputku di pagi hari dan mengantarkanku siang atau sore hari sepulang sekolah, memang karena setiap berangkat dan pulang sekolah ia selalu melewati rumahku berkat jalan pintas yang diberitahukan Tata. Dengan begitu aku tak perlu lagi repot-repot berjalan kaki hingga ke jalan raya dan menunggu angkutan umum atau parahnya berjalan kaki sampai ke sekolah seperti saat itu lagi. Hemat ongkos, hemat tenaga, hemat waktu itu jelas. Maka dari itu sebagai ucapan terima kasih aku mentraktirnya es krim sore ini sepulang sekolah meski hasil nilai ulangan kami hari ini seri, sama-sama mendapat nilai penuh.
"Mau rasa apa?" tanyaku pada Kenand yang duduk berhadapan denganku.
"Apa aja boleh, manut yang bayarin."
Aku memesan untuk kami dan kembali ke tempat dudukku semula, kulihat Kenand tengah sibuk berkutat dengan ponselnya, jadi nggak enak mau ganggu.
"Eh, udah disini lagi, kok nggak bersuara." Ia buru-buru menyimpan kembali ponselnya di saku.
"Iyalah, emangnya aku kuda kalau jalan suaranya berisik. Atau kamunya aja yang terlalu asyik sampai nggak sadar ada aku."
Ia tersenyum. "Kamunya yang nggak bersuara, aku nunggu kali dari tadi."
"Ngapain nunggu?"
"Nunggu es krimnya."
"Kan nanti diantar."
"Oh iya, hehehe..."
*
Makin hari aku dan Kenand semakin dekat didukung oleh ketertarikan dan cara pandang kami yang memiliki banyak kesamaan. Namun bukan berarti aku hanya berteman dengan Kenand dan tidak bergaul dengan yang lainnya, tentu aku juga berusaha untuk akrab dengan semuanya. Hanya saja aku paling banyak menghabiskan waktuku bersama Kenand kini, tak hanya berdua, kadang Kak Mimin bergabung bersama kami.
Seperti pagi ini, kami sarapan bubur ayam di kantin bertiga sambil membantu Kak Mimin menghafal untuk ulangannya di jam pertama.
"Bentar deh bentar," cegah Kak Mimin. "Nggak konsen dua-duanya nih, buburnya nggak kerasa nikmat, hafalannya juga nggak masuk."
"Yaudah habisin aja dulu buburnya terus belajar," ucap Kenand sembari membolak-balik buku sejarah Kak Mimin.
Hanya berselah beberapa detik setelah Kak Mimin mengembalikan mangkuk kosongnya bel masuk sudah berbunyi yang berarti tidak ada lagi kesempatan untuk kami membantunya belajar.
"Good luck, Kak," ucapku padanya sebelum kami berpisah dan menuju ke kelas masing-masing.
Ia tersenyum dan mengangguk ke arahku.
Aku dan Kenand sudah hampir berbelok menuju ke kelas kami ketika Kak Mimin berbalik dan melompat hinggap di punggungku. "Thia, aku titip Kenand. Aku percaya sama kamu," bisiknya.
***