7
"Tuh kan, aku kan cuma nurutin apa yang kamu mau." Ia justru berbalik menyalahkanku ketika aku mengadu padanya perihal orang-orang yang mulai membicarakanku di sekolah. "Aku udah tau bakal begini ceritanya, tapi kamu tetap mau begitu, nanti kalau aku nolak dikira aku ada apa-apa."
"Iya, iya, udah, aku tau aku salah."
Ia menatapku malas dan membuang muka.
Huh!
Setelah bertahun-tahun berjalan dalam damai akhirnya kami bertengkar juga meski tak begitu hebat, dan awal mula permasalahannya hanya bermula dari pesan status messenger saja. Konyol.
Lewat beberapa saat kami sama-sama terdiam, ia menatapku dan berdeham pelan meminta perhatianku.
Aku memberinya kode untuk berbicara saja.
"Dek," ia memulai dan menarik serta menghembuskan nafas panjang sebelum melanjutkan, "kita fokus sekolah aja dulu, fokus sama pelajaran, jangan sampai nilai kita berantakan gara-gara ini."
Aku setuju dengan apa yang ia katakan.
"Kita tetap jalan seperti biasa, tapi aku minta jangan utamakan ini. Bukan berarti dikesampingkan. Eum, gimana ya? Maksud aku nggak mau ini ganggu sekolah kita."
"Iya." Aku mengangguk. "Aku setuju kalau sekolah yang utama."
.
Meski memutuskan untuk fokus sekolah namun bukan berarti kami go our separate ways, kami masih berangkat dan pulang sekolah bersama, namun jika sudah di lingkungan sekolah kami hanya seperti kakak kelas dan adik kelas biasa. Sekolah adalah tempat untuk belajar bukan pacaran, itu yang harus kami pegang.
"Kayanya aku sama Kak Mimin juga harus ngikut kalian deh, nggak enak juga kan kalau ntar sampe ke guru-guru, kasian Kak Miminnya," ucap Kenand sembari menutup buku tulisnya.
"Udah terlanjur pada tau sih kayanya."
"Nggak apa-apa tau, yang penting kan nggak pacaran di lingkungan sekolah."
Sudah jam istirahat saat ini, namun kami memilih untuk makan bekal di dalam kelas saja ketimbang ke kantin. Malas berdesak-desakan.
"Elios kemarin bilang, daripada telponan cuma ngobrol nanya lagi apa, sudah makan belum, mending mulai sekarang telponan buat nugas bareng, diskusi soal pelajaran," ujarku.
"Nah, bagus tuh, patut dicontoh."
Kami mengeluarkan kotak bekal kami masing-masing dari dalam tas dan mulai membukanya perlahan. Aroma sedap masakan rumahan buatan ibu menyapa indera penciuman kami yang masih berada dalam ruangan kelas.
"Ih jadi laper deh, jahat kalian, aku kan lagi mogok makan ceritanya jadi tergoda nih," protes salah satu teman kami yang niatnya mau tinggal di kelas guna menghindari jajan di kantin. Sejurus kemudian ia telah meninggalkan kelas, kutebak ia menuju ke kantin. Jadilah aku hanya berdua dengan Kenand di kelas saat ini.
Kenand menengok kotak bekalku. "Ih kaya anak kecil makannya telur sama sosis," komentarnya sembari mengaduk-aduk mi instan dalam kotak bekal birunya.
"Daripada mi instan, nggak sehat tau," balasku.
"Tapi enak, yakin nggak kegoda sama aromanya?" ia mendekatkan kotak bekalnya padaku, jujur saja aromanya sungguh menggoda.
"Enak tapi nggak sehat buat apa?"
"Sehat tapi nggak enak, buat apa?" ia tak mau kalah.
"Siapa bilang nggak enak? Enak ya!"
"Cobain kalau enak." Tanpa aba-aba ia mencomot satu potong sosis gorengku dan melahapnya begitu saja. "Eum, iya enak," ucapnya setelah menelan lauk bekalku.
"Curang ih, gantian." Aku mengambil beberapa helai mi dari kotak bekalnya sebagai ganti.
Dan kami berakhir dengan saling membagi bekal. Nasi putih ditambah mi, dengan sosis dan telur sebagai lauk.
***