29
Suatu keajaiban bila aku dapat tidur dengan nyenyak semalam. Bahkan sangat nyenyak. Dengan perasaan begitu bahagia aku terbangun pagi ini, bersiap ke sekolah dan memakai jepit rambut berwarna biru di kedua sisi rambutku diatas telinga untuk pertama kalinya setelah berada di jenjang Sekolah Menengah Pertama. Entah mengapa mood-ku begitu baik hari ini.
"Kok tumben cantik?" tegur ibu saat aku berpamitan dengannya.
"Biasanya nggak cantik gitu, Bu?"
"Cantik dong selalu anak ibu, tapi hari ini beda aja."
Aku tersenyum dan mencium punggung tangannya. "Thia berangkat dulu, Bu, sudah ditunggu Kenand."
"Hati-hati," pesannya.
Diluar Kenand sudah menunggu tanpa turun dari sepeda motornya seperti biasa.
"Mana bunganya?" tagih Kenand begitu melihatku, untung saja aku tak lupa untuk membawanya.
"Ini."
"Yaudah ayo."
Aku menurut saja, membonceng dengan membawa buket bunganya yang masih rapi utuh seperti saat baru dibeli kemarin, hanya aroma harumnya saja sudah sedikit berkurang. Ia tak mengatakan apa-apa dan aku juga tak bertanya lagi soal bunga ini, biar waktu yang menjawab rasa penasaranku yang telah memuncak ini.
Dengan kecepatan sedang kami tiba di sekolah dalam waktu kurang dari sepuluh menit karena jalanan yang entah mengapa begitu sepi, bahkan kami tidak sekalipun bertemu dengan teman yang memakai seragam yang sama dengan kami. Mengherankan.
"Kita kepagian ya?" tanyaku bingung karena kami menjadi yang pertama mengisi halaman parkir pagi ini.
"Iya memang masih jam enam lebih empat menit," ujar Kenand sembari membaca arlojinya.
"Lah?"
"Makanya aku heran kamu kok juga sudah siap, kirain bakal nunggu kamu mandi."
"Aku bangun kepagian berarti, payahnya nggak nengok jam sama sekali."
"Lalu?"
"Ya sudah, masa mau pulang lagi?"
"Boleh sih kalau mau pulang, tapi aku nggak bisa antar jemput. Oh iya, sini bunganya."
Aku menyodorkan buket bunga yang sedari tadi kupegang padanya.
"Aku duluan ya." Kenand berlari begitu saja meninggalkanku yang masih kebingungan.
.
Kenand baru memasuki ruang kelas untuk jam pelajaran pertama kami saat bel telah berbunyi dan renungan pagi akan segera dimulai. Ia menempatkan dirinya di sampingku seperti biasa namun kulihat buket bunga itu sudah tidak bersama dengannya entah apa yang terjadi. Aku tak bisa buru-buru menanyakannya karena wali kelas kami telah berada di muka kelas dan hendak segera memulai renungan pagi ini.
.
Tata berlari dengan terburu-buru kearahku begitu jam pelajaran berakhir, ia kemudian menarikku keluar ruang kelas dengan tiba-tiba. Memang kami harus berpindah ke ruang kelas lain untuk pelajaran berikutnya, tapi tak biasanya ia begini.
"Ngapain sih, Ta?"
"Sini, sini." Ia menarikku ke ruang observasi di depan ruang kelas geografi. "Ada sesuatu yang penting yang kamu harus tahu."
"Penting banget?"
"Banget," jawabnya dengan wajah yakin seyakin-yakinnya.
"Apa?"
"Soal Kenand," ia berbisik di depan telingaku, pelan sekali.
"Kenapa dia?"
"Yakin mau tahu?"
"Tempe aja deh."
"Ih, Thia! Bentar lagi Bu Hana masuk nih."
"Ya makanya cepetan!"
"Kenand jadian sama kakak kelas," bisiknya lebih lirih dari sebelumnya, hampir saja aku tak bisa mendengarnya.
Jantungku seakan berhenti berdetak selama beberapa detik. Salah dengar kan aku? Atau katakan Tata yang salah mengucapkan kalimat.
"Thia, Thia, kamu nggak apa-apa kan?" Tata mengguncang tubuhku panik sementara aku tak dapat merespon apapun, bahkan ketika dari kaca satu arah yang mengarah ke dalam ruang kelas aku melihat Bu Hana memasuki ruang kelaspun aku tak dapat berbuat apa-apa. Tubuhku terasa begitu lemas.
Jadi, bunga itu...
***