28
Kenand menjemputku lebih awal dari biasanya, katanya sih mau ada yang dibicarakan entah apa itu karena kami masih dalam perjalanan menuju ke sekolah. Hmmm, kira-kira apa ya? Jadi penasaranan deh.
"Nand, Nand," panggilku sembari menepuk-nepuk pundaknya ketika kami berhenti karena lampu merah.
"Hm?"
"Baru jam enam lebih sembilan belas loh."
"Biar banyak waktu buat ngobrol."
"Mau ngobrolin apaan sih?"
"Nanti aja."
Dan Kenand kembali melajukan sepeda motornya karena lampu merah telah padam digantikan oleh lampu merah diatasnya.
Kami tiba di sekolah ketika baru ada sekitar dua puluh orang siswa yang hadir sebelum kami, bahkan kantinpun belum buka. Kebetulan juga kami adalah dua orang pertama yang tiba di ruang kelas matematika untuk jam pelajaran pertama kami.
Kenand memilih tempat duduk di pojok kanan belakang dan aku otomatis mengikuti, mengambil tempat duduk tepat di sebelah kirinya.
"Mau ngomongin apaan sih?" desakku tak sabar, penasaran banget.
"Hmmm... Menurutmu, gimana cara paling romantis dan berkesan buat nembak seseorang?"
Sudah kuduga.
"Tapi jangan yang aneh-aneh, yang wajar aja."
"Kok nanya ke aku?"
"Kan kamu lebih tahu."
"Dulu pas sama Kak Mimin gimana?"
"Jangan bahas yang lalu."
"Tanya aja ke Tata yang lebih berpengalaman, aku nggak tahu banyak soal itu."
"Maunya nanya ke kamu."
"Aku nggak tahu."
Nggak surprais lagi dong kalau aku yang kasi tahu caranya ke Kenand?
.
"Thia, temenin aku beli bunga ya," pinta Kenand ketika jam pelajaran terakhir telah usai sebelum kami beranjak keluar dari ruangan kelas.
"Bunga? Mau nyekar?"
"Nyekar katanya." Kenand terkekeh kecil.
"Terus buat apa?"
"Buat menyatakan cinta," Kenand mengucapkannya sambil mengerling nakal lalu pergi begitu saja meninggalkanku yang masih sibuk membereskan buku-buku dan alat tulisku.
Masa aku menemani Kenand membeli bunga untuk diberikan kepadaku?
Memangnya pasti buat aku? Bisa jadi untuk yang lain kan? Kenapa aku jadi begitu yakin?
.
"Ini," ucap Kenand sembari menydorokan sebuket bunga yang baru saja dibelinya.
"Buat aku?"
"Pegangin lah, aku kan bawa motor."
Ini membuatku ingin pingsan saja rasanya, jantungku sudah berdegup kencang sedari tadi dan semakin menjadi setelah Kenand menyodorkan bungannya yang ternyata hanya untuk kupegangkan sepanjang perjalanan karena ia yang akan mengendarai sepeda motornya.
Aku menurut saja. Sambil mempertahankan diri untuk tidak ambruk seketika aku naik ke boncengan motor Kenand. Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di kepalaku.
"Nand, setelah aku turun, yang bawa bunganya siapa?"
Kenand yang sudah hampir melajukan motornya menoleh kepadaku. "Pinter!"
"Hm?"
"Kalau gitu kamu bawa aja, besok pagi bawain lagi buat aku."
"Memangnya buat siapa sih?" Kenand ini membuatku makin penasaran saja.
"Rahasia, besok juga tahu."
Bisa kupastikan aku tak akan tidur nyenyak malam ini.
***