24
Meski Kenand berkali-kali meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja namun tetap saja aku cemas dan khawatir Kak Mimin akan marah, menyalahkanku sebagai penyebab kandasnya hubungan mereka. Ini sedikit banyak mengganggu konsentrasiku dalam mengerjakan soal. Kenapa semua ini harus terjadi di hari pertama UTS?
Aku menyesal mengerjakan beberapa soal terkahir dengan asal karena kehabisan waktu, entah bagaimana hasilnya nanti. Percuma saja memang, toh tidak akan berpengaruh pada lembar soal yang telah dikumpulkan. Yang harus kulakukan saat ini adalah melupakan semuanya itu dan fokus belajar untuk UTS esok hari bagaimanapun caranya. Tentu aku tak mungkin belajar bersama Kenand, itu hanya akan memperkeruh suasana.
Tujuh menit lagi sudah pukul tujuh namun baru beberapa lembar berhasil aku pelajari dengan baik, pikiranku kemana-mana dan sulit sekali untuk berkonsentrasi.
"Istirahat dulu belajarnya, makan malam dulu baru lanjut belajar," ucap ibu yang mengamatiku terus berkutat dengan buku pelajaran sedari tadi. Kurasa ada baiknya mengikuti saran ibu.
.
Usai makan malam dan beristirahat sejenak aku melanjutkan belajar sebelum rasa kantuk datang yang akan mengakibatkan aku tertidur tanpa sempat membaca seluruh materi UTS besok.
Ting!
Ponselku berdenting, layarnya menyala menampilkan sebuah preview pesan singkat.
Penasaran, aku menengoknya.
Dari Kak Mimin. Isi pesannya hanya satu baris kalimat, "ciee pasangan barunya Kenand."
Aku tak tahu mau membalas apa, jadi aku menyentuh tombol close dan membiarkannya saja, kalau sudah dibaca lalu tidak ditanggapi juga bagaimana, lebih baik pura-pura belum membacanya.
Tunggu!
Apa itu berarti Kak Mimin menganggap aku benar-benar merebut Kenand darinya? Apakah ia benar-benar menyalahkanku sebagai penyebab utama putusnya mereka?
Ah!
Aku benci ini, aku benci ketika hal yang seharusnya tidak penting ini mengganggu pikiranku.
.
Bukannya mau mengadu dan meminta pembelaan pada Kenand, namun aku memberi tahunya agar ia bisa mengklarifikasi pada mantan kekasihnya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Lebih cepat lebih baik agar kesalahpahaman ini tidak berlanjut lagi.
"Aku bingung, gimana ngomongnya sama dia, dia nggak pernah mau dengar," keluh Kenand saat kami berada di kantin, sarapan pagi bersama pada jam istirahat jeda antara dua jadwal UTS, kebetulan pagi ini kami sama-sama tidak sempat sarapan di rumah.
"Tulis surat."
"Nggak bakal dibaca."
Aku memikirkan cara lain sambil menyuapkan satu sendok terakhir nasi gorengku dan mengunyahnya perlahan. Kak Mimin terlalu susah untuk ditebak rupanya.
Baru saja dipikirkan, sosok itu muncul dengan berlari dari arah gedung utama dan melompat hinggap di meja kami secara tiba-tiba. "Pajak jadiannya ya jangan lupa," usai mengucapkannya ia kembali berlari pergi dan menghilang di balik tembok barat gedung utama.
"Dia kesini cuma buat itu?" heranku.
Kenand tertawa pelan.
"Aku takut, Nand..," lirihku.
"Tenang aja, kita kan berangkat bareng, pulang bareng, selama di sekolah juga bareng terus, kamu aman."
"Kalau kamu ke toilet? Atau kalau aku ketemu Kak Mimin di toilet?"
"Besok aku sekolah pake rok biar bisa nemenin kamu sampe ke toilet," Kenand mengucapkannya dengan wajah datar tanpa ekspresi.
.
Jujur saja aku merasa tidak tenang jika berkeliaran di area sekolah tanpa Kenand, aku takut tiba-tiba Kak Mimin muncul lagi dan menyerangku. Entah mengapa aku jadi paranoid dan akhirnya menyusahkan orang lain.
Masalahnya, hari ini Kenand tidak bisa memberiku tumpangan pulang karena ia hendak menjemput ibunya di dekat sekolah dan pulang bersama ibunya. Aku terlalu takut untuk pulang sendiri, namun aku juga tak bisa egois dengan memaksa Kenand mengantarkanku pulang terlebih dahulu.
"Ta, Tata!" teriakku begitu melihat Tata muncul dari arah kantin.
"Eh, Thia tumben nggak sama Kenand?"
Sepertinya sudah jadi rahasia umum di sekolah ini kalau aku kemana-mana harus berdua Kenand.
"Ada apa?" tanyanya lagi karena aku tak menjawab pertanyaan sebelumnya yang ia lontarkan.
"Pulang sama siapa?"
"Sendiri."
"Bareng boleh?"
"Aku naik bus."
"Iya nggak apa-apa."
"Rumah kita beda arah."
"Yaah..."
Kami berjalan bersama keluar dari sekolah dan berhenti di halte seberang sekolah.
"Tungguin sampai aku naik bus ya," pintaku dan Tata memandangku aneh.
Aku tertawa canggung, tak enak sebenarnya meminta Tata menunggu, tapi aku benar-benar terlalu takut untuk berada di halte ini seorang diri.
"Nggak perlu takut, aku nggak bakal labrak kamu. Kalau Kenand memang pilih kamu, aku bisa apa kan?" bisik seseorang dari arah belakang tanpa kusadari kehadirannya. Aku tahu dengan pasti siapa itu dan aku tak berani menoleh sedikitpun.
Setelah merasakan ia semakin menjauh dari punggungku dan memastikan bahwa ia benar-benar jauh dari suara langkah kakinya barulah aku berani menoleh ke arah Tata yang juga diam mematung di tempatnya.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya khawatir.
Aku sudah tak mampu menjawab maupun memikirkan apapun lagi. Terlalu takut, namun di sisi lain juga merasa lega.
***