Carlos naik ke bangunan paling atas yang terdapat di tengah kapal ini. Di sana terdapat ruang kendali dengan perangkat berteknologi modern. Padahal kapal ini terbilang kecil untuk dipasangi perangkat dengan teknologi macam itu. Carlos melihat berkeliling ruangan yang hanya seluas dua meter itu. Dia tidak begitu paham tentang fungsi masing-masing perangkat yang terpasang di sana. Di ruangan yan cukup sempit itu, terdapat roda kendali yang terbuat dari kayu –alat pengendali manual penggerak kapal. Satu layar monitor yang menghubungkan dengan salah satu perangkat kapal. Kabel-kabel menjalar dari satu perangkat ke perangkat yang lain. Saling susun membentuk satu kesatuan yang menjadi otak kapal.
Carlos mengamati Hans Jubille yang sibuk mengotak-atik mesin yang tersusun rapi di atas meja bersudut L. Hans sudah lebih dulu berada dalam ruangan ini. Membuka tiap laci, berharap menemukan sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk cara pengoperasian alat-alat itu. Namun, tak ada apa pun. Semua laci bersih. Hans mencoba mengetik beberapa sandi yang diminta layar monitor. Berkali-kali mengetik dan berkali-kali pula timbul tanda silang merah besar di layar berukuran enam belas inchi yang menampilkan garis-garis melengkung dengan titik hijau berkedip-kedip –alat navigasi kapal.
Dia meninggalkan sejenak layar monitor itu untuk menghadapi alat komunikasi. Mencoba menekan tombol-tombol yang tersedia, berbicara “Mayday … mayday” berulang kali. Dia kembali meletakan gagang yang mirip telepon era victoria ke asalnya. Beralih pada roda kemudi, memutar-mutar ke segala arah. Memukul benda itu kencang saat dirasa tidak ada perubahan yang terjadi. Kemudian beralih pada kompas, alat navigasi yang mengandalkan gaya magnet bumi. Nyatanya benda itu pun sama tidak bergunanya dengan benda lain. Teropong panjang yang terletak di tengah mesin pun tidak berguna. Kaca lensa pecah, menghilangkan sebagian kaca yang membantu pengelihatan jarak jauh.
Hans semakin kesal. Dia berjalan tertatih, kembali berdiri di layar monitor dengan tampilan yang tidak berubah. Masih berupa garis melengkung dengan titik hijau yang berkedip-kedip.
“Aku tidak bisa mengendalikan kapal ini.” Alisnya bertaut, berpikir. “Mesin ini dilengkapi dengan software L-IRS,” ucap Hans saat sadar Carlos sedang memperhatikannya.
“L-IRS?”
“Lock Inertial Reference System*. Sistem navigasi kapal ini terkunci. Kita hanya akan terombang-ambing di lautan hingga kapal ini berhenti pada tujuannya,” jelas Hans. “Jika beruntung.” Hans menambahkan.
“Ke mana kapal ini akan membawa kita?” tanya Carlos yang dibalas dengan gelengan kepala.
“Sistem terkunci. Layar koordinat tidak menunjukkan keberadaan kapal ini. Alat komunikasi mati dan satellite system tidak bisa membaca posisi kapal ini. Kita benar-benar dibuat seperti gelandang. Terlunta-lunta di atas lautan.” Embusan napas jengah keluar dari hidung Hans, mengingat ketidakpastian yang sedang mereka hadapi kini.
“Kau banyak mengetahui tentang kapal,” ucap Carlos, cara bicaranya seperti seorang petugas polisi yang sedang menginterogasi tersangka.
“Mantan AL,” jawab Hans singkat. “Dan lagakmu seperti seorang detektif saja,” balas Hans, tersirat nada tidak suka dari bicaranya.
Carlos mendengkus, “X-LRPD, mantan polisi kawasan Little Rock.””
“Apa yang kau lakukan hingga harus mengalami pensiun dini, ha?” ujar Hans semakin menunjukkan ketidaksukaannya. Entah kenapa, saat pertama kali melihat wajah Carlos, Hans merasa begitu membencinya tanpa alasan. Pribadi Carlos yang terlihat semena-mena dan pembawaannya yang cuek dan arogan membuat siapa pun orangnya akan langsung membenci Carlos. Apalagi ditambah raut wajah datar memperlihatkan betapa sombongnya pria itu.
Carlos mengangkat kedua alisnya lalu menyusul pundaknya yang ikut terangkat acuh. Hans mencibir tindakan Carlos. Dia pun pergi, enggan berlama-lama dengan Carlos, dalam kepalanya sudah terbentuk suatu pola agar dia tidak berurusan dengan pria macam itu
Sepeninggal Hans, Carlos mengambil alih pengamatan pria itu di dalam ruang kendali. Berharap menemukan ‘kunci’ yang bisa membawa kapal ini pulang.
***
Hans melanjutkan pencariannya. Mencari apa pun yang bisa dia cari. Masuk ke dalam kapal yang di suguhkan dengan ruangan yang dilengkapi kursi panjang berbantalkan busa. Dia mengacuhkan ruangan itu, bukan ini yang dicarinya.
Hans berjalan semakin dalam, membuka pintu besi yang terhubung dengan tangga bawah. Terdapat ruangan berjajar dengan pintu-pintu saling berhadapan. Dia menengok sekilas ke dalam, bukan ini juga yang dicarinya. Langkah kakinya kembali membawanya tertatih menuju ujung lorong, dan tak ada apa pun di sana. Lorong itu berhenti di dinding baja dengan cat putih yang sudah terkelupas sebagian.
Dia kembali, ke atas. Mengelilingi kapal yang hanya berjarak lima belas meter. Terutama memperhatikan dinding bangunan di tengah kapal. Berusaha mencari celah tersembunyi yang mungkin menghubungkannya dengan ruangan yang dia maksud. Ruang mesin yang terletak di bagian terdasar dari sebuah kapal.
***
"Bagaimana ini? Aku tidak bisa diam di sini. Aku harus pulang. Bagaimana caranya aku pulang?" Angie terus bergumam sendiri. Berjalan mondar-mandir sambil sesekali menggigiti kukunya dengan panik. Sangat terlihat dia begitu ketakutan. Matanya bergerak-gerak ke sembaranga arah. Buliran keringat terlihat merembes di dahinya. Dadanya naik turun karena napas yang tidak terkontrol.
"Tak bisakah kau duduk diam dan memikirkan cara agar kita bisa kembali?" George Vibe berbicara dengan suara seraknya sambil mengusap tengkuknya yang kaku.
Sebelum diseret kemari, dia dihadang dua pria bertubuh besar di pelataran parkir tempat perusahaannya. Saat itu George sedang sendiri, membuat dua pria besar itu dengan mudah melumpuhkannya. Membuatnya pingsan setelah sebuah kepalan tangan besar mendarat mulus di tengkuk leher.
Tubuh besarnya dia sandarkan di dinding besi yang menghalangi sinar matahari dan berlindung dari teriknya sinar sang surya. Tubuhnya memang besar, tapi apa yang bisa dilakukan seorang pria paruh baya dengan tubuh besar karena timbunan lemak yang menyulitkan pergerakaannya? Apalagi harus menahan sakit di sekitar punggungnya.
"Berenang! Ya, berenang. Dengan begitu aku akan sampai ke rumah dengan selamat," ucap Angie seakan tak menghiraukan George yang mencibir ke arahnya.
"Kau pasti sudah gila jika melakukannya,” cibir George.
Angie membalikkan badan ke arah laut lepas. Tanggannya dicengkeramkan kuat di besi pembatas. Seolah sedang mempersiapkan mental untuk terjun ke laut. Dia menarik embuskan napas berkali-kali hingga sebuah tangan mencekal lengannya kuat.
“Apa yang kau lakukan?” Carlos menarik lengan Angie menjauh dari pembatas kapal.
“Akkhhh! Lepaskan aku! Lepaskan!!” teriak Angie membahana. Dia meronta sekuat tenaga, menarik lepas cekalan Carlos yang menggenggamnya kuat.
“Apa kau sudah gila? Berenang mencari daratan sama saja dengan bunuh diri!” geram Carlos yang ternyata mendengar gumaman Angie.
Tubuh Angie semakin bergetar setelah berhasil melepaskan diri dari Carlos. Perlahan dia berjalan mundur, menabrak Jean yang berdiri di belakangnya dengan alis berkerut heran melihat tingkah laku Angie yang begitu ketakutan.
Dalam visualisasi Angie, semua orang saat ini sedang menatapnya dengan mata merah menyala. Seringai licik terlihat begitu kejam membuat takut –semakin takut- saat Tyler mendekatinya. Sosoknya yang seperti beruang besar yang siap melahapnya hidup-hidup membuat Angie semakin gemetar. Dia berbalik dan lari sekencangnya. Lupa bahwa dia sedang berada di atas sebuah kapal yang terapung di tengah lautan. Pikirannya sudah gelap oleh pengelihatan imajinasinya sendiri.
Hingga kakinya tersandung sebuah tambang yang berukuran besar yang terletak di sisi kapal, membuat tubuhnya oleng, menabrak pembatas kapal dan … Jatuh!
Kontan, semua orang berlari melihat ke bawah –ke lautan- mengabaikan sejenak rasa terkejut. Dari mata ke mata, semua mencari sosok yang kemungkinan akan mengambang di dekat kapal. Tapi, nihil. Angie tidak ada. Tidak terlihat pergerakan air yang mengindikasikan adanya kehidupan. Selain lautan yang membelah akibat laju kapal, tidak ada lagi kecipak air. Angie hilang, seakan termakan oleh lautan. Tertarik hingga ke dasar tak bertepi.
“Hhh … apa itu barusan?” Naomi terkesiap melangkah mundur dengan syok. Rasa tidak percaya, bingung dan takut menjadi satu.
Dia jatuh terduduk, berusaha menjauhi pembatas kapal. Tidak mau kecelakaan Angie menimpa dirinya. Dia masih ingin hidup. Terlepas dari bagaimana dia bisa berada di sini asalkan dia bisa pulang dengan selamat tak jadi masalah. Soal managemen, nanti akan dia pikirkan jika dirinya sudah sampai daratan. Kembali ke kota dan mengejar impiannya lagi.
Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Peter. Bak seorang pahlawan, dia mendekat. Menawarkan perlidungan. Naomi masih belum bisa menguasai diri, ketakutan dan kebingungan masih melingkupi kepalanya. Hingga dia tidak menolak saat lengan Peter melingkar di pinggangnya, membantunya berdiri dan memapahnya ke dalam mencari ruangan yang bisa dipakai untuk beristirahat.
Peter membawa Naomi ke dalam, menaiki undakan tangga yang menghubungkan ke ruangan dalam yang tidak terlalu luas. Terdapat satu set kursi kayu memanjang yang dilapisi busa berwarna biru tua. Di sebelah kanan terdapat kitchen set yang menghadap langsung ke laut lepas, lengkap dengan lemari pendingin berukuran besar. Mereka berjalan melewati pintu besi yang terletak tak jauh dari dapur.
Menuruni tangga yang menghubungkan lorong panjang. Terdapat sepuluh pintu besi yang berjajar saling berhadapan. Peter membuka salah satu pintu, dan ternyata itu adalah kamar. Sebuah kamar dengan ukuran kecil, hanya terdapat single bed dan meja permanen dari baja di sisi ranjang. Meja itu berbentuk kotak yang bisa digunakan sebagai lemari penyimpanan. Di bagian atas terdapat lubang bersekat sebagai fentilasi udara. Sebelah kiri ada pintu lain menuju kamar mandi super mini. Hanya ada toilet yang bersatu dengan pancuran air.
Dia mendudukan Naomi di atas ranjang. Mengelus punggung wanita itu sekedar menenangkan. Tapi, bagian dirinya yang lain sungguh tidak bisa tenang.
“Pergilah! Tinggalkan aku sendiri,” ucap Naomi pelan, mengatur jantungnya dari rasa terkejut.
“Yakin, tidak perlu kutemani? Mungkin kita bisa saling menenangkan,” ucap Peter dengan maksud terselubung.
“Pergi!” Mendadak Naomi merasa jengah dengan sikap Peter. Apalagi menyadari tatapan mata yang memandanginya dengan lapar.
Peter mengangkat bahu, lalu beranjak dari sana. Ck! Jual mahal sekali dia, batin Peter sambil melangkahkan kakinya keluar. Lihat saja kau akan takluk di hadapanku. Akan kubuat kau berteriak memohon ampun.
***
*IRS = Inertial Reference System, perangkat yang dapat mengetahui posisi koordinat kapal melalui efek inersial. Inersia yang dimaksud adalah keengganan sebuah giroskop (gyroscope) atau sebuah massa yang berputar seperti sumbu untuk mengubah arah.
Dalam naskah tertulis L-IRS atau Lock Inertial Reference System yang berarti titik koordinat telah diatur sebelumnya dan terkunci secara otomatis setelah memasukkan kode tertentu. Perlu diketahui, L-IRS di sini hanya fiktif untuk kepentingan naskah.
***
Kereen.
Comment on chapter PROLOG