Kekacauan di luar perlahan mulai tenang. Satu persatu dari mereka masuk dan memilih untuk masuk ke kamar masing-masing. Mengistirahatkan tubuh mereka yang terasa pegal. Sedangkan, SanDunno mengikuti instingnya sebagai seorang chef professional. Dia menuju dapur, memeriksa perlengkapan dapur dan tersenyum lebar saat menemukan berbagai bahan makanan di dalam kulkas. Dari mulai daging sapi, daging ayam dan beberapa jenis seafood. Berbagai macam sayuran dan buah tersedia di dalam kulkas. Bumbu-bumbu masak pun berjajar rapi di mini kitchen set di atas wastapel, meski tidak lengkap tapi cukup untuk memanjakan hati SanDunno.
Dia memakai celemek yang tersedia di dalam laci penyimpanan. Menyingsingkan lengan kemeja hitam panjangnya hingga siku. Dia harus sedikit membungkuk berdiri di depan meja panjang yang bersatu dengan wastapel. Sebagai seorang chef yang mengerti nilai gizi, badannya tidak terlalu bagus. Agak kurus dengan tinggi badan lebih dari 185 centimeter. Yang menarik dari SanDunno adalah mata biru cerahnya yang berpadu dengan rambut hitam legam yang tercukur rapi.
SanDunno sempat terheran-heran. Bagaimana bisa penculiknya terpikir untuk menyiapkan ini semua. Semua bahan yang tersedia masih segar, sayur dan buah belum tampak layu. Seakan-akan bahan makanan itu baru saja dibeli dan ditata rapi di dalam kulkas. Begitu menggoda SanDunno untuk memperlihatkan seberapa hebat dirinya menguasai dapur.
Dengan tangan ahlinya, tidak sulit bagi SanDunno untuk menyediakan berbagai jenis makanan dalam waktu singkat. Namun, dia pun tidak bisa gegabah menghidangkan makanan. Mereka tidak tahu sampai kapan akan terombang-ambing di atas lautan. Kalau tidak dipikirkan secara matang dan bertindak seenaknya, bisa-bisa persediaan makanan akan habis dalam sekejap.
Perkiraannya, bahan makanan seisi kulkas ini akan sanggup menahan lapar seluruh penghuni kapal setidaknya dalam waktu satu minggu. Dengan catatan dua kali makan dan tidak ada yang menambah porsi makan mereka di luar jam makan.
Delapan piring ayam panggang lengkap dengan kentang tumbuk yang ditambah polong juga keju sudah tersusun rapi di atas meja panjang yang membatasi dapur dengan ruang depan. Wangi masakan yang menguar otomatis memanggil para penghuni kapal tanpa harus berteriak. Mereka semua berkumpul di tengah ruangan, mengambil posisi duduk pada kursi yang terdekat. Rasa lapar setelah seharian dipusingkan dengan pertanyaan ‘kenapa?’ yang tak kunjung terjawab, membuat cacing-cacing dalam perut mereka sibuk bertalu menagih asupan nutrisi.
Tanpa disuruh. Tanpa diperintah. Tangan mereka siap mengangkat sendok yang berisi kentang tumbuk. Desahan nikmat meluncur dari mulut Jean, saat sendok itu berhasil menurunkan muatannya yang langsung meluncur bebas ke dalam perut.
"Tidak salah kalau restoranmu begitu terkenal. Masakanmu lezat sekali," ucap Jean yang berlomba memasukkan kentang tumbuk dan potongan ayam secara bergantian ke mulutnya.
“Terima kasih,” ucap SanDunno berusaha ramah. Dia sudah terlalu sering mendengar pujjian basa-basi seperti itu. Dia tersenyum senang saat melihat tujuh mulut di hadapanya terbuka lebar demi memasukkan masakan buatannya ke dalam mulut. Ada kepuasan tersendiri di hati SanDunno saat memandangi orang-orang yang menyanjung hasil karyanya di atas piring.
“Aku selesai, permisi!” ucap Naomi yang beranjak dari duduknya tanpa menghabiskan makanan. Kembali ke kamarnya. Di wajahnya sanagt terlihat jelas kalau dia menahan sesuatu, sambil memegangi perutnya merasakan gejolak di dalamnya.
SanDunno paling tidak menyukai orang yang meninggalkan meja makan dengan piring masih menyisakan makanan. Dia menatap punggung Naomi dengan pandangan tidak suka. Batinnya bergumam, kenapa dia tidak menghabiskan makanan itu? Apa masakanku kurang enak? Dasar wanita! Tidak pernah menghargai makanan.
Dia mengeraskan rahang, mengepalkan kedua tangannya kencang hingga buku-buku jarinya terlihat memutih.
***
Naomi masuk ke kamarnya sambil memegangi perut. Masakan SanDunno terlalu lezat hingga dia lupa diri, ditambah perut keroncongan membuatnya kalap. Dan saat tersadar, piring di hadapannya sudah hampir tak bersisa. Dia langsung menuju toilet, berjongkok di depan toilet setelah lebih dulu merapikan rambut agar tidak terkena kotoran yang akan di keluarkannya.
Profesinya sebagi model menuntutnya untuk selalu menjaga penampilan. Dari bentuk tubuh hingga berat badan harus dipertahankan diangka 48 kilogram. Tidak ideal sebetulnya mengingat tinggi Naomi yang mencapai 175 centimeter. Tapi, tuntutan produser adalah perintah yang tidak boleh diabaikan. Jadilah, dia menuruti kemauan produser demi kelancaran kariernya di dunia modeling. Dan satu-satunya jalan agar dia bisa tetap mempertahankan bentuk tubuhnya adalah dengan cara bulimia, mengeluarkan kembali makanan yang sudah melewati tenggorokannya dengan paksa. Seperti kebanyakan model lain, Naomi mengidap anoreksia meski belum parah.
Awalnya begitu menyakitkan harus mengeluarkan kembali semua makanan yang ditelannya tanpa menunggu nutrisi masuk ke dalam tubuhnya. Namun, obsesinya di dunia modeling mengalahkan rasa sakit itu. Dari hari ke hari, dari waktu ke waktu selama bertahun-tahun Naomi melakukan hal tersebut. Hal yang begitu merugikan dirinya sendiri.
Di saat itulah, bayangan hitam itu muncul. Masuk secara diam-diam ke kamar Naomi. Di tangan kanannya tergenggam sebilah balok kayu. Setelah memastikan pintu kamar terkunci, sosok itu mengendap-endap menuju toilet. Di sana terdengar suara erangan Naomi yang berusaha mengeluarkan isi perutnya. Tepat di belakang Naomi yang sedang berjongkok dengan wajah menghadap kloset. Bayangan itu mengangkat balok yang dipegangnya setinggi mungkin, untuk kemudian dihantamkan sekeras-kerasnya di bagian belakang kepala Naomi.
“Akhh!” pekikan tertahan keluar dari bibir Naomi sesaat sebelum dia roboh tak sadarkan diri, tergeletak pasrah di sisi kloset.
Sosok itu menyeret tubuh Naomi, menarik sebelah tangannya dengan paksa menuju ranjang. Dia mengangkat tubuh Naomi ke atas ranjang, membaringkan tubuh tak berdaya itu. Mengodok saku jaket hitam sebelah kanan untuk meneluarkan sebotol obat. Kedua tangannya kini beralih ke bagian wajah Naomi, membuka mulut Naomi dengan paksa lalu menumpahkan isi botol berupa serbuk putih ke dalam mulut Naomi kemudian mengaliri tenggorokan wanita itu dengan whiskey yang dia ambil dari saku jaket sebelah kiri.
Dia menunggu beberapa saat hingga obat itu bereaksi di tubuh Naomi sambil menegak whiskey. Mengamati setiap perubahan kecil yang akan terjadi. Begitu antusias hingga seringai tipis tersungging di bibirnya. Tak berselang lama, tubuh Naomi berguncang hebat di tengah kesadarannya yang menghilang. Hal yang sedari tadi ditunggunya. Cairan berbusa putih keluar dari mulut dan hidung Naomi, pertanda obatnya telah bereaksi.
Sudut bibir yang semula menampilkan seringai tipis perlahan berubah, merekah menampakan gigi gingsulnya. Menyaksikan bagaimana seorang model cantik sekelas Naomi Muller meregang nyawa di hadapannya. Sayangnya, dia harus pergi. Meninggalkan pemandangan indah berupa onggokan daging berbusa yang tidak bernyawa. Setelah sebelumnya dia memastikan Naomi benar-benar mati dan meninggalkan sebuah amplop hitam di sisi tubuh wanita itu yang kini sudah menjadi mayat.
***
Malam beranjak larut, di atas kepalanya langit gelap bertabur bintang menjadi satu-satunya pemandangan yang bisa disaksikan tanpa menikmatinya. Gelapnya malam seakan bersatu dengan lautan yang siap menelan kapal kecil itu kapan pun. Di tengah megahnya kegelapan yang tercipta, ombak tenang dari dasar air maha luas itu pun ikut terdiam. Seolah bersekutu dengan langit untuk membuat suasana malam ini semakin panjang dalam keheningan tak berujung.
Jean, berdiri tepat di pinggiran kapal. Memegang pembatas besi sebagai tumpuannya, merasakan angin malam yang menusuk-nusuk kulitnya, menembus selapis cardigan baby pink tipis yang dikenakannya. Dia merapatkan kedua tangannya, memeluk dirinya sendiri mencoba menghalau rasa dingin yang tetap saja membuatnya menggigil.
“Kau bisa sakit.” Sapaan Hans menyadarkannya dari lamunan panjang tentang apa yang tertinggal di daratan sana. Hans menyodorkan jaket coklat tebal kepada Jean.
“Tidak usah, aku suka udara dingin,” ucapnya sambil mendorong lengan Hans, mengembalikan jaket itu pada pemiliknya. Hans tidak memaksa, dia kembali memakai jaketnya sendiri. Dengan terpincang, dia membalikan tubuhnya menghadap ke lautan. Menyamai posisi Jean. Mengodok saku sebelah kanannya mengeluarkan bungkusan rokok, tapi sialnya, tidak ada pemantik di dalam saku jaketnya.
“Ck! Rupanya Si penculik melupakan pemantikku,” canda Hans, berharap mengurangi sedikit kegelisahannya sendiri. Sebelum dia terbangun di atas kapal ini, dia sedang bertengkar hebat dengan istrinya. Dan, entah apa yang akan dipikirkan oleh istri tercintanya itu jika mengetahui suaminya tidak pulang, malah asyik menikmati deburan angin malam di atas sebuah kapal.
Sunggingan senyum tipis terukir di bibir Jean mendengar candaan yang tidak lucu dari Hans. Dia melirik sekilas ke arah kedua kaki Hans. Kaki sebelah kanannya terlihat aneh, agak lebih kecil di banding kaki kirinya. Perbedaan itu begitu jelas terlihat dari balik celana katun hitam yang dipakai Hans.
“Kecelakaan lima tahun lalu mengharuskan aku merelakan sebelah kaki,” ucap Hans yang mendapati lirikan Jean pada kakinya.
“Ah, Sorry,” ucap Jean menyesal. Dia tidak bermaksud untuk menyinggung Hans.
Keduanya terdiam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Saling memandang gelapnya langit yang seolah menampilkan bayangan kehidupan yang telah mereka jalani selama ini. Kehidupan yang penuh dengan kebohongan, celaan hingga keputusasaan.
***
Kereen.
Comment on chapter PROLOG