“Lho, Pak, bajunya kenapa?”
Satu pertanyaan meluncur diikuti dengan tatapan-tatapan terkejut para karyawan ketika Kenzie masuk ke gedung perkantoran. Kenzie mengangkat telunjuk, tanda bahwa dia tidak ingin bicara. Dengan langkah lebar dia menuju elevator. Hanya butuh waktu lima detik elevator telah terbuka dan Kenzie langsung lenyap masuk ke sana.
Pria itu tanpa harus mendapat masalah sudah sangat menyeramkan.
Elevator berdenting ketika sampai di lantai lima. Kenzie segera keluar menuju ruangannya, ruangan Direktur. Kenzie beruntung karena dia memiliki beberapa cadangan pakaian di ruang kerjanya. Tapi yang sangat sial, dia sudah terlambat sepuluh menit dari jadwal rapat yang ditentukan. Itu jelas bukan sosok Kenzie Alcander. Dan itu juga kesalahan besar yang telah dilakukan oleh keluarga Alcander, tidak disiplin.
“Pak?”
Seorang pria dengan kemeja biru masuk ke ruangan Kenzie. Ditangannya ada sebuah map dengan setumpuk berkas dan sebuah tablet.
“Saya tahu saya sudah terlambar, Aditya. Biarkan saya siap-siap dulu!”
Hampir satu tahun Aditya menjadi sekretaris sang direktur muda itu, untuk pertama kalinya dia melihat atasannya yang biasanya terlihat tenang dan santai menjadi sangat teropoh-gopoh.
Kenzie segera menghampiri Aditya, mengambil berkas dan tablet di tangannya, lalu segera berlari ke ruang rapat.
Kenzie yakin meskipun terlambat, rapat ini akan tetap berjalan dengan baik. Tapi setelah rapat, entahlah, dia tidak tahu apa yang akan dia dapatkan.
***
“Pak Kenzie, dipanggil Pak Direktur Utama.”
Kenzie yang baru saja ingin menyeruput kopinya tertahan. Dia melirik Aditya. Aditya tersenyum canggung. “Maaf, Pak, disuruh ke sana sekarang.”
Kenzie menghela napas panjang. Setelah rapat dua jam, Kenzie segera kembali ke ruangannya. Niatnya ingin meminum kopi akibat kopi yang tadi hanya sedikit membasahi kerongkongannya. Ternyata panggilan itu lebih dulu menginterupsinya.
“Oke, Adit. Terima kasih.”
Kenzie segera bangkit. Dia menuju ruangan Direktur Utama, satu lantai dengannya, namun di tempat terpojok yang sangat sepi. Ada dua sekretaris wanita yang menjaga di depan ruangan itu. Setiap orang yang masuk harus melewati mereka. Kecuali seseorang yang dipanggil secara personal oleh sang direktur utama.
Sekretaris itu berdiri dan sedikit membungkuk memberi hormat pada Kenzie. Dia berdiri di depan ruangan berpintu pualam abu-abu. Dia menghela napas panjang.
Pintu ruangan mendesing dan terbuka secara otomatis. Terlihat lima mater darinya seorang pria yang mulai menua duduk di meja kerjanya sambil menatap komputer. Melihat pintunya terbuka, pria itu memalingkan wajahnya sedikit.
“Ah, Kenzie. Silakan masuk.”
Kenzie melangkah masuk. Pintu mendesing tertutup. Sejenak hanya ada suara deru mesin AC dan mengetik yang mengisi kesunyian. Kenzie masih berdiri beberapa langkah di depan meja kerja yang di depannya terdapat sebuah plakat persegi panjang berukiran ‘Prayata Alcander’.
“Silakan duduk, Nak.”
Kenzie menahan napas. Jika ayahnya sudah memanggil ‘Nak’ di linkungan kerja, pembahasan kali ini sudah pasti bukan urusan pekerjaan. Kenzie menurut. Dia duduk di hadapan ayahnya yang selalu di panggil Pak Ata oleh orang-orang termasuk dirinya jika masih di lingkungan kantor.
Ata masih sibuk beberapa menit kemudian dengan komputernya sebelum akhirnya mematikannya dan menjatuhkan tatapannya pada sosok pria muda dihadapannya. Kenzie tidak berani menatap mata ayahnya. Entah seperti apa tatapan itu, tapi Kenzie bisa merasakan mata coklat ayahnya itu menatapnya tegas.
“Apa yang terjadi denganmu sampai kamu telat?”
“Kenzie mengalami kecelakaan kecil, Ayah. Tadi Kenzie ditabrak sepeda. Maaf, Ayah.”
Meski Kenzie sama sekali tidak berharap ditabrak gadis itu, tetap saja dia harus menyalahkan diri atas keterlambatannya. Sisanya biarkan menjadi urusannya dengan gadis itu.
“Apa kau baik-baik saja?”
Kenzie mengangguk.
“Tapi tetap kamu sudah melakukan kesalahan hari ini.”
Sekali lagi Kenzie mengangguk. Kenzie meremas celananya. Dia pernah melakukan kesalahan. Ayahnya yang langsung memberikan hukuman. Tapi hari itu ayahnya bertemu dengannya sebagai atasan dan bawahan. Sedang yang hari ini ayahnya bertemu dengannya sebagai sosok ayah dan anak. Itu pertanda hukuman ini tidak main-main menyeramkannya.
Ata berdiri dari duduknya dan berjalan keluar dari mejanya. Dia berdiri di ujung meja dengan tangan bertumpu pada meja. “Berapa umurmu, Nak?”
Kenzie memejamkan mata. Tidak, tidak, tidak ini lagi.
Kenzie mengembuskan napas pelan. “27 tahun, Yah.”
“Berapa bulan lagi sebelum umurmu tepat 28 tahun.”
“Lima bulan, Yah.”
“Batas waktu mengenalkan jodohmu pada ayah, ayah majukan sepuluh hari dari waktu yang telah ditentukan. Sesuai dengan waktu telatmu tadi, sepuluh menit.”
Kenzie diam. Dalam hati dia langsung menyumpahi keteledoran gadis yang tadi pagi menabraknya. Segala kesabaran yang dia tahan kini memuncak menguasai dirinya. Namun demi mengingat di mana dia sekarang, Kenzie memutuskan untuk tetap diam.
“Paham, Nak?”
“Paham, Yah!” Kenzie sebisa mungkin untuk tidak berseru pada ayahnya. Ata mengangguk. “Kau bisa kembali.”
Kenzie berbalik badan dan langsung pergi. Ata memandang kepergian anak semawayangnya. Dia geleng-geleng kepala.
Ata paham anaknya itu marah besar dengan hukuman ini. Karena itu dia segera menyuruh Kenzie pergi sebelum dia meledak di sini. Dia tidak bisa apa-apa. Dalam keluarga Alcander, setiap laki-laki harus menikah kurang dari umur 28 tahun. Itu sudah ketetapan dari buyutnya. Sedang sekarang ayahnya, kakek Kenzie, sudah mewanti-wantinya untuk segera mengurusi jodoh anaknya itu.
Tapi bagaimana bisa Ata mengurusinya jika anak satu-satunya itu memiliki masa lalu buruk terhadap mantan istrinya?
______
Jangan lupa tinggalkan likenya
Next kak
Comment on chapter Chapter 5