9 Februari 2015.
Tak henti kumenangis berdua dengan Natasya. Kami saling berpelukan, menanti dengan tabah dokter yang tengah merawat Nanta. Hingga akhirnya jam dua pagi Dokter berhasil menyelamatkan nyawa Nanta, menurut beliau luka kakakku tak terlalu parah akan tetapi kami belum boleh masuk hingga keadaan Nanta membaik. Pesan dokter sangat kami pegang teguh.
Kami duduk di koridor rumah sakit yang sering dilalui beberapa suster juga pembesuk. Walau lantai bersih namun tetap membuatku risih karena bau obat-obatan yang tercium pekat. Lama kelamaan koridor menjadi sepi, udara mulai dingin menciptakan situasi yang hening menghingatkanku pada film horror yang pernah kutonton, namun entah mengapa aku tak takut berada di tempat ini.
Bayangan buruk terus menghantui membuat jiwa seperti kapal di tengah badai yang tak menentu terombang-ambing oleh ombak.Entah sudah berapa lama kami menghabiskan waktu menunggu kak Nanta membaik hingga cahaya Matahari menyinari bumi.
Tyas tergeletak di bangku panjang dengan mata terpejam menemani kami berdua. Dari malam pihak publisher terus meneleponnya membuat dia sangat sibuk dan baru kembali beberapa jam lalu langsung tidur tak berucap.
Ditengah sepinya koridor terdengar suara langkah kaki menggema. Semakin lama semakin keras dan jelas suaranya. Dari ujung koridor terlihat Sinca dan Aldo datang berkunjung. Sinca berlari secepat anak panah menemuiku.
"Loe enggak apa-apa kan?" ucapnya, memelukku. "Maaf baru datang soalnya baru buka pesan Lo tadi."
"Enggak apa-apa kok, Aku baik-baik saja, yang terluka itu kak Nanta."
"Kenapa dengannya?"
Aku tak kuasa berucap. Namun Natasya menjawab. "Semua gara-gara Aku. Jika Nanta kenpa-napa Aku pantas mati."
Segera kupeluk tubuh yang bergetar hebat itu. "Kak, jangan bilang begitu.Sudah kak, ini bukan karenamu kok, Ini salah berandalan itu."
"Ada apa sih?" ucap Sinca, bingung juga penasaran. "Sebenarnya apa yang terjadi hingga kak Nanta masuk rumah sakit?"
Aldo duduk di sebelah Tyas yang tertidur, diam mengamati kami dengan seksama. Sementara Sinca pindah tempat duduk ke sebelah Natasya berusaha menenangkan gadis malang itu. Akhirnya setelah Natasya mulai bisa mengendalikan dirinya, dia mulai menceritakan apa yang terjadi.
'Tadi malam aku dan Nanta pergi ke mall karena aku sudah berjanji akan menemaninya jalan-jalan jika dia bisa berubah menjadi pria baik. Aku sendiri tak percaya jika seorang Nanta yang merupakan anggota geng motor bisa berubah menjadi sosok lembut dan penyayang seperti malam itu.
Kami menghabiskan waktu bersama penuh canda. Nanta yang baru, bukan hanya penampilannya saja yang berbeda namun juga sikapnya membuatku betah menghabiskan waktu berdua hingga tak sadar jika malam terlampau larut untukku pulang.
Nanta hendak mengantarku pulang dengan motornya yang di parkir agak jauh di tempat kosong. Kala itu kami tak menyadari jika malam akan berakhir dengan nestapa.
Makin jauh kami melangkah, udara semakin terasa dingin dan situasi semakin hening bagai kuburan. Kala itu aku tak merasakan sesuatu yang janggal sama sekali, bahkan hatiku malah berdebar kencang karena baru kali itu aku berduaan dengan lelaki lain selain keluargaku sendiri. Nanta sangat gentle, dia merangkul berusaha menghangatkanku di tengah hembusan angin malam yang menusuk seluruh tubuh.
Saat kami sampai di tempat Nanta memarkir motor, aku hendak naik. Namun Nanta mencegahku. Kulihat dia sibuk berjongkok memeriksa motornya.
"Kenapa Nan?" kumenunduk memandang ke mana Nanta memandang. "Apa motornya rusak?"
"Enggak rusak kok." jawab Nanta. "Mungkin karena Kamu terlalu berat sampai bannya gembos."
"Apaan sih. Kok Aku yang disalahin. Tapi aneh ya, kok bisa ban motor gembos dua-duanya?"
Nanta diam, aku ingat sekali wajahnya berubah serius dengan tubuh bergetar. Saat itu kukira dia kedinginan namun dugaanku salah.
Dari belakang terdengar suara beberapa motor mendekat. Kami kira mereka adalah pengunjung mall, ternyata Mereka adalah gerombolan geng motornya. Suara motor mereka membuatku bergidik dan berkeringat dingin, namun Nanta menarikku kebelakang tubuhnya berusaha melindungiku. Sinar lampu motor sengaja di arahkan pada kami, satu persatu motor geng berhenti, beberapa dari mereka turun. Aku kenal pakaian mereka, lambang di pakaian itu adalah lambang geng motornya Nanta dulu.
Kupeluk lengan Nanta semakin kencang. "Kak, ada apa ini?"
"Sudah Kamu diam saja ya. Semua akan baik-baik saja." Nanta tetap berusaha menenangkanku walau kuyakin dia juga sangat takut, terlihat dari wajahnya yang pucat pasi kala itu.
"Wah, Lo udah main sama cewek baru ya Nan? hebat banget ya, Nanta si tampan dalam kedipan mata bisa dapet cewek baru," ucap seorang lelaki geng motor tersenyum sinis.
"Mau apa kalian ke sini?" balas Nanta, memandang tajam. "Gue sudah bilang, Gue keluar dari geng kaliankan?"
"Keluar sih keluar Bro, itu urusan Lo. Gua ya ga masalah Lo mau out kek, mati juga ga papa. Tapi Lo kok mutusin adik Gua tanpa sebab?"
"Sorry, Gue mutusin adik Lo lantaran dia itu cewek enggak bener Bro, cewek rusak."
Pria itu langsung memukul perut Nanta, membuatnya terduduk memegang perut dengan wajah masam menahan sakit.
"Nanta!" Teriakku. "Hentikan, tolong jangan sakiti Nanta!"
Namun anggota geng lainnya memegang kedua tanganku. Aku berusaha melawan, meronta sangat hebat. Namun apa daya, aku hanya seorang gadis lemah kalah tenaga melawan dua pria garang. Aku terdiam, seluruh tubuh bergetar dan keringat dingin semakin mengucur hebat membasahi sekujur tubuh. Mataku bergetar melihat si ketua geng motor mendekat.
Lelaki itu memandangku kesal, "Cuma gegara gadis seperti ini Lo mutusin adik Gua?" memegang daguku. "Adik Gua hamil, Lo harus tanggung jawab."
"Hamil?" Nanta terkejut. "sama siapa?"
"Ya sama Elo lah, siapa lagi pacarnyakan cuma Lo seorang, Nanta si wajah tampan."
Nanta tertawa, masih memegangi perutnya. "Adik Lo tuh cewek gak bener. Gue enggak pernah nidurin dia. Tuh cewek sudah tidur sama cowok lain, sudah enggak terhitung berapa banyak cowok yang menidurinya. Jadi jangan bawa-bawa Gua dalam urusan dia hamil, faham Loe?"
Sang ketua geng nampak kesal, kulihat dia langsung menendang Nanta sampai terjungkal. Dia mengambil sebuah tongkat kasti dari motornya memandang sinis Nanta lalu diriku. Dia semakin mendekat berusaha menciumku.
"Nih cewek Lo manis juga ya. Gimana kalau Gue hamili saja? lumayan kan Lo bisa punya anak dengan wajah cakep kek Gue."
"Lepasin, jangan!" teriakku.
"Woi banci! masalah Loe sama Gua, bukan sama tuh cewek. Ayo sini banci!" teriak Nanta, masih memegang perut. "Lawan Gua, by one dasar banci."
Si boss geng tersenyum sinis, dia meludah di depanku lalu memandnag Nanta. "Ok bro, Lo yang minta ya. Jangan salahin Gue."
Pria itu memukul tubuh Nanta dengan tongkat kasti. Aku hendak berteriak, namun mulutku di bekap oleh lelaki jahat anggota geng. Nanta mulai muntah darah, dia terlihat lemas tak bertenaga. Melihatku yang kala itu menangis, Nanta malah tersenyum mengangguk halus padaku.
Aku terus berdoa berharap ada yang datang menolong. Hatiku perih melihat Nanta teraniaya, darahku berdesir namun apa daya aku hanya bisa memohon pada Tuhan untuk mendatangkan bantuan. Syukurlah Tuhan tidak tidur, Tuhan memberikan pertolongan. Terdengar banyak derap kaki menuju ke arah kami, tak lama terdengar suara peluit bergema kencang. Situasi sepi berubah dalam sekejap menjadi seperti pasar malam, puluhan cahaya datang dari arah mall.
"Woi ada geng motor woi!" Puluhan orang datang bersama security.
"Kabur bos!" Pinta seorang anggota geng.
"Lo beruntung ya bro, muka Lo masih rapi," ucap boss geng motor, memukul wajah Nanta yang tergeletak dengan tongkat kasti lalu segera pergi meninggalkan kami begitu saja.
Aku langsung memeluk Nanta, kala itu dia masih bergerak bahkan sempat tersenyum padaku, tangannya mengelus pipiku. Orang-orang ribut menyuruh menghubungi ambulance juga polisi, namun diriku hanya bisa menangis.
"Sudah Natasya, jangan nangis. Yang penting Kamu enggak apa-apa," pinta Nanta.
"Tapi Kak, jangan seperti ini. Kamu harus kuat ya, sebentar lagi mobil ambulance datang."
"Asal Kamu enggak sedih Aku sudah bahagia..." Tangan nanta lemas dan terlepas dari pipiku.'
Natasya memejamkan matanya tak menangis, mungkin air matanya sudah kering. "Setelah itu semua orang berkumpul menolong kami hingga kamu datang bersama kakakku. Tak lama ambulance datang dan membawa Nanta ke UGD," ucapnya lirih.
Tanganku sudah mengepal dari tadi dan darah sudah meletup-letup.Geram ingin kuseret seluruh anggota geng motor itu masuk ke dalam kawah berapi. Namun Natasya memegang tanganku, terasa dingin tangannya yang halus. Sontak membuatku sadar jika sekarang kak Nanta belum siuman.
Suara Tyas mengejutkanku. "Kamu yakin itu geng motornya Nanta dulu?" ucapnya masih berpejam mata.
Natasya mengelap air matanya."Iya Kak, mereka itu geng motor di kampusku."
Tyas bangkit dari tidur, terlihat merenggangkan tubuh sampai terdengar suara tulang bergemeletakan. Pandangan mata di balik kaca matanya sangat tajam dan dingin, pandangan yang sangat berbeda dari Tyas yang kukenal.
Langsung kucengkram tangan Tyas. "Mau ke mana?" ucapku, memandang tajam. "Jawab Kak."
"Kantor polisi. Mau buat laporan dan membantu mereka menangkap para preman kampungan itu."
"Enggak, Kamu enggak boleh ke mana-mana."
Tyas diam tak bergerak. Aku tak mau dia pergi dan main hakim sendiri. Terus terang aku tak mau dia kembali menjadi Tyas yang dulu, si harimau putih yang dingin seperti yang kudengar dari Natasya.
"Hei sampah, Kamu enggak percaya pada Aku?"
Duh, aku harus bilang apa? jujur kepadanya? nanti malah dia salah paham.
Aldo berdehem. "Aku temani saja ya Kak."
Semua memandang Aldo. Pemuda itu tersenyum sambil menggaruk kepala. "Aku ya penasaaran mau lihat kantor polisi itu seperti apa."
"Lah," potongku. "Kamu enggak sekolah apa?"
Sinca menjawab, "Halah, sudah pernah kok sekolah. Paling ya pelajarannya sama saja seperti di buku, ya enggak Do? dah Lo sama mas editor pergi saja ke kantor polisi sana. Biar Gua jaga kedua kucing ini."
Tyas melepas genggamanku. "Sampah, Kamu di sini jaga kakak premanmu. Aku takut jika enggak ada yang jaga ketika dia siuman nanti dia mengajak adikku untuk melakukan hal yang enggak bener."
Kucubit sekuat tenaga perut Tyas hingga dia mengerang kesakitan.
"Hai kalian yang di sana!" bentak seorang suster. "Jangan berisik!"
Sontak kami kaget dan menjadi malu. Kutarik jaket Tyas memaksanya sedikit menunduk. "Kak, cepat kembali."
Tyas tersenyum mengelus kepalaku, menarik hood jaket kelinci sampai menutupi kepalaku. "Sarapan dan istirahatlah." ucapnya santai, berjalan santai meninggalkanku.
Aldo segera melangkah cepat bersebelahan dengan Tyas, terdengar sayup dia berkata, "Loh, kok jaketku bisa di pakai kak Tyas sih?"
"Pinjem sebentar," jawab Tyas.
Kulihat merekia berdua terus beradu mulut, semakin menjauh dan akhirnya menghilang di belokan. Dasar anak cowok, ada-ada saja.
Belum sempat kududuk, terdengar suara pelan dari dalam ruangan Nanta. Ah, paling hanya ilusi. Namun lama kelamaan suara itu terdengar jelas. Kakak sudah sadar? kuperiksa dari luar jendela pintu. Tubuh Nanta bergerak pelan, bahkan dia sempat menguap dan meminum air dalam gelas, di meja kecil sebelahnya. "Kak Nanta!" kubergerak cepat masuk kedalam, namun tak berani memeluknya.
"Natasya... Natasya... Natasya... ." gumam Nanta, terpejam.
Kupandang datar Nanta sembari menyilangkan tangan di depan dada. Lah, nih orang ngelindur tapi kok malah manggil Natasya? ah tadi sudah bangun kok. Akal-akalannya kakak saja nih.
Natasya menerobos masuk, dia memeluk Nanta. "Aku di sini kak, aku di sini. Kak ayo bangun kak, kumohon bangunlah."
"Syukurlah," ucap Sinca.
"Syukur kenapa? orang tuh manusia sudah sadar dari tadi kok." Kumendekati Nanta, menepuk kencang luka di tubuhnya.
"Wadaaau! Sakit!" teriak Nanta.
Natasya terlihat bingung. "Loh, sudah sadar?" mencubit pipi Natasya. "Syukurlah kamu enggak apa-apa"
"Nanta!" teriak seorang wanita.
Sontak kumenoleh ke arah pintu, terlihat Ibuku menangis memandang kami semua. Di belakang ibu terlihat ayah memegang kedua pundak ibu dengan mata berkaca-kaca dan tak butuh waktu lama untuk air meluber dari mata. Ibu langsung memeluk Nanta sementara Ayah duduk di kasur Nanta.
Natasya melepas pelukannya sedikit menjauh memberikan ruang ayah dan ibu untuk mendekati Nanta. Ibu bergerak ke seblah kiri dan ayah langsung berjalan ke seblah kanan.
Ibu menangis memeluk Nanta. "Nanta anakku, ya Tuhan kenapa Kamu, kenapa jadi begini?"
Kulihat Ayah hanya menahan tangis berdiam diri. "Yah, ga ikut peluk-peluk kak Nanta nih?" sindirku.
"Sini Nak, sini..." ucap Ayah, melambai padaku.
Aku perlahan mendekat namun ayah langsung menarikku hingga aku berada dalam dekapannya. Kami berempat akhirnya berpelukan seperti Teletubies. Terasa hangat karena bersama, sesuatu yang sudah lama aku dambakan akhirnya bisa terwujud, sesuatu yang pernah hilang akhirnya datang kembali. Hangatnya keluarga, merupakan hal yang sudah jarang kurasakan dan kuakui sangat merindukan hal ini.
Tak sadar air mataku menetes. Lama kami berpelukan berempat menangis dalam suka cita, semua lupa akan dunia ini. Hampir lima belas menit kami berpelukan, setelah usai berpelukan Ibu duduk di kursi besuk, ayah masih duduk di kasur Nanta sementara aku berdiri di sebelah kakak, memegangi tangannya.
"Kamu kenapa bisa jadi seperti ini?" ucap Ibu, sembari terus menggenggam telapak tangan Nanta yang lain. "Ayo beri tau Ibu."
Nanta mulai bercerita, dari ceritanya tak jauh beda dengan apa yang di ceritakan Natasya hanya lebih mendetail dan lebih jauh kebelakang. Dia menceritakan bagaimana dia bisa masuk ke dalam sebuah perkumpulan motor, hingga ceritanya berakhir hampir sama dengan apa yang kudengar dari Natasya.
"Semua salah ibu!" ucap ibu kembali menangis. "Ibu terlalu egois, terlalu mementingkan diri sendiri dan cemburu buta tanpa sebab."
"Enggak Bu, semua salahku," sela ayah. "Andai Aku lebih peka dan menghabiskan banyak waktu di rumah bersama keluarga semuanya enggak akan jadi seperti ini."
Yah, pada nangis dah. Hmm namun syukurlah kuharap kedua orang tuaku sadar dan akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga.
"Sya sini," pinta Nanta. "Yah, Bu, kenalin ini Natasya..."
Dih, langsung di kenalin. "Yasudah Aku keluar dulu ya mau cuci muka nyari sarapan." Kutarik tangan Sinca keluar ruangan.
"Mau ke mana nih?" ujar Sinca. "Kok Lo kabur gitu sih, bukannya ini saatnya quality time bersama keluarga Lo?"
"Ga papa, Aku lapar banget soalnya. Toh lebih baik jika Aku keluar dulu, agar Nanta enggak malu memperkenalkan kekasihnya ke orang tua."
Berdua bagai sepasang kekasih kami menuju kantin rumah sakit. Di sana masih sepi, bahkan belum lengkap hidangan yang disajikan. Aku memesan semangkuk bubur ayam yang lezat, sarapan bersama Natasya ditemani dinginnya udara pagi dan suara TV yang terdengar pelan. Mau tak mau aku mendengarkan berita pagi dari TV.
"Novel Tentang Andre Jatmiko yang akan di terbitkan oleh penerbit ABCYZ diduga hasil plagiatism. Hal ini di ungkapkan oleh salah seorang penulis lain yang mengaku telah lebih dulu mempublikasikan novel itu."
Sontak semua tenagaku hilang, pikiran dan hati bingung tak bisa menemukan perasaan yang tepat. Siapa? siapa yang mempublikasikan novel itu? isi dari novel itu adalah pengalamanku!
***