Read More >>"> Novel Andre Jatmiko (Chapter XI \'Awal Perubahan\') - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Novel Andre Jatmiko
MENU
About Us  

Kami segera keluar mengambil tas milikku di penitipan barang lalu berlari lebih cepat dari eskalator yang bergerak turun. Nafasku terengah seperti seorang pemain basket dalam quarter terakhir dan akhirnya memilih duduk di bangku panjang tempatku dan Aldo duduk tadi.

"Hampir saja," keluh Tyas.

"Kamu sih Kak, jadi orang pelit banget."

"Lah kok Aku? Kamu tuh yang pelit. Sudah popcorn enggak mau berbagi masih ngerebut cola orang."

"Dih," kucubit paha Tyas. "Cowok itu di mana-mana ngalah Kak!"

"Lah aturan dari mana itu? jangan bilang hak wanita."

Hak katanya? Hak wanita... Tunggu, bawaanku? sepatu hak tinggiku mana? kumenoleh kiri dan kanan, namun tak melihat kantong plastik berisi sepatu dari Aldo. Panik, kutabok kencang paha Tyas. "Kak sepatuku hilang!"

"Sakit sampah!" keluhnya. "sepatumu? tuh di kakimu tuh."

Kakiku berderap. "Bukan yang ini, yang di belikan Aldo!"

"Oh."

"Oh? cuma oh? ikut cemas dong, sepatuku hilang kok jawabnya cuma oh."

"Makannya jadi orang jangan pelupa, memalukan."

"Bantu nyari dong Kak."

"Ogah, capek. Lagian Kamu yang ceroboh kok, ingat dulu Kamu enggak bawa draft-mu saat kita pertama kali bertumu?"

"Yasudah aku cari sendiri!" Kubangkit, berkepal tangan meninggalkan Tyas. Dasar cowok enggak guna. Bukannya mbantuin malah menghina. Hmm tapi dimulai dari mana?

"Sampah, jangan pergi sendiri. Nanti Kamu juga bisa hilang seperti sepatu konyolmu itu.!"

"Bodo amat!"

Tyas menggandengku. "Kita mulai dari bioskop."

"Apa Kakak sudah gila? nanti kalau ketauan Nanta gimana?"

"Kamu yang gila, kita cari di gedung bioskop bukan ruang bioskop."

Oh gitu, Kutersenyum menundukpasrah digandeng Tyas. Hmm, sejak kapan dia berhak menggandengku seperti ini? biarlah, aku juga ingin merasakan apa yang kak Natasya rasakan dari Nanta, juga Sinca rasakan dari Aldo.

Setelah berjalan secepat angin akhirnya kami sampai ditempat duduk saat menunggu antrian membeli tiket bioskop, namun tak terlihat kantong plastik yang kucari. Tyas tak tinggal diam, dia bertanya pada beberapa juga security. Namun tak ada yang melihat kantong plastik aneh yang tertinggal.

Kumerasa lemah. "Gimana Kak, kita cari ke mana lagi?"

"Sebelumnya Kita ke mana sebelum ke sini?"

Sebelum ke sini, hmm oh iya kita berpelukan di... "Lift..." wajahku memanas mengingat apa yang terjadi di sana.

"Ok kita ke tempat itu."

Aku  tarik Tyas agar tak pergi. "Enggak mau, di sana enggak ada. Pasti enggak ada!" Please jangan ke sana.

"Sok tau, kita cari dulu," ajak Tyas, menggandengku.

Kutak yakin jika saat berada di lift masih membawa kantong plastik atau tidak. Yang pasti saat itu Tyas memelukku. Mengingat kejadian itu saja membuatku kembang kempis, apalagi pergi ke lokasi itu bersama Tyas. Mungkin jantung akan berhenti berdetak karena malu.

Kami berhenti menunggu pintu lift terbuka. Kulihat wajah Tyas serius, nampak dewasa. Kenapa perasaanku seperti ini. Semakin lama aku bersama dengannya, aku semakin terlena. Tyas, mungkin aku suka kamu. Namun apakah kamu suka aku sebagai aku atau menganggapku sebagai Aerin?

"Hei sampah, Kenapa kau memandangku terus? apa karena aku ganteng?" ucapnya, memegang dagu dengan jari telunjuk dan ibu jari membentuk huruf 'V'.

"Dih, GR. sejak kapan sih Kakak jadi narsis seperti ini?"

"Semenjak bertemu Kamu."

Walau terasa canggung namun mampu membuatku tersenyum dengan ulahnya.  

Pintu lift terbuka, belum sempat masuk kedalam kuterbelalak melihat sesuatu yang sulit dipercaya. Nanta dan Natasya berpelukan di dalam lift sepi, berciuman mesra. Natasnya melingkarkan tangannya pada leher Nanta, sembari mengelus rambut belakang kakakku. Sementara Nanta memeluknya, mencium hangat. Syukur mereka saling berpejam mata, membuat kami bisa langsung kabur.

"Kenapa kita lari Kak?"

"Entah, refleks aja."

Kami berdua berhenti merasa seperti orang bodoh, kembali duduk di kursi panjang mencoba mengatur nafas yang tersengal.

Tyas menarik kuping kelinci hood-ku hingga kepala tertarik maju. "Kakak premanmu membawa pengaruh buruk untuk adikku."

Asal ngomong aja nih orang! "Enak saja, kakak lihat tadi? Natasya yang memaksa Nanta berciuman."

"Kau tak lihat? tangan Nanta tadi seperti ini!" memelukku. "Lalu wajahnya nyosor seperti bebek!"

"Heh!" kulingkarkan tanganku pada leher Tyas. "Adik kakak yang seperti ini, dia memaksa kakakku untuk menciumnya!" Kutarik dia mendekat.

Wajah kami saling memandang, baru kali ini kulihat wajah Tyas memerah. Di balik kaca matannya dia memandang sayu, pandangan yang menggoda iman. Mataku lambat laun mulai terpejam. Apa ini yang Natasya rasakan? sangat nikmat ... ayo kak, cepat cium aku! Wajahku dapat merasakan hembusan nafas Tyas yang semakin dekat semakin tak beraturan, hangat nikmat. Namun bibirku belum merasakan bibir manis itu, hanya hangat kembusan nafas.

"Ibu lihat, kakak-kakak itu mau berciuman!"

Seorang ibu bergeleng, "Dasar anak muda jaman sekarang, tak tau malu!" menutup wajah anaknya. "Jangan dilihat, ayo tinggalkan mereka.

Kudorong Tyas menjauh. "Dasar mesum! mau mengambil kesempatan dalam kesempitan ya!" kupul lengan Tyas sekuat tenaga, berulang-ulang sampai dia bergeser menjauh.

"Enak saja! Kamu yang mau menodai bibirku, dasar sampah!"

"Mana ada yang mau menodai bibir yang telah ternoda! kakak ha_" Tiba-tiba perutku berbunyi kencang. Duh, disaat seperti ini kok kembali lapar. Padahal tadi sudah makan sandwich dan popcorn. kumenutup wajah dengan kedua tanganku.

"Kamu ini gadis seperti apa sih? sudah makan roti dua, popcorn, cola, masih keroncongan."

"Berisik ah, tadi kakak ajak lari-lari jadi lapar lagi." Kudengar suara perut berbunyi, namun bukan punyaku. Loh, kak Tyas juga lapar ternyata?

"Uhm, cari makan yuk," ajak Tyas.

"Yaudah ayo."

Berdua kami kembali melangkah tanpa canda. Bukan karena kami saling marah namun karena rasa lapar di perut memaksa semua keinginan untuk bercanda hilang dalam sekejap.  

Mau makan di mana ya? restorant yang mana? kok jalannya jauh banget.

Tyas berhenti di sebuah restoran cepat saji. "Eh sampah, Kamu bawa uang enggak?"

Kumenggeleng. "kenapa?"

"Yasudah, cuma nanya." Kembali Tyas melanjutkan langkah.

Lama kami berjalan tanpa tujuan yang jelas, lantai demi lantai terlalui hingga akhirnya kami sampai di lantai satu. Langkahnya tak melambat saat melewati restoran cepat saji terakhir yang kami lihat sebelum pintu keluar.

Mau makan di mana sih? kan sudah enggak ada restoran lain lagi setelah ini. Apa dia mau membawaku ke sebuah restoran romantis untuk candle light? Kutersenyum memegang kedua pipi dan bergeleng kepala, ah mana mungkin. berjalan bergoyang pinggang seperti bebek melangkah.

"Kau kenapa? kesurupan?"

"He? enggak kok. Cuma ini, uhm Aku merenggangkan pinggang saja sambil olah raga pipi." Kulihat dia tersenyum dengan mata menyipit di balik kaca mata. Manisnya, tidak, jangan berpikir aneh-aneh! kukembali bergeleng.

Kami melanjutkan perjalanan keluar mall. Hembusan dingin AC tergantikan oleh angin malam yang lebih dingin merasuki tubuh. Jaket tebal yang kupakai tak mampu menghangatkan secara sempurna karena rokku tak sepanjang celana Tyas. Kami berbelok ke gang kecil.

Mau ngajak makan ke mana sih nih orang? kok masuk ke tempat sepi seperti ini? apa mobilnya parkir di sini? Kusemakin deg-degan, kok masuk gang seperti ini? mau ke mana ini? apa jangan-jangan dia mau bertindak enggak bener kepadaku? langkahku terhenti. "Kak, mau ke mana?"

Tyas berjalan kembali ke arahku, hanya berdecak tak berucap lalu menggandeng semakin dalam masuk ke sebuah gang. Semakin lama kami melangkah semakin gelap dan lembab. Kumeraba banyak lumut di dinding, membuat jijik.

"Kak!" keluhku berusaha melepas genggaman tangannya. "Mau ke mana Kak, Aku takut."

"Makan."

"Makan apa? di sini enggak ada restoran kak, please jangan aneh-aneh kak. Aku takut!" Apa dia mau memakanku? apa Tyas ini sebenarnya drakula? atau kanibal? oh tidak!

Semakin lama semakin terdengar lantunan musik yang enak didengar berkombinasi dengan suara peluit seperti yang selalu di pakai oleh tukang parkir. Jalanan becek mulai berubah menjadi paving dan kekhawatiranku semakin sirna. Akhirnya kami keluar dari gang gelap dan sekarang sampai pada sebuah tempat ramai oleh mobil yang berparkir memanjang berkombinasi dengan motor, terlihat beberapa orang tengah menyantap sesuatu dalam mangkuk, duduk di trotoar. Tyas mengajak masuk ke tenda lalu duduk di bangku panjang.

Tyas menjentikkan jari. "Bang, dua ya. Pake pangsit."

Kuperhatikan ternyata ini adalah tenda milik penjual bakso pangsit. Aroma nikmat bakso begitu menggoda, udara dingin menjadi hangat dan terlihat uap bakso menghiasi dalam tenda. Kulihat sebuah TV kecil menggelantung di atas gerobak, tengah menyetel sebuah acara siaran langsung konser band. Kembali terdengar lantunan irama yang kusuka.

"Si cantik Nita, kau wanitaku selamanya, kudisini kau disana, sayang abadi selamanya. Kau curi hatiku, kau bawa selalu, wajah cantik itu, selalu terkenang selalu!"

Iramanya sangat merdu, walau hanya mendengar dari TV tabung kecil namun tetap terdengar indah. Tak sadar kumulai menggerakan kepala mengikuti irama sembari menggerakan kaki yang bergelantungan.

Sayup kudengar obrolan pengunjung lain. "Kudengar mereka sekarang sedang konser di Semarang," ucap salahs atu gadis sambil menikmati makanannya

"Duh enggak sabar ya nunggu mereka datang ke sini," timpa gadis lainnya.

"Sabar, toh tanggal 15 februari mereka konsernya," jawab gadis pertama.

Hmmm, jadi mereka akan konser si Surabaya. Ah ingin nonton, ajak Sinca dan Aldo ah. Hmmm, tapi lebih enak ajak kak Tyas aja. Siapa tau dia mau bayarin tiketnya. "Kak Tyas."

"Hmm," jawab Tyas.

"Mau nonton konser Luci Band?"

"Ogah, Kamu suka ya sama mereka?"

"Iya dong. Aku suka sama musik mereka, enak di dengar."

"Halah, paling ya gegara ada nama gadis pasaran yang sama denganmu yang mereka nyanyikan, membuatmu tergila-gila sama mereka."

"Ish, apaan sih. Enggak cuma itu, Aku juga suka sama gitarisnya. Manis banget, ingin rasanya bertemu bersalaman dan minta tanda tangannta."

Entah mengapa, urat kening Tyas terlihat jelas. "Bang ganti chanelnya!" pinta Tyas.

"Dih, kok di ganti sih, ini saja bang!" Keluhku.

Tiba-tiba salah satu gadis yang sedang makan bakso menggebrak meja. "Ee mas, kenapa minta di ganti? cemburu pacarnya suka sama gitaris Luci?"

Tyas tak menjawab.

Teman gadis tadi menambahi. "Makannya jadi cowok jangan cuma ganteng saja, belajar gitaran dong!"

Tyas semakin muram, dia bersangga kepala melihat TV. "Kamu yakin enggak kenal mereka?"

Kenapa sih nih orang? apa benar cemburu, namun kenapa cemburu? ah mungkin cuma iri saja.

"Eh sampah, kalau ditanya itu jawab dong."

"Apa sih. kalau Aku kenal pasti sudah naik kepanggung bersama mereka sekarang."

Tyas diam tak menjawab, memandang jengah kelayar TV.

Sebenarnya ada hubungan apa sih dia sama Luci band. Dari pandangannya aku yakin jika Tyas mengenal mereka.

Abang tukang bakso membuyarkan lamunanku, dia menaruh dua mangkok bakso panas dan dua gelas minuman hangat di hadapan kami. Langsung kuambil saos sambal dan menumpahkannya ke dalam mangkokku, lalu kutuangkan beberapa sendok sambal.

"Eh sampah, Kamu mau makan bakso atau minum saos sambal?"

"Sudah enggak usah ngurusin orang. Makan aja bagianmu kak." Kulihat mangkok Tyas tak menggunakan saos sama sekali. "Kenapa? enggak berani pedas?"

"Berani kok."

"Oh gitu, yasudah Aku tuangkan ya." Tanpa ijin langsung kutuang saos sambal pada mangkoknya.

"Eh sampah, jangan!" Tyas berusaha merebut botol itu.

Dia mendorong dan menarik, semakin banyak saos yang membanjiri mangkoknya. Membuat Bakso bermandikan saos, bahkan hampir luber saos di mangkoknya. Kami beruda hanya bisa terdiam melihat mangkok Tyas, dimana bakso sudah tak tampak lagi terkubur saos sambal.

Kapok, rasakan kau ya. "Uhm, maaf kak. Enggak sengaja," ucapku, tersenyum memakan bakso.

"Sampah sial Kau," Jawab Tyas, masih memandang mangkok tak bergerak.

"Beli lagi dong."

"Enggak ada duit tau, sudah habis buat nonton, buat popcorn, buat cola... tinggal dua puluh ribu untuk ongkosmu pulang nanti." Mulai mengambil bakso lalu dia taruh di lepek kecil.

Iba kumelihat Tyas memakan bakso dengan raut wajah memaksa. Kulihat dia mengunyah pelan, keringat mulai bercucukran dari wahajnya. Dia melepas kaca matanya, mengeluarkan sapu tangan dan mengelap wajahnya. Rasa geli melebihi rasa iba, membuat kutersenyum kecil.

"Hai sampah, jangan tertawa. Semua ini karena ulahmu."

"Iya-iya maaf deh. Oh iya kak, kakak kenal kan sama orang-orang cafe?"

"Kenapa?"

"Bisa kakak bokingkan cafe pada tanggal 10 februari sepulang sekolah?"

"Mau buat apa?"

"Buat pesta kejutan ulang tahun temanku."

"Pacarnya Aldo?"

"Iya kak. Bisa kan?"

Tyas mengangguk. "Tapi ada saratnya."

"Syarat? dih kok bersyarat. Enggak iklas ya?"

"Mau enggak?"

"Iya mau. Apa syaratnya?"

"Kamu jangan pergi lagi berdua dengan Aldo."

"Kenapa Kak?"

Tyas tak menjawab.

Kenapa kok syaratnya aneh begitu? apa dia cemburu? namun napa cemburu toh aku dan dia tak ada hubungan spesial. Tunggu dulu, jangan besar kepala Nit. Ingat dia ini Tyas, cowok penuh misteri yang susah di tebak.

"Simple. Aku enggak mau nanti sahabatmu salah paham kepadamu dan menganggap kalian ada main di belakangnya."

Entah mengapa aku malah marah mendengar jawaban Tyas. Hati kecilku ingin dia cemburu, bukan perhatian seperti ini. Kulanjutkan makan tanpa bicara, menikmati lantunan musik dari Luci band.

Setelah kenyang Tyas mengajakku langsung pulang. Kami kembali berjalan melalui gang sepi yang tadi kami lintasi.

"Enggak ada jalan lain apa kak?" protesku.

"Ada sih, muter lewat jalan raya. Ya paling dua kali lipat jauhnya, mau?"

"Ogah ah, sudah jam sembilan nanti malah kemalaman."

"Oh iya Nit. Kamu tau enggak gang ini angker loh."

"Apaan ah, jangan nakut-nakutin!"

"Serius. Kamu tau enggak, biasanya di gang ini kalau malam ada suara gadis minta tolong."

"Kakak!" kutabok lengannya, "Aku takut jangan di terusin." kumeluk lengannya.

"Tolong, tolong," terdengar suara minta tolong.

Kucubit perut Tyas. "Kak, jangan main-main!"

"Main-main apa? Aku enggak ngapa-ngapain."

"Lah itu suara apa?"

"Suara minta tolong cewek, kukira itu Kamu Nit."

"Bukanlah..." semakin kupeluk erat Tyas.

Kami berdua melangkah semakin dalam dan terdengar suara beberapa sepeda motor melaju cepat. Lambat laun suara itu semakin dekat dan ketika kami keluar dari gang, terlihat banyak orang berkumpul mengerumuni sesuatu.

"Ada apa ya?" Tyas menggandengku merangsak maju ke dalam kerumunan.

Aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Nanta tergeletak di pangkuan Natasya, tak bergerak sedikitpun. Darah segar mengalir deras dari kepala Nanta. Beberapa orang berusaha menenangkan Natasya dan menggendong Nanta menepi.

"Tenang, ambulance sedang dalam perjalanan mbak," hibur seorang ibu.

Tyas menarik tanganku, berusah memeluk namun kudorong dia lalu melangkah lunglai tak berkedip memandang Nanta. Lemas, kosong pikirku, keringat dingin membasahi seluruh tubuh. "Kak...Nanta... kenapa?" ucapku pelan, terduduk di sebelah Natasya masih terus memandang kakakku.

Natsya menoleh. "Tolong Nit, Nanta... dia... dia..." jawabnya terhisak, memelukku.

Ada apa ini? kenapa bisa seperti ini.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta dalam Hayalan Bahagia
597      384     3     
Short Story
“Seikat bunga pada akhirnya akan kalah dengan sebuah janji suci”.
In your eyes
7090      1727     4     
Inspirational
Akan selalu ada hal yang membuatmu bahagia
Loker Cantik
477      357     0     
Short Story
Ungkapkan segera isi hatimu, jangan membuat seseorang yang dianggap spesial dihantui dengan rasa penasaran
The First
435      310     0     
Short Story
Aveen, seorang gadis19 tahun yang memiliki penyakit \"The First\". Ia sangatlah minder bertemu dengan orang baru, sangat cuek hingga kadang mati rasa. Banyak orang mengira dirinya aneh karena Aveen tak bisa membangun kesan pertama dengan baik. Aveen memutuskan untuk menceritakan penyakitnya itu kepada Mira, sahabatnya. Mira memberikan saran agar Aveen sering berlatih bertemu orang baru dan mengaj...
Arini
865      489     2     
Romance
Arini, gadis biasa yang hanya merindukan sesosok yang bisa membuatnya melupakan kesalahannya dan mampu mengobati lukanya dimasa lalu yang menyakitkan cover pict by pinterest
Ken'ichirou & Sisca
7966      2214     0     
Mystery
Ken'ichirou Aizawa seorang polisi dengan keahlian dan analisanya bertemu dengan Fransisca Maria Stephanie Helena, yang berasal dari Indonesia ketika pertama kali berada di sebuah kafe. Mereka harus bersatu melawan ancaman dari luar. Bersama dengan pihak yang terkait. Mereka memiliki perbedaan kewarganegaraan yang bertemu satu sama lain. Mampukah mereka bertemu kembali ?
Musyaffa
79      67     0     
Romance
Ya, nama pemuda itu bernama Argya Musyaffa. Semenjak kecil, ia memiliki cita-cita ingin menjadi seorang manga artist profesional dan ingin mewujudkannya walau profesi yang ditekuninya itu terbilang sangat susah, terbilang dari kata cukup. Ia bekerja paruh waktu menjadi penjaga warnet di sebuah warnet di kotanya. Acap kali diejek oleh keluarganya sendiri namun diam-diam mencoba melamar pekerjaan s...
Panggil Namaku!
7037      1912     4     
Action
"Aku tahu sebenarnya dari lubuk hatimu yang paling dalam kau ingin sekali memanggil namaku!" "T-Tapi...jika aku memanggil namamu, kau akan mati..." balas Tia suaranya bergetar hebat. "Kalau begitu aku akan menyumpahimu. Jika kau tidak memanggil namaku dalam waktu 3 detik, aku akan mati!" "Apa?!" "Hoo~ Jadi, 3 detik ya?" gumam Aoba sena...
Foodietophia
455      338     0     
Short Story
Food and Love
It's Our Story
721      291     1     
Romance
Aiza bukan tipe cewek yang suka nonton drama kayak temen-temennya. Dia lebih suka makan di kantin, atau numpang tidur di UKS. Padahal dia sendiri ketua OSIS. Jadi, sebenernya dia sibuk. Tapi nggak sibuk juga. Lah? Gimana jadinya kalo justru dia yang keseret masuk ke drama itu sendiri? Bahkan jadi tokoh utama di dalamnya? Ketemu banyak konflik yang selama ini dia hindari?