2. Gita Melodya Nanta
“Selamat pagi teman-teman, perkenalkan namaku Gita Melodya Nanta. Kalian bisa memanggilku Gita. Aku anak baru di kelas ini. Senang bertemu kalian!” seorang anak tengah memperkenalkan dirinya di depan kelas. Ia masih mengenakan seragam sekolahnya yang lama, yang tentunya berbeda dengan seragam kami. Rambutnya diikat setengah, dengan pita berwarna biru dan poni samping yang sesekali menutupi sebelah matanya. Dia Gita, teman baruku.
Aku mellihat raut wajah teman-temanku. Banyak dari mereka yang antusias ingin mengenal Gita. Begitupun aku. Pertanyaan semacam, ‘Gita pindah dari mana?’ ‘Kenapa pindah ke sini?’ ‘Sekarang rumahnya dimana?’ beruntun ditujukan pada Gita. Ya, memang begitu. Jelas saja, itukan pertanyaan klasik yang ditujukan untuk anak baru di sekolah.
Gita duduk tepat di depanku, disamping Nesya. Aku sedikit menendang kursinya agar dia mau berbalik dan berkenalan denganku.
“Aku Athalea, kamu bisa panggil Lea.” kataku sambil senyum ke Gita.
“Gita.” Jawabnya ramah.
Sebenarnya aku ingin berlama-lama bercerita dengannya, hanya saja Bu Meyti dengan galaknya menegurku secara tiba-tiba.
“Hey, Lea! Kamu ceritanya nanti saja. Sekarang Ibu mau mengajar. Gita, hadap ke depan. Jangan dengarkan Athalea!”
Mungkin Gita merasa Bu Meyti berubah drastis, dari yang tadinya manis menjadi galak setengah mati. Perlu kalian tahu bahwa Bu Meyti adalah salah satu guru senior di sekolahku. Penampilannya yang nyentrik selalu menjadi bahan pembicaraan murid-murid di sekolahku. Bahkan, murid kelas III SD seperti kami inipun sanggup menceritai Bu Meyti di belakang. Bukan apa-apa, bayangkan saja Ia datang ke sekolah dengan rok selutut dan sepatu high heels. Wajar saja memang, tapi yang sangat membuat mata silau memandang adalah warna yang dikenakannya setiap hari. Ia bisa datang ke sekolah dengan baju blazer biru lengkap dengan roknya, sepatu mengkilap warna biru, anting-anting biru, bando biru, tas biru, bahkan sepeda motornya juga biru. Untung saja lipsticknya tetap merah, tak terbayang jika bibirnya juga berubah menjadi biru. Aku tahu, seorang guru harus selalu tampil menarik di depan murid-muridnya, tapi kurasa itu sudah melampaui batas ketertarikan murid-murid seperti kami. Satu lagi, dia memang terkenal dengan ke-matching-annya dalam berpenampilan. Semua harus seragam, satu warna.
Aku mencoba fokus mendengarkan penjelasan dari Bu Meyti. Oh iya, Bu Meyti adalah guru kelasku. Hampir semua mata pelajaran diajarkan olehnya, terkecuali Bahasa Inggris, Agama, dan Olahraga. Kata Ibuku, dia masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga kami. Katanya, dia adalah isteri dari saudara Ibu. Ah, aku tak tahulah bagaimana hubungannya. Tak bisa ku jelaskan.
Seperti biasa, di akhir pelajaran Bu Meyti suka menyuruh salah satu dari kami untuk bernyanyi di depan kelas. Hari itu, tiba-tiba dia menyuruh Gita untuk bernyanyi di depan kelas.
“Astaga! Dia kan masih anak baru. Kasihan.” Bisikku pada Rara yang ada di sampingku.
“Yaudah lah. Toh dia semangat kok maju ke depan. Hahah.” Jawab Rara yang tidak terlalu memperdulikan aku yang terlalu ambil pusing.
“Lagian, kamu saja yang memang gak bisa nyanyi. Makanya kamu selalu panik kalau Bu Meyti tiba-tiba nyuruh salah satu dari kita untuk nyanyi di depan kelas.” Sambung Rara sambil membereskan bukunya.
Aku menoleh ke arah Rara sinis. “Iya aku tahu aku gak bisa nyanyi, tak biasa aja dong ngomongnya. Remeh banget.”
Rara tak menyahuti perkataanku lagi. Dia mengerti aku, jika aku sudah mulai emosi pasti dia lebih memilih untuk diam agar tidak ada perdebatan diantara kami.
“Gita, kamu bisa nyanyi? Ibu mau kamu nyanyi satu lagu hari ini.” Bu Meyti mulai mendekati Gita yang sudah berdiri di depan kelas. Sementara Gita hanya diam seperti seolah berfikir.
“Gita, kamu dengar Ibu kan?” suara Bu Meyti mulai meninggi.
“I. . . iya Bu. Tapi tunggu sebentar, saya lagi berfikir.” Jawab Gita polos.
“Kamu saya suruh nyanyi, bukan berhitung!” bantah Bu Meyti.
“Dia pasti gak bisa nyanyi Bu!” kata Zafran dari bangkunya. Semua siswa mulai berbisik gelisah di bangkunya. Sementara Gita di depan masih saja diam dan tak merasa bersalah. Dia terlihat seolah sedang tidak ditunggu.
“Ayo Gita! Kamu bisa tidak? Kalau kamu tidak bernyanyi, semua kalian tidak boleh pulang.” ancam Bu Meyti. Sedikit aneh, Bu Meyti hanya mementingkan suasana hatinya. Kebiasaannya yang selalu menyuruh siswa bernyanyi di depan kelas membuat aku risih. Bahkan hari itu tidak sedang belajar Kesenian, tapi dia tetap saja menyuruh satu diantara kami untuk bernyanyi.
Gita mulai membuka mulutnya, tapi suaranya masih tertahan di ujung lidahnya.
“Hhhhh. . . .” Gita menarik nafasnya dalam.
Janganlah menangis Mamaku
“Dia bisa nyanyi Le, gak kayak kamu! Hahah.” Kata Rara mengejekku.
“Suaranya bagus woi!” sambung Diah dari seberang meja kami.
Janganlah kau bermuram selalu
Biarpun putus sekolahku
Namunku tetaplah anakmu
“Saingan Missel nih.” sambung Nesya yang berada di depan bangku Rara.
Kutahu pedih di hatimu
Kutahu beban deritamu
“Yaudahlah ya, kapan-kapan kami duet.” Jawab Missel dari bangkunya dengan intonasi yang merasa tersaingi.
Tiada yang dapat menolongku
Melanjutkan cita-citaku
Walaupun Papa tiada di sisi kita
Tak perlu bersedih tak perlu duka
Walau derita tertindih datang melanda
Bersabarlah Mama, berdo’alah
Tabahlah Mama, teguhkan hatimu
Hilangkan duka dalam gada Mamaku
Tabahlah Mama, teguhkan hatimu
Derita kan berakhir jua Mamaku
Bukanlah rumah, bukanlah harta
Hanya do’amu yang kupinta oh Mama
Tiada duka, sepanjang masa
Bahagia pasti miliki kita oh Mama
Oh Mama. . . Oh Mama . . .
Oh Mama, Mama, Mama, oh sayangku . . .
Oh Mama. . . Oh Mama . . .
Oh Mama, Mama, Mama, oh sayangku . . .
Satu lagu selesai dinyanyikan oleh Gita. Suara gemuruh tepuk tangan seisia kelas mengirinya duduk kembali ke bangkunya. Sebagai anak baru, dia berhasil membuat kesan pertama yang baik untuk kelas itu.
Itulah Gita. Anak baru yang namanya nanti akan banyak kau temui dalam ceritaku selanjutnya.
Nice, gaes^^
Comment on chapter 1. Aku, Athalea