Aku ingin tahu lagi, lagi, lagi, dan lebih banyak tentangmu, bahkan lebih dari dirimu sendiri.
- Breakeven
"Apa yang udah aku bilang berkali-kali tentang rokok?" tanya gue melangkah mendekat, setelah mencari-cari keberadaan Letta yang entah di mana, dan gue mendapati ini cewek merokok dengan santainya di gudang lantai empat.
Yang di tanya bahkan berkali-kali seolah tak peduli. Dia kira gue nggak kesal?
Hell! Jangan tanya seberapa terkejutnya gue pertama kali kenal Letta yang di atap waktu itu, yang dengan seenaknya minta rokok ke gue.
"Udah makan?" tanyanya yang langsung bikin gue ngehela napas.
Jangan coba ngalihin pembicaraan Zetheera.
"Sekarang tukeran," ujar gue sembari menyodorkan sekaleng susu beruang pada Letta.
"Cuma sebatang ini doang kok," kilahnya, menyenderkan bagian depan tubuh pada jendela yang terbuka – membelakangi gue.
"Cuma sebatang doang yang kamu pegang, cuma sebatang yang ada di saku kamu, dan cuma sebatang yang ada di rok yang kamu pakai. Jumlah semuanya tiga. Kasih ke aku sekarang," ucap gue dengan nada dingin. Jangan tanya gue tau dari mana. Letta pacar gue dan gue tau semuanya. Catat.
Namun, setelah sekian detik setelahnya, cewek itu hanya bergeming dengan rokok yang masih terus-terusan di hisap.
Cukup, gue kesal!
Tep!
Persetan dengan tangan gue yang terkena api rokok, secepat kilat gue menyambar rokok yang di apit oleh kedua jari Letta dan melemparnya keluar jendela.
Lantas Letta memejamkan matanya, seolah hendak menahan emosi yang mungkin bakal meledak atas apa yang gue lakuin.
"Aku ulangi sekali lagi. Apa yang aku bilang tentang merokok?" tanya gue yang kedua kalinya dengan tangan terpangku di depan dada, menatap pada cewek itu dengan senyum miring ikut tersungging di bibir gue.
Marah? Silahkan Letta. Lo bahkan selalu jadiin gue samsak tinju yang selalu lo pukul seenaknya setiap saat.
Kesal? Sangat-sangat di persilahkan. Lo bahkan selalu bikin gue kesal dengan sikap acuh tak acuh lo. Tapi gue tetap sayang...
Setelah hampir satu menit hanya keterdiaman yang gue dapat, Letta tiba-tiba menghela napasnya, dengan lesu mengeluarkan satu batang rokok dari saku baju dan saku roknya, dan mengulurkannya pada gue yang gue terima dengan heran.
Tidak biasanya. Karena seperti yang kalian tahu, Letta akan marah-marah, menolak, bahkan bisa dengan tak berdosanya mukul gue. Tapi, kali ini? Letta ga sakit kan?
"Maaf," ucapnya pelan yang langsung bikin gue terheran-heran.
Fiks, ada yang ga beres kalau Letta sudah mengucapkan kata maaf. Hell! Seingat gue Letta ga pernah ngujarin kata maaf ke gue. Apa mungkin pernah? Entah, gue lupa.
Kenapa gue malah pengen Letta marah aja kayak biasanya? Hey! Ini jarang terjadi bung!
Dengan kernyitan di dahi yang belum hilang, gue mengambil rokok di tangan Letta dengan mata menyipit – menyelidik.
"Kamu ga biasanya," ucap gue menekankan sebuah pernyataan. "Biasanya marah-marah. Sekarang kenapa jinak?" lanjut gue yang langsung menimbulkan dengusan pelan Letta.
Cewek itu tak menjawab, malah melangkah pergi dari gudang. Kadang suka heran, gimana mau di mengerti kalau ngasih clue aja ga jelas gini.
Dasar perempuan.
Yaudah, gue juga ikut beranjak. Kayak yang gue tonton di film-film, kalo cewek pergi bukan berarti dia emang pengen ninggalin, dalam hatinya ia berharap di susul terus di tanyain kenapa-kenapanya. Gitu kan? Gue bener kan?
Hingga sampai di depan kelas cewek itu, gue dengan santainya melenggang masuk dan menempatkan diri di samping Letta yang kini menenggelamkan kepalanya di atas meja.
Tatapan orang-orang? Penilaian orang-orang? Atau bahkan yang mengerjai Letta?
Itu sudah berlalu omong-omong, setelah gue ngamuk habis-habisan di depan loker Letta yang lagi-lagi di kerjai oleh penggemar gue.
"Kenapa lagi?" tanya Dion yang langsung menghadang jalan gue. Haish! Dion terkadang benar-benar mengganggu dengan sikap protektifnya pada Letta. Ia bahkan ngancem bakal ngabisin gue kalo sekali aja nyakitin Letta. Mau gaya dia?
"Gue gatau," jawab gue malas. "Sekarang lo minggir dulu."
"Masih inget kan yang gue bilang kemarin?" tanyanya dengan nada sarat ancaman. Baru aja gue bilang tadi.
"Masih sangat jelas yang Mulia Dion yang sangat menyayangi Puteri Zetheera Sekaletta. Sekarang hamba izin untuk berbicara sebentar dengan putri anda," ucap gue dengan nada malas. Dion memutar bola matanya, yang langsung menyingkir setelahnya.
Gue mendudukkan diri di samping Letta, menatap sebentar pada rambutnya yang terjuntai.
"Aku udah ga ngerokok lagi omong-omong." Mulai gue, sembari memainkan pena milik Letta yang terkapar di atas meja.
"Aku tahu, berhenti ngerokok tuh berat. Bukan cuma rindu aja." Gue terkekeh sendiri. Mungkin di balik sana, Letta sedang mengumpat seperti biasanya, tentang betapa recehnya gue.
"Tapi aku selalu nyoba buat ga ngerokok, walau kadang lidah gue pahitnya ga ketulungan. Aku tahu, kamu juga ngerasain itu." Gue menghela napas. Letta juga tak bergeming.
"Aku cuma pengen yang terbaik buat kamu," gue menjeda kalimat, mencoba memainkan sedikit ujung rambut Letta, "kita selesain satu-satu. Pertama, takut kamu dengan gelap, aku selalu berusaha buat ngehubungin kamu langsung terus dateng ke rumah kamu kalau mati lampu, dan duduk di luar jendela cuma buat nungguin kamu tidur. Biar kamu terbiasa dalam gelap."
"Dan buat kamu yang ngerokok. Gaada yang bisa aku lakuin selain selalu nyita semua rokok yang kamu punya, dan ngasih susu beruang."
Letta masih tak bergeming, gue menghela napas lelah. Melihat ke arah jam, lima menit lagi bakal lonceng masuk.
Gue berdiri, merasa Letta memang benar-benar tak ingin diganggu.
"Aku balik dulu. Ini susunya, jangan lupa di minum."
Gue langsung hendak berdiri setelahnya, namun tiba-tiba tangan Letta menahan paha gue, tapi dengan kepalanya masih ia benamkan di bawah meja.
Tiba-tiba sebuah kertas kecil terulur dari tangan Letta yang menjadi tumpuan kepalanya. Ia masih keukeuh membenamkan kepalanya di atas meja.
Dengan kernyitan, gue langsung menarik kertas itu, dan spontan tak kuasa menahan senyum, ah lebih tepatnya tawa.
Apa gue pernah bilang kalau ternyata Letta itu sebenarnya menggemaskan? Ah! Belum kan?
Mau tau isi kertasnya?
Tadi gue liat lo sama Nada di bawah pohon. Ngapain?
Nb. Jangan ketawa! Gue ga cemburu! Gue cuma nanya!
'What a cutties girlfriend that i ever had.'
~ end ~
...
Argghh... Hallo gue Ocakwe.
Dan di sini gue bener-bener minta maaf yang semaaf-maafnya cerita ini tamat dengan alur yang amat sangat di paksakan. Pasti kalian rasakan itu, apalagi gue.
Maaf sekali lagi maaf. Karena jujur, feel aku ilang buat ngelanjutin cerita ini, padahal ini adalah cerita yang bakal aku kirim ke penerbit bareng anak-anak se-gc aku. Deadlinenya tanggal 15 Desember sekarang, makanya aku ga sempet lagi buat bikin konflik bagus buat penutupnya.
Dengan berakhirnya cerita ini, aku bakal mau fokus ke Galea, karena aku berharap banyak pada cerita itu.
Least, cerita ini yang awalnya aku harap tamat di chapter 35an ternyata hanya mampu menginjak di chapter 27. Sekali lagi aku minta maaf.
Terima kasih atas semua komentar juga vote kalian dan telah mendukung cerita ini.
Tanpa kalian, cerita ini bukan apa-apa.
Aku sayang kalian <3
Next...Next... pengen tahu si galaksi sama zetheera menjalani pura-pura pacaran dan tingkah fansnya galaksi melihat mereke berdua.. Hihihihi... ;d
Comment on chapter [2] Sarkasme