BAB XXV
Aku terbangun dan tidak bisa melihat apa-apa?semuanya gelap, matahari telah tenggelam. Terdengar suara langkah kaki, tidak jelas kemana arahnya, lalu lampu yang ada di atasku perlahan-lahan mulai menyala.
Tempat ini belum pernah aku jumpai sebelumnya, mungkin berlokasi di sekitar pelabuhan karena samar-samar aku dapat mendengar suara terompet kapal yang akan berangkat. Tapi pemandangan ini bukan yang pertama kalinya aku lihat. Skenario ini sama seperti yang terjadi pada penyekapan Hanif?Aku diikat di sebuah kursi dan di depanku ada sebuah bangku dan meja. Seseorang berjalan dari belakang dan duduk dibelakang meja. Orang itu adalah Jee.
“Sudah bangun?” tanyanya sambil tersenyum.
Aku harus berusaha tenang dan mengikuti permainannya.
“Kau tidak haus? mau segelas kopi, teh, susu?” Jee terus saja berbasa-basi, persis seperti apa yang dia lakukan terhadap hanif.
“Apa yang kau inginkan?” tanyaku langsung ke intinya.
“Apa yang ku inginkan? Kau benar-benar ingin tau?”
Ia mendekatiku, mencengkram rahangku dengan tangan kotornya.
Jee mendekatkan wajahnya kepadaku. “Kau benar-benar ingin tau!?” Ia benar-benar berteriak di depan wajahku sampai air liurnya menyembur. Aku menelan ludahku dan berusaha mengendalikan diriku.
Jee kembali tersenyum, menghela nafasnya dan kembali ke kursinya sambil tersenyum kecut.
“Apa yang kuinginkan ya?Aku tidak tau.” katanya sambil mengangkat kedua tangannya. “Seorang tikus betina ikut campur dalam permainanku, mencoba untuk menjadi pahlawan kesiangan. Menggerogoti bisnisku dari akarnya, perlahan-lahan sambil bisnisku hampir tumbang. Untung saja tikus itu bisa kutangkap lebih cepat. Perlawanan yang cukup sengit, mengingatkanku pada masa-masa indah bersama Hanan. Tidak seperti adiknya yang bodoh itu.tapi bukan berarti kau mampu menyaingi Hanan. Permainanmu tergesa-gesa, kasar, ingin cepat-cepat selesai. Aku sangat membenci hal itu, membuatku tidak puas.
Jee membuka botol bir yang ada di mejanya dengan giginya, dan meminumnya langsung. Ia mengusap-usap mulutnya yang basah.
“Ah, sudah cukup berputar-putarnya. Begini saja, sekarang kau sudah di ambang kekalahan. Tidak ada yang bisa kau lakukan lagi, pengawal itu sudah aku singkirkan?jika beruntung mungkin masih dalam keadaan koma di rumah sakit. Ohiya, kabar baiknya Hanif berhasil melarikan diri, tapi aku rasa pecundang itu tidak berani lagi menampakkan wajahnya dihadapanku. Kita buat saja perjanjian. Kau lupakan saja rencanamu itu?menakut-nakuti pelangganku, menyekap pengedarku, dan menangkapku sebagai pemimpin sindikat narkoba di kampus. Sebagai balasannya, aku akan melepaskanmu dari ikatan itu dan mengantarmu kembali ke apatermenmu. Aku tidak akan lagi mengusik kehidupan pribadimu termasuk pengawal raksasa maupun temanmu hanif. Prospek yang menguntungkan bukan? Orang-orang menyebutnya dengan simbiosis mutualisme. Nah, Bagaimana pendapatmu?”
Aku hanya menatapnya dengan tatapan tajam. Ia menunggu jawabanku sambil mengetuk-ngetuk meja. Kesabarannya sudah habis. Ia bangkit dari kursinya dan menghampiriku lagi. Ia setengah membungkuk untuk menyamai tinggiku dan mulai menyentuh bibirku. Spontan aku langsung meludahinya karena merasa dilecehkan. Air liur ku tepat jatuh di matanya.
“Wanita keparat!” Ia langsung mendaratkan tamparannya tepat di pipiku sampai aku terjatuh dalam keadaan terikat di kursi.
Aku dapat merasakan rasa asin. Sepertinya bibirku robek dan mengeluarkan darah. Jee berjongkok di depanku, ia mengusap darah yang mengalir dari bibirku dan menghisapnya. Kali ini aku benar-benar tidak dapat menahan tangisku.
“Bagaimana pendapatmu?” kata Jee.
Senyumnya benar-benar menjijikan.
“Kau setuju bukan?”
Aku terus menutup mataku?tidak berani memandangnya ataupun menjawab pertanyaannya. Tidak ada yang terjadi padaku. Aku melihat Jee sedang menatap ke arah di belakangku.
“Lepaskan dia.” kata orang dibelakangku.
Aku mengenal suara itu!
Jee bertepuk tangan menyambut kedatangan orang itu. “Sudah lama tidak bertemu ya, Nif?”
Hanif langsung menghampiri Jee dan memukulinya. Jee hanya berusaha mengelak dan tidak memberikan perlawanan, mungkin karena tubuhnya yang mungil kalah dengan tubuh besar Hanif. Jee terus saja terdesak ke belakang dan akhirnya satu pukulan telak menumbangkannya. Hanif segera melepas ikatanku.
“Ayo, kita harus pergi darisini secepatnya.”
Ketika aku sudah menerima uluran tangan Hanif untuk berdiri, Jee yang tergeletak menyender di dinding malah tertawa.
“Kau pikir aku ini bodoh?”
Tiba-tiba dari kegelapan muncul satu per satu pengedar yang sebelumnya telah Gunawan sekap dan ancam. Mereka semua mengelilingi kami. Aku menatap Hanif yang sedang melirik ke kanan dan kiri. Matanya mengatakan tidak ada jalan keluar lain. Pengedar-pengedar itu tertawa melihat kami.
“Inilah akibatnya jika tikus berani berbuat macam-macam dengan kucing ‘hitam’.” kata Jee.
Hanif kehilangan akal dan langsung berlari menuju orang-orang itu, berusaha mengalahkan mereka semua?satu lawan empat puluh. Dalam waktu singkat mereka berhasil menjatuhkan Hanif, menginjaknya, menendangnya, meludahinya, dan menghinanya. Sungguh aku tak kuasa melihat semua ini. Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat karena aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanyalah seorang gadis yang lemah. Pengedar-pengedar itu sepertinya sudah puas mengeroyok hanif. Aku menghampiri hanif yang sudah penuh dengan luka dan lebam di sekujur tubuhnya.
“Ma.. Maaf.. Maafkan aku.” bisik Hanif. Mukanya bonyok dan bibirnya robek. Air mata semakin membasahi pipiku. Aku hendak melepas kemeja yang aku kenakan untuk menyeka darah Hanif yang terus mengalir. Aku tidak peduli lagi dengan pria-pria itu yang memandangi tubuhku yang menjijikan. Tapi tangan hanif mencengkram pergelangan tanganku begitu kuat. Hanif berusaha menahanku.
“Ja.. Jangan.” bisik Hanif. “A.. Aku tidak.. apa-apa.”
Jee bertepuk tangan diikuti pengedar-pengedar lainnya. “Sungguh drama yang menyedihkan.” kata Jee sambil menyeka air mata buayanya. “Aku terharu dengan kalian berdua, kasihan.”
Tiba-tiba hanif berusaha bangkit.
“Hanif! Tidak ada gunanya melawan! Sudahlah!” kataku terisak-isak.
Hanif akhirnya berhasil mendapatkan keseimbangannya dan berdiri.
“Kau lah yang menyedihkan.” katanya dengan penuh keyakinan.
Gerombolan polisi mendobrak pintu masuk dan menodong para pengedar itu dengan senjata api. jumlahnya sangat banyak?lebih banyak dari jumlah pengedar itu.
“Semuanya, tiarap! tangan diatas!” kata salah satu dari komando polisi tersebut.
Pengedar-pengedar tersebut langsung tiarap ketakutan mengikuti perintah polisi, tapi ada yang aneh,
Jee malah menantang polisi-polisi itu..
“Kau yang disana!” teriak komando polisi itu. “cepat, tiarap!” memerintahkan Jee untuk tiarap.
Jee tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya.
“Baiklah, jangan kasar begitu padaku. setidaknya aku ingin membawa seseorang ke neraka bersamaku.” Jee seketika meraih pistol di tangannya dan mengacungkannya ke arah Hanif. Salah satu polisi berusaha mencegah tindakan Jee dan melepas tembakan, tapi semua itu sudah terlambat.
Jee tergeletak dengan peluru bersarang di dadanya, begitu juga Hanif..
Tubuh Hanif benar-benar ada didepanku.
“Hanif!”
Aku memangku kepalanya di pahaku. Aku tak bisa lagi membendung semuanya?tangisku meledak, melimpah ruah.
“Hanif.. ini semua salahku.. jangan pergi sekarang.. semuanya baru saja berakhir.”
Aku merasakan tubuhnya bergerak, bibir Hanif seperti menahan tawa. Aku membuka kemejanya dan ternyata dia memakai rompi anti peluru. Hanif menertawai kelakuanku.
“Hanif!” aku menamparnya karena malu.
“Aw! masih sakit.” aku tak sengaja menampar luka lebamnya.
Aku memeluk Hanif erat-erat.
*
Jee dinyatakan sudah tak bernyawa, sementara para pengedar diringkus dan hendak dibawa ke kantor polisi. Ambulans datang untuk membawa jasad Jee dan mengobati luka Hanif. Gunawan menghampiri kami bersama seorang polisi. Aku yang sedang mengobati luka hanif dengan obat merah.
“Perkenalkan, ini Inspektur Ivan. Inspektur, ini Clara.” kata Gunawan saling mengenalkan.
“Kami sangat berterimakasih kepada saudara yang telah membantu kami menyelesaikan kasus ini.” kata Inspektur Ivan.
Aku hanya tersenyum dan tidak bisa berkata-kata lagi.
“Ohiya, bagaimana Hanif dan Inspektur bisa tau keberadaanku?” tanyaku.
“Kami menyisir daerah di sekitar pelabuhan. Tindakan saudara hanif untuk berpencar dari kami adalah keputusan yang berbahaya, tapi untung saudara segera mengabari kami sebelum melakukan tindakan selanjutnya.” jawab Inspektur Ivan.
“Aw, pelan-pelan!” rintih Hanif kesakitan.
“Memang sakit! Kau sih ceroboh, jadinya begini.” kataku sambil mengobati lukanya dengan kapas yang sudah dibasahi obat merah.
“Kalau begitu saya permisi dulu. Masih banyak urusan yang harus diselesaikan.”
Inspektur Ivan dan Gunawan pamit.
“Nif, Omong-omong..” mulaiku ragu-ragu.
“Omong-omong kenapa?” tanya Hanif sambil merapatkan jaket yang dipakainya. Udara malam ini begitu dingin.
“Apa yang ingin kau lakukan setelah semua ini?”
"Aku tidak pernah menghisap apapun selain udara"
Comment on chapter BAB IIOke, mungkin kalimat itu bakal nempel dikepalaku sampai besok :))