BAB XXII
Aku dan Mr. Black sedang berada di pusat perbelanjaan. Aku ingin membeli beberapa kebutuhan pribadiku, selain itu kami juga harus membeli beberapa barang yang dibutuhkan oleh Hanif. Hanif tidak membawa apa-apa selain pakaian yang dikenakannya dompet di saku celananya saat tiba di apartemen kami. Kami juga tidak mungkin kembali ke kos lama Hanif untuk mengambil barang-barangnya karena itu dapat menimbulkan kecurigaan. Barang-barang yang sekiranya dibutuhkan hanif untuk sekarang adalah pakaian dan peralatan mandi?selebihnya sudah tersedia di apartemen. Mr. Black yang membawa troli sementara aku yang mengambil barang. Terkadang aku meminta bantuan Mr. Black untuk mengambilkan barang yang terletak di rak yang cukup tinggi. Kami mengitari mal cukup lama dan akhirnya menemukan semua barang yang kami butuhkan. Kami kembali ke apartemen.
*
“Terimakasih ya, maaf sudah merepotkan kau Clara, ohiya kau juga Pak Tua.” kata Hanif sambil berkedip ke Mr. Black.
Aku tertawa ketika Hanif memanggil Mr. Black dengan sebutan Pak Tua. Mr. Black sendiri buang muka karena merasa sedikit tersindir, walaupun ia pendiam tapi perasaannya cukup sensitif. Hanif sendiri tidak menyadari bahwa panggilannya tersebut sedikit kasar untuk Mr. Black.
“Sekarang tidurlah, besok pagi kita akan menjalankan misi sesuai rencana.” kataku.
“Rencana yang mana? Memangnya kita sudah merencanakan sesuatu?” tanya hanif kebingungan.
“Kan sudah ku bilang kemarin kita akan mendata siapa saja yang menjadi pelanggan dan pengedar.”
“Tapi kau tidak beritahu caranya.” tepis Hanif.
Aku menjelaskan dengan sabar. “Begini, seperti yang kita ketahui bahwa setiap hari selasa pagi para pengedar akan pergi ke gudang penyimpanan untuk mengambil barang pesanan. Masalahnya adalah mereka pasti sudah memindahkan tempat pertemuan mereka karena gudang yang lama pasti sudah diawasi polisi. Kita bisa mengetahui letak gudang penyimpanan yang baru dengan membuntuti salah satu pengedar itu. Kau kan sering kesana dengan menumpang pasanganmu , Ghifari. Kau masih ingat kan mobilnya?”
“Ya, aku masih ingat. civic kuning yang sudah dimodifikasi seperti mobil sport.”
“Apa kau tau dimana Ghifari tinggal?”
“Tidak, aku selalu minta djemput.”
Aku berpikir sebentar. “Setidaknya kita harus tahu dimana mobil itu akan melintas.”
Mr. Black mulai buka suara. “Perempatan.”
Hanif sepertinya tidak paham apa yang diucapkan Mr. Black, tetapi aku langsung menangkap maksudnya.
“Mr. Black benar! Perempatan di pusat perbelanjaan itu menghubungkan jalan ke berbagai tempat yang penting. Kita bisa parkir di salah satu kios dan menunggunya lewat, setelah itu kita bisa mulai membuntutinya dari jauh.”
Hanif terlihat kagum dengan penjelasanku.
“Kalau begitu tunggu apa lagi, mari kita tidur. Besok jangan sampai terlambat.” kata Hanif.
“Baiklah, selamat malam.” kataku.
Aku mengintip sesaat sebelum menutup pintu. Hanif tidur di sofa dan Mr. Black pergi ke kamarnya. Mereka berdua tampak belum begitu akur, mungkin karena baru kenal sebentar. Semoga saja mereka berdua bisa cocok. Aku kembali ke kamarku, menyetel jam weker untuk berbunyi pada pukul 4 pagi.
*
Jam wekerku berbunyi?jam 4 lebih 2 menit. Aku langsung bergegas mandi dan mengenakan pakaian, keluar dari kamarku dan mengetuk pintu kamar nomor 907? kamar Mr. Black. Mr. Black membuka pintu?sudah siap dengan jas hitamnya, sementara Angga masih tidur terlelap di sofa.
“Kau tidak membangunkannya?” tanyaku pada Mr. Black.
“Susah.” jawabnya.
Aku berusaha membangunkan Hanif, benar kata Mr. Black bahwa dia benar-benar seperti badak kalau sedang tidur. Aku mengambil botol air mineral di meja dan menyipratkan sedikir air di wajahnya. Ia setengah melompat dari sofa, sangat terkejut. Aku bilang pada Hanif bahwa aku dan Mr. Black akan menunggunya di lobi agar dia bergegas. Setengah jam kemudian baru dia datang menyusul. Hanif bertindak bodoh karena dia tidak memakai masker, aku memarahinya dan memberinya masker yang ada di tasku. Kami langsung menuju basement dan pergi naik mobil. Jalanan masih sepi, hanya satu atau dua kendaraan yang melintas. Kami tiba pada pukul 5 pagi di perempatan. Mobil kami berhenti di depan salah satu rumah makan yang masih tutup. Setelah cukup lama menunggu, sebuah mobil kuning melintas, Hanif meyakinkan kami bahwa itu adalah mobil Ghifari. Kami segera mengikutinya. Daerah yang dituju masih sama yaitu pluit, tapi kali ini ia melewati daerah gudang penyimpanan yang lama. Markas yang baru berlokasi di sebuah gedung tua yang tidak seberapa jauh dari pelabuhan. Lahan kosong di depannya menjadi tempat parkir kendaraan. Ghifari keluar dari mobil dan mempercepat langkahnya?sepertinya ia datang terlambat, pengedar lainnya sudah berada di dalam bangunan tua itu.
“Pak tua, sebaiknya kita parkir sejajar dengan gedung itu,” saran Hanif.
Aku kurang setuju dengan pendapat hanif. “Tidak, tidak. kurasa lebih baik kita parkir sedikit menyerong, di sebelah sana.”
Mr. Black tidak bertanya kembali dan memutuskan menuruti saranku, entah karena ia masih kesal kepada Hanif karena memanggilnya pak tua atau ia lebih mempercayai diriku. Aku kira karena alasan yang kedua.
“Mengapa kita parkir disini? bukankah susah untuk melihat mereka? Pak tua cepat kembali kesana.” gerutu Hanif.
Aku menjelaskan alasanku, “Jika kita parkir tepat sejajar di depan gedung tua itu bukan saja mengundang kecurigaan, bisa-bisa kita tertangkap oleh mereka. Kau bisa terlihat darisana karena kaca film mobil ini tidak terlalu gelap.” Mereka yang aku maksudkan adalah dua orang berbadan kekar yang berjaga di depan gedung. “Lagipula wajah mereka masih akan terlihat dari sini.”
Hanif kurang sependapat denganku tapi aku tidak menghiraukannya.
Satu jam berlalu dan satu per satu dari mereka berhamburan keluar. Aku langsung merogoh tasku dan mengambil kamera untuk mengabadikan pengedar-pengedar itu. Total gambar orang yang ku ambil ada 40 buah?perkiraan Hanif tidak meleset. Kami mengikuti mobil-mobil lain keluar dari lahan kosong dan kembali ke apartemen. Mr. Black menurunkan kami berdua di lobi hotel dan pergi. Aku meninggalkan kameraku bersamanya, Mr. Black bilang dia yang akan mengurus semuanya?mencetak foto dan identitas masing-masing pengedar.
“Sebaiknya kau segera naik ke atas.” perintahku
“Aku lapar Clar,” kata Hanif sambil memandang lounge yang dipenuhi banyak makanan. Baunya menggelitik hidung dan menggugah perut kosong kami.
“Memangnya aku sudah makan pagi ini? Kau tidak bisa makan disini. pesan saja dari kamarmu, jangan sampai ada yang melihatmu, ingat itu. Ayo, cepat naik!” perintahku lagi? kali ini cukup tegas.
“Huh, menyebalkan.” celotehnya sambil berjalan menuju lift.
Aku berbalik arah untuk mengantri sarapan pagi.
"Aku tidak pernah menghisap apapun selain udara"
Comment on chapter BAB IIOke, mungkin kalimat itu bakal nempel dikepalaku sampai besok :))