BAB XII
Aku terbangun. Rasanya sudah sekian abad aku tertidur. Aku berusaha mengumpulkan kesadaranku dan menyadari apa yang telah terjadi. Seingatku?sebelum aku jatuh pingsan, aku sedang berteduh di salah satu rumah toko, lalu mengapa aku sekarang berada di padang rumput yang tak berujung? Hanya terdengar suara semilir angin yang menggerakan awan-awan diatas sana. Tidak ada siapa-siapa selain diriku. atau jangan-jangan aku sudah mati?
Aku berjalan ke sembarang arah, tanpa tujuan pasti. Setelah berjalan beberapa lama aku merasa lelah. Aku duduk sambil melayangkan pandanganku ke sekelilingku, menunggu sesuatu datang?sesuatu terjadi. Samar-samar aku melihat sesuatu di kejauhan. Hal itu membuatku penasaran dan bangkit mendekatinya. Sesuatu itu bukan benda melainkan seseorang! Aku mempercepat langkahku dan memanggil-manggilnya, tetapi dia tidak menyahut. Aku berhenti di belakang punggungnya. Orang itu memakai baju serba putih.
“Sayang ya, kita hanya bisa bertemu disini.” katanya sambil berbalik.
“Kakak!” teriakku.
Aku langsung memeluknya. melepas rinduku selama bertahun-tahun lamanya.
“Kakak kemana saja selama ini?” kataku lirih.
“Yah, aku selalu disini?tidak pernah kemana-mana, kau saja yang sombong tidak mau mengunjungiku.” kata Kakakku bercanda.
Sungguh aku ingin memukulnya. Keadaannya sudah seperti ini tapi dia masih saja suka bermain-main denganku. Kami berdua duduk.
“Bagaimana keadaan ayah dan ibu?” tanyanya.
“Kakak lihat saja sendiri.” jawabku ketus.
“Ah kau ini menyebalkan!” balasnya sambil mengacak-acak rambutku.
“Kenapa Kakak tidak sudahi saja semua ini?” kataku sambil menatapnya.”kita bisa berhenti mengusik mereka dan menjalani kehidupan kita semestinya.” kataku.
“Aku harap bisa semudah itu.”
“Memangnya sesusah apa sih?”
“Sudahlah, aku pergi dulu. Waktuku tak lama lagi.” ia bangkit dan berjalan menjauhiku.
Entah kenapa tubuhku tidak mau bergerak dan mulutku terkatup rapat. padang rumput yang tadinya tak berujung lama kelamaan mengecil, dan aku ikut musnah bersamanya.
*
Aku terbangun kembali. Kelopak mataku terasa berat menyesuaikan sorot lampu kamar. Rintik-rintik hujan mengetuk-ngetuk jendela di samping kasurku. Aku berada di rumah sakit.
“Kau sudah sadar rupanya.” suara itu datang dari sudut kamar?seseorang sedang membaca majalah.
“Angga?” aku berusaha bangun. “apa yang terjadi padaku?”
“Beruntung aku menemukanmu di rumah toko saat perjalanan pulang, aku kira kau sudah mati.” ia menambahkan. “Dokter bilang kau hanya kelelahan, pola hidupmu tidak teratur dan semacamnya. bagiku itu hanya omong kosong karena yang sebenarnya kau kebanyakan merokok akhir-akhir ini.” katanya dengan nada mengejek.
“Terimakasih.” kataku. “Kau sendiri tidak pulang?”
“Terpaksa aku harus menjagamu seharian penuh.” katanya. “Diluar tadi badai, dan sekarang sudah reda sepertinya.”
Aku menatap ke luar jendela.
“Baiklah, aku pulang dulu teman. terlalu lama disini bisa membuatku sakit.” Ia menutup majalahnya, bersalaman denganku dan berjalan keluar.
Keadaan menjadi sunyi. aku meraih remote yang ada di meja dan menyalakan tv. Aku mengganti-ganti saluran, mencari acara yang menarik. Aku berhenti pada salah satu saluran yang menayangkan berita pembunuhan. Pelaku adalah seorang pembantu rumah tangga dan korbannya adalah majikannya sendiri. motif pembunuhan karena rasa dendam. Berita pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, dan semacamnya sepertinya sudah menjadi konsumsi masyarakat sehari-hari. Orang-orang sudah terbiasa dengan hal tersebut. Ini bisa berakibat fatal karena kepekaan kita sebagai manusia lama kelamaan pudar. Selagi aku asyik menonton tv, pintu kamarku terbuka. Sesosok bayangan wanita terlihat.
“Apa kabar?” kata Wanda sambil duduk disebelahku. Ia menaruh bungkusan berisi buah-buahan di atas meja.
Aku merasa senang karena pertemuanku dengan Wanda memang tidak pernah direncanakan.
“Aku baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” kataku. “Darimana kau tahu bahwa aku terbaring disini?” tanyaku heran.
“Aku kebetulan baru saja selesai konsultasi mengenai lututku, dan aku bertemu dengan salah satu teman sejurusanku.”
Tidak salah lagi itu angga.
“Dia bilang kau hanya kelelahan.”
“Aku hanya kurang tidur.”
“Kau bisa saja tidak selamat bila Angga tidak menyelamatkanmu.”
“Beruntung.” jawabku singkat.
“Aku punya kabar gembira untukmu.” katanya sambil tersenyum “Dokter bilang lututku pulih sangat cepat?ia bahkan sangat terheran-heran. dalam beberapa hari ini mungkin aku sudah bisa berlari untuk terapi.”
“Aku ikut senang.” sahutku riang. “Mungkin aku bisa mengajakmu lari pagi suatu hari nanti.”
“Kau sendiri saja belum sembuh.” katanya sambil mencubit lenganku.
Suster masuk membawa troli berisi makanan. Ia meninggalkan makanannya di sebelah bungkusan yang dibawa Wanda dan meninggalkan kami berdua. tercium bau sedap dari sup hangat. Wanda langsung berinisiatif mengambil piring untuk menyuapiku.
“Aku seperti menyuapi adikku saja.” katanya mengejekku.
“Aku bisa makan sendiri.” kataku.
Ia tertawa karena menganggapku marah, lalu menyuapiku sampai makanannya habis. Wanda mengambil buah apel yang ia bawa, mengirisnya dengan lihai. kurasa ia pandai memasak.
“Aku sengaja membawakanmu apel. Buah ini mengandung banyak vitamin C dan B kompleks. bagus untuk mengatasi kelelahan dan meningkatkan kekebalan tubuhmu Nif” nadanya terdengar sangat biologis dan sedikit sombong. Aku terenyuh mengetahui bahwa ia sangat memperhatikanku?sangat perhatian. Untuk menghargai usahanya aku menghabiskan apel tersebut dengan lahap.
“Terimakasih nona.” kataku.
“Sama-sama tuan.” sahutnya.
Ia mengenggam tanganku yang tergeletak lemas di atas kasur, lalu mengelus-elusnya dengan jari-jarinya. Kalau seperti ini keadaannya, aku ingin sakit terus, asalkan wanda terus berada di sisiku.
Suster masuk dengan trolinya untuk membawa sisa makananku, membuat kami jadi salah tingkah. Suster itu tersenyum-senyum sambil membereskan makananku dan akhirnya keluar. Kami dapat mendengarnya bergumam “Dasar anak muda.” sesaat sebelum pintu tertutup.
Wanda bilang ia harus pulang untuk menemani adiknya mengerjakan tugas sekolah. Ia tidak mengecup pipiku seperti di stadion softball itu, tapi aku tetap merasa senang. Aku jadi teringat kembali mengenai mimpiku sebelumnya. Mimpi adalah bunga tidur?pertanda sesuatu akan terjadi. Aku mencoba menerka-nerka maksudnya, namun hasilnya nihil. Bagaimana dengan Angga? apakah ia sudah mengetahui hubunganku dengan wanda? Ah sudahlah, aku kembali berbaring terpejam. menghilangkan semua itu dari pikiranku dan mulai tertidur.
"Aku tidak pernah menghisap apapun selain udara"
Comment on chapter BAB IIOke, mungkin kalimat itu bakal nempel dikepalaku sampai besok :))