BAB III
Satu minggu telah berlalu. Aku begitu bosan dengan pertemuan minggu pertama di perkuliahan. Untuk melepaskan beban itu Angga mengajakku untuk menemaninya membeli hadiah untuk Wanda di pusat perbelanjaan di kota. Kami menggunakan bus kota agar bisa sampai di tempat yang kami tuju yang letaknya lumayan jauh dari kos kami.
Mal ini cukup besar. Kami langsung menuju ke lantai 2 karena lantai pertama hanya terdiri dari supermarket. 5 menit sudah aku mengitari lantai ini namun belum ada satupun kios yang diinginkan Angga.
“Apa yang harus kubeli untuk hadiah Wanda, Nif?” tanyanya sambil melihat kios yang berjejer di hadapannya.
“Sesuatu yang disukai Wanda mungkin?”
“Aku juga tahu kalo sesuatu itu harus disukai Wanda. Namun aku tidak tahu-menahu sedikitpun tentang kegemarannya. Dia hanya pernah bilang bahwa dia hobi membaca buku dan aku sedikitpun tidak mendengarkannya ketika ia berbicara tentang hobinya tersebut.”
Aku langsung mengalihkan pandanganku kepada angga saat mendengar kata buku
“Buku seperti apa yang disukai oleh Wanda?”
“Sudah kubilang aku kan tidak memperhatikannya saat itu.” jawab angga ketus.
Tiba-tiba Angga seperti kerasukan setan. Ia langsung memegang kedua pundakku.
“Aku ingat nif! Kalau tidak salah dengar ia mengatakan seputar pembunuhan dan detektif.”
Benar-benar menarik
Tanpa menunggu lebih lama aku langsung mengajak Angga untuk pergi ke kios buku. Kami langsung menuju deretan buku novel dan menemukan selusin karya Agatha Christie. Aku menjelaskan bahwa buku-buku ini mengandung pembunuhan dan detektif, sama seperti yang ia deskripsikan tadi.
“Apa kau yakin nif ini buku yang dia suka?” tanyanya ragu.
“Aku yakin ini buku yang dia cari.” Jawabku dengan bangga.
Angga mengambil satu per satu buku tersebut dari raknya, membaca sinopsis yang terletak dibelakang cover buku sambil menimbang-nimbang. Setelah cukup lama ia meletakkan kembali semua buku-buku tersebut dan merapikan poni yang jatuh menutupi rambutnya.
“Entah buku apa yang harus aku pilih. Semuanya terlihat bagus.”
“The Murder of Roger Ackroyd. Ambil yang itu saja.”
Angga membayar buku tersebut dan ia berterimakasih padaku. Ia mengajakku untuk makan di salah satu restaurant di mal tersebut, tetapi aku menolaknya dengan berdalih bahwa aku sudah letih dan ia bisa mentraktirku lain kali. Kami akhirnya pulang.
*
Esok harinya aku bangun kesiangan. Walaupun biasanya aku bangun siang namun jarang aku bangun sesiang ini. Matahari sudah berada diatas langit dan panasnya begitu terik sehingga aku berkeringat hebat saat terbangun. Tidak ada kegiatan pasti yang ingin aku lakukan. Aku segera mandi dan mencari makan. Setelah itu seperti biasa menghabiskan waktu dengan membaca buku. Tiba-tiba suara pintu kamar kos ku diketuk.
Siapa yang ingin bertamu siang siang begini?
Ternyata hanya seorang pengantar surat. Selama ini aku tidak pernah mendapatkan surat selain dari ibuku. Namun ibu selalu memakai amplop putih dan tidak pernah memakai amplop berwarna coklat. Aku penasaran dan langsung merobek ujung amplop tersebut.
Untuk Hanif,
Sudah lama ya? Bagaimana kabarmu? Selamat atas keberhasilannya diterima di jurusan yang sama denganku. Aku baik-baik saja disini dan kau tidak perlu mencemaskan diriku.
Aku ingin meminta maaf sudah membuat kau, Ibu, dan Ayah resah. Aku memiliki alasan tersendiri untuk menyembunyikan kenyataan dari kalian dan mungkin sekarang waktu yang tepat untuk mengungkap semuanya. Jangan ceritakan dulu pada Ayah dan Ibu ya? Aku tidak ingin membuat mereka sedih kembali mengingatku. Aku terpaksa menghilang. Menghilang dan meninggalkan semuanya. Bukan karena keinginanku tapi keadaan yang membuatku harus bertindak cepat. Nyawaku terancam bahaya dan aku tidak ingin melibatkan siapa-siapa. Aku tidak sengaja mengetahui seluk beluk peredaran narkoba di lingkungan kampus. Aku belum memiliki bukti yang kuat untuk melaporkan hal ini kepihak kampus maupun kepolisian, namun mereka akan terus memburuku dan tidak segan-segan akan menghabisiku! Aku meninggalkan kampus tanpa membawa apapun. Jangan berusaha mencariku karena aku berada pada tempat yang aman dan disini aku juga baik-baik saja.
Temuilah Jee karena dia bisa membantumu! Ia teman baikku di kampus. Semoga kita semua selalu diberikan perlindungan.
Salam Hangat,
Hanan
Kepalaku pusing. Badanku menggigil. Tanganku bergetar memegangi surat itu. Entah lututku kuat atau tidak menopang tubuhku. Aku masih tidak percaya bahwa surat ini berasal dari kakak. Muncul begitu banyak pertanyaan yang ingin aku ajukan. Aku menggigit bibirku sendiri dan airmata mulai mengalir membasahi pipiku. Perasaan ini sungguh menyesakkan dadaku.
Kakak ada dimana sekarang..
Aku berusaha mengendalikan diriku. Kuusap air mataku dan mulai membasuh wajahku. Ku cermati surat tersebut. Kakak menghilang karena suatu alasan. Aku dapat menangkap berbagai kata seperti narkoba dan Jee. Jee, nama itu belum pernah kudengar sebelumnya dan kakak juga tidak pernah menceritakan apapun tentangnya. Sekarang ini mungkin satu-satunya petunjuk yang dapat merujuk kepada keberadaan kakak. Aku harus menemukan orang bernama Jee.
"Aku tidak pernah menghisap apapun selain udara"
Comment on chapter BAB IIOke, mungkin kalimat itu bakal nempel dikepalaku sampai besok :))