Read More >>"> Perfect Candy From Valdan (Bab 5 Senior dan Kencan II) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Perfect Candy From Valdan
MENU
About Us  

—Widya—

Kampret, mentang-mentang yang lagi enakan kencan sama cogans, aku ditinggalin sendirian di mall! El, yang kamu lakuin ke aku itu jaad!

---------

El terdiam. Diam bukan berarti ia tidak mau bicara, melainkan karna dirinya takut jikalau ia membuka mulut, ia akan menumpahkan semua uneg-uneg beserta ceramah panjang kepada Valdan. Ia benar-benar tak habis pikir dengan pria itu, apasih yang ada di pikirannya? Kenapa suka sekali seenaknya, huh!

Bertindak ini itu tanpa bertanya dahulu, mana main seret-seret lagi. Ya Allah, dirinya bukan koper yang bisa diseret-seret seenaknya!

Jika pria itu bukan seniornya, ia benar-benar akan mengigit kepala Valdan!

El terus menggerutu di dalam hati. Kedua matanya terus melotot kepada pria di sampingnya, tanpa mempedulikan kalau orang di sampingnya sadar akan pelototannya. Yeah, walaupun dirinya memelototi Valdan, tapi kenyataannya ia tak mau melepaskan genggaman pria itu.

Ia terlanjur nyaman.

“Mata kamu lucu,” ucap Valdan yang membuat El menghentikan pelototannya.

“Mata aku sedang gak ngebuat lelucon, Kak!” sahut El dengan kejamnya.

“Dari tadi marah-marah terus, kamu sedang pms ya, Dek?” tanya Valdan seraya tersenyum geli.

“Gak sopan!” El cemberut.

“Kamu yang gak sopan, teriak seperti itu sama senior kamu. Mau berdiri di lapangan besok?” tanya Valdan dengan senyum penuh kepuasan melihat wajah keruh El.

“Kakak yakin gak menyalahgunakan hak Kakak sebagai ketua tartib OSIS?” cibir El yang merasa dirugikan karna ancaman Valdan.

“Liat saja, aku punya seribu satu alasan buat ngehukum kamu, kamu bisa coba kalau gak percaya,” ucap Valdan penuh tantangan.

“Dih! Dasar orang jahat,” balas El putus asa, pipinya menggelembung lucu, menggoda Valdan untuk mencubitnya. Namun, sayangnya tangan kanannya memegang belanjaan mereka, sedangkan tangan kirinya menggenggam tangan El, jadi Valdan tak bisa berbuat apapun kepada pipi bulat itu.

“Ya, aku emang jahat,” aku Valdan cuek.

El menoleh ke Valdan, lalu menyipitkan matanya.

“Apa?” tanya Valdan seraya menaikkan satu alisnya.

“Gak!” El segera mengalihkan pandangannya, namun sedetik kemudian ia kembali menatap Valdan.  “Ah, kacamata!”

“Hm,” balas Valdan singkat.

“Ya Allah, Kak! Kenapa kamu beli kacamata segala? Gak ada faedahnya tau, mata aku gak bermasalah, gak pelu pakek kacamata. Buang-buang duit, ih! Ini aku balikin, aku gak mau ngutang! Cangkirnya aja belum aku bayar, sekarang nambah lagi utangnya,” cerocos El mengeluarkan semua muatannya.

“Siapa juga yang mau nagih, kamu pakek aja. Buat kamu,” jawab Valdan enteng.

“Aduh, Kak, tapikan aku gak mau pakek kacamata, mata aku gak papa,” tolak El.

“Tapi aku mau liat kamu pakek kacamata,” balas Valdan seenaknya.

El mendengus tak percaya dengan ucapan Valdan. “Kakak gak bisa gitu dong.”

“Tentu aja bisa,” Lagi-lagi Valdan membalas ucapan El.

“Ini namanya pemborosan!”

“Anggap aja hadiah. Jangan protes terus, mau dihukum?” tanya Valdan final.

El terdiam, “……”

Melihat El yang terdiam karna kalah telak, Valdan kembali menarik El menuju parkiran. Hari sudah sore, jadi dia memutuskan untuk pulang. Valdan dengan enggan melepaskan genggaman tangannya karna ia harus menyetir motor besar miliknya.

Tanpa berkedip, El menatap Valdan terpesona saat pria itu memakai helm. Dia berdiri di samping Valdan tanpa mengatakan apapun.

“Ayo, kamu naik. Aku akan ngantar kamu pulang,” ucap Valdan.

Sebenarnya El merasa ragu untuk naik, Valdan itu bukan orang baik, ok. Jangan salahkan dirinya karna bilang seperti itu, Valdan sendiri yang bilang kalau Valdan memang jahat. Bisa saja nanti dirinya diturunkan di lampu merah.

Astaghfirullah hal’adim, kenapa kalau berhadapan dengan Valdan, bawaannya suudzon mulu? Batin El.

Setelah berpikir keras, akhirnya El pasrah dan naik di boncengan motor Valdan. Sengaja ia menjaga jarak dengan Vaaldan, bukan mukhrim.

“Sebelum ngantar kamu pulang, kita makan dulu. Aku belum makan,” ucap Valdan.

“Gak peduli,” cetus El.

“Apa?”

“Iya, Kak!” seru El.

Valdan terkekeh kecil di balik helm-nya. Sejujurnya ia mendengar ucapan adik kelasnya.

“Pegangan,” ucap Valdan tepat sebelum ia melajukan motornya keluar dari parkiran.

Valdan melajukan motornya membelah jaran raya dengan kecepatan sedang, walaupun jalanan tidak terlalu ramai, ia tetap harus berhati-hati dalam mengendarai kendaraan. Ada saatnya kapan ia harus mengebut, dan itu bukanlah sekarang. Karna di boncengannya ada El. Ia tak mau terjadi apa-apa kepada gadis itu.

Motor Valdan meliuk-liuk dengan lincah di jalan raya, membuat El harus menguatkan pegangannya pada pinggang Valdan.

Gadis lima belas tahun itu masih teramat sayang nyawa.

“Kak, nanti makan apa?” tanya El dengan suara yang sengaja ia tinggikan.

“Apa?” balas Valdan tak kalah keras.

“Kakak mau makan apa?” tanya El kembali, suaranya bahkan lebih keras.

“Bisa lebih keras?” ucap Valdan, tampaknya suara kendaraan dan kecepatan angin membuat suara El terendam.

“Kakak, kita akan makan apa?!” teriak El sekeras-kerasnya.

“Hah?”

DASAR BUDEG!

Astaghfirullah hal’adim, Ya Allah, maafkan El. Gadis itu putus asa, namun ia hanya bisa melampiaskan keputusasaannya di dalam hati.

“Makan mie ayam,” jawab Valdan tiba-tiba, membuat El terperangah.

Ini orang memang minta ditabok pakai sepatu! Kenapa suka sekali mengerjai dirinya? Ngajak ribut terus sedari di sekolah, gak lelah apa memangnya? Memang pada dasarnya orang ini kurang kerjaan! El membatin.

Tak lama kemudian, Valdan menepikan motornya di salah satu kedai kecil yang menjual mie ayam dan bakso. El yang masih dipenuhi oleh rasa jengkel, turun dari motor dengan wajah bersungut-sungut.

Setelah El turun, Valdan melepas helm-nya, lalu turun dari motornya, dan menatap El yang tertekuk dengan penuh minat. Baginya, gadis itu benar-benar lucu, sangat menghibur, selalu meluapkan apa yang gadis itu rasakan.

“Kamu taruh saja belanjaan itu di motor, kita makan, ok?” ucap Valdan.

“Hm,” balas El cuek. Dirinya punya hak asasi untuk membalas Valdan dengan bersikap cuek.

“Kenapa wajah kamu masih cemberut gitu?” tanya Valdan sengaja.

Dih, gak sadar diri! Kan gara-gara lo! Teriak El dalam hati.

“Kakak sengaja ya, kan? Pura-pura gak denger, nyeselin amat jadi orang. Gak kasian apa sama aku yang harus teriak-teriak gitu, suka banget ngajak ribut. Kakak punya hobi buat ngajak ribut aku ya? Apa kebahagiaan Kakak dibangun di atas kemalangan orang lain?” ucap El dengan wajahnya yang masih bersungut-sungut.

“Ya, liat wajah kesel kamu ngebuat aku seneng, dan itu jadi hobi aku sekarang,” jawab Valdan seraya tersenyum puas.

“Bener-bener jahat!” keluh El, namun Valdan hanya tertawa.

El menatap Valdan yang tertawa dengan pandangan terpesona. Ia belum pernah melihat Valdan tertawa begitu bebas, ia tak tahu kalau Valdan bisa semempesona dan setampan ini. Tapi, begitu mengingat alasan Valdan yang tertawa karna mengerjainya, membuat El kembali menggerutu.

“Ayo masuk,” ajak Valdan setelah menyelesaikan tawanya.

Valdan menarik tangan El, membawanya masuk dan mencarikannya tempat yang bagus untuk duduk. Setelah El duduk, Valdan berucap.

“Kamu mau makan apa? Nanti aku pesankan,” ucap Valdan.

“Mie ayam, Kak, sama minumnya es teh,” jawab El dengan mantap. Sebenarnya dirinya maniak mie ayam.

“Itu saja?” El mengangguk.

“Oke, kamu tunggu disini,” Valdan pergi ke penjualnya untuk memesankan makanan.

El menatap Valdan yang sedang menuju ke arahnya, entah perasaannya saja atau memang pria itu memperlakukannya dengan manis? Pipi El bersemu memikirkannya.

Jangan baper, jangan baper. Ucap El dalam hati. Kemudian ia menghela nafas panjang.

Valdan duduk di hadapan El, lalu mengeluarkan ponselnya. Menggeser layarnya, memencet sesuatu.

“Dek,” panggil Valdan.

“Ya, Kak,” ucap El seraya menatap Valdan.

“Sudah, nice,” gumam Valdan, lalu memasukkan kembali ponselnya ke saku celana seragamnya. Ia memang masih memakai seragam sekolah, karna setelah dari sekolahan, ia dan beberapa anggota OSIS lain langsung menuju pusat perbelanjaan.

El menatap linglung Valdan yang tak jelas.

“Apaa sih, Kak? Apanya yang sudah? Apanya yang nice? Jangan setengah-setengahlah, Kak, ngomongnya, jadi kepo kan aku,” ucap El seraya menatap Valdan penasaran.

“Dasar kepo,” balas Valdan.

“Kakak yang mulai!” protes El.

“Besok aja aku kasih tau, kalau aku gak lupa,” jawab Valdan seenaknya.

“Tuh kan, ngeselinnya mulai lagi,” ucap El sengaja mencibir Valdan.

Valdan hanya mengangkat bahunya tak acuh. Tepat setelah itu, pelayan kedai datang membawa nampan yang berisi dua mangkuk mie ayam, satu es teh, dan satu es jeruk. El menyambutnya dengan gembira.

Terima kasih mie ayam, karna telah membuat mood-nya yang semula jatuh kini bangkit lagi! seru El dalam hati.

Pelayan itu pergi. El segera mengambil tiga sendok sambal dan kecap, lalu mencampurnya. Menyicipinya sedikit, dan ia mengangguk puas akan rasanya. Pedas sambal dan manis kecapnya pas.

“Jangan banyak-banyak sambelnya, Dek,” ucap Valdan sembari menatap El.

“Aku gak akan kepedesan, kok, Kak, tenang aja!” balas El.

“Bukan gitu, kamu gak kasian sama yang punya? Sambelnya kamu habiskan gitu? Cabe mahal,” tanya Valdan sengaja menggoda El.

Tuh kan, mulai lagi!

“Udah terlanjur aku masukin ke mangkok sambelnya, Kak! Gak bisa dibalikin lagi! Lagian kalau cabe mahal, pakek aja cabe-cabean, lebih murah,” balas El tak mau kalah. Debat tak berguna ini harus dimenangkan oleh dirinya.

“Emang kamu pernah beli cabe-cabean?”

Astaghfirullah, aduh Kak, kakak gak capek apa ngajak ribut aku? Kasian mie ayamnya, Kakak anggurin gitu, daripada dianggurin, mending diapelin aja! Makanya aku lebih suka buah apel daripada anggur,” ucap El yang makin lama makin ngawur.

“Aku gak akan anggurin kamu, aku kasih kamu apel tiap hari biar kamu gak ngrasa dianggurin,” ucap Valdan dengan diiringi kekehan ringan.

Pipi El merona, dasar Kang Kerdus! “Kakak makan aja mie ayamnya sana! Jangan ngobrol terus!”

“Hm,” Melihat El yang menyerah dalam berdebat, Valdan tersenyum puas. Segera, ia mengambil beberapa sendok sambel dan kecap.

El dan Valdan makan dengan tenang, namun itu tak bertahan lama karna El mulai merasa kepedasan. Bahkan es tehnya tinggal setengah gelas, padahal mie ayamnya baru berkurang beberapa sendok saja.

Masyaallah, pedesnya…” ucap El seraya menatap nanar mie ayamnya. Kalau tidak dimakan, sayang, mubazir!

“Aku udah bilang kan? Di sini sambelnya beda, Dek, lebih pedes. Kamu pakek sok-sokan,” ucap Valdan yang sama sekali tidak membantu.

“Kakak ngomongnya telat, tau! Sambelnya udah aku campur sama mie, masa iya aku balikin sambel beserta mienya ke mangkok sambel? Nanti aku dimarahin gimana?” ucap El membela diri.

Valdan menghela nafas. “Kalo kamu gak kuat, kamu makan aja punya aku,” ucapnya seraya menukar mangkoknya dengan milik El, tanpa menunggu jawaban El.

“Gak usah, Kak!” seru El, ia bingung.

“Coba aja punya aku,” ucap Valdan singkat, lalu menyuapkan mie milik El ke mulutnya.

El ragu, ia merasa tidak enak. Bagaimanapun juga, ia masih memiliki hati. El meringis menatap Valdan yang dengan lahap memakan mienya. Apa gak kepedesan? Batin El.

“Makan aja, Dek,” ucap Valdan lagi.

Akhirnya El mengangkat garpu, lalu menggulung mie dan memakannya perlahan. Namun, saat mie di mulutnya sudah ia telan, El terdiam. Dengan wajah polos, ia menatap Valdan yang juga menatapnya.

Astaghfirullah hal’adim, Ya Allah. Berapa sendok yang kamu masukin, Kak? Ya Allah, ini lebih parah daripada punya aku!”

“Mungkin lima,” jawab Valdan dengan polosnya, membuat El melotot tak percaya.

“Argh! Aku gak mau bertukar mangkok! Aku ambil kembali mie ayam punyaku!” seru El tak berdaya. Dengan segera ia megambil kembali mangkoknya, menukarkan dengan milik Valdan.

“Bener-bener nyeselin!” ucap El seraya menatap sengit Valdan yang tertawa geli. “Jahatnya.”

“Maaf-maaf, Dek. Jangan marah, oke?” ucap Valdan dengan nada yang berubah lembut, namun tak digubris oleh El. “Tunggu di sini bentar, Dek,” ucapnya lalu bangkit dari duduknya.

Valdan pergi keluar dari kedai mie ayam itu. El mendengus melihatnya. Tunggu dulu, jangan bilang kalau pria ngeselin itu ingin meninggalkan dirinya disini?

Mata El terbelalak lebar. Kalau benar-benar seperti itu, ia bersumpah, besok ia akan menabok Valdan dengan sepatunya!

“Ini, makan ini saja,” ucap Valdan yang tiba-tiba sudah ada di depan El dengan se-cup kecil es krim.

Valdan duduk di kursinya. Melihat El yang masih terdiam, dia mengambil kembali es krim itu lalu membukanya. Valdan menyendokkan es krim itu dan mengarahkannya ke mulut El.

Say aaaa…” ucap Valdan, dengan patuh El membuka mulutnya dan melahap es krim itu dengan bantuan suapan dari Valdan.

Pipi El merona menyadari apa yang sudah Valdan lakukan. Menyuapi dirinya es krim? Bukan kah itu terdengar seperti pasangan kekasih?

Say aaa…” ucap Valdan. Ia kembali mengarahkan sendok es krim itu ke mulut El.

El memandang es krim itu sejenak. Sesungguhnya ia tampak ragu untuk kembali menerima suapan es krim dari Valdan. Valdan memberikan isyarat menggunakan matanya agar El kembali melahap es krim yang ia sodorkan. Dan El mengerti isyarat itu. Akhirnya, dengan ragu-ragu, El membuka mulutnya dan menerima suapan es krim romantic dari Valdan.

Es krim rasa strawberi itu memeleh, melumer di indera pengecap El. Rasa manisnya strawberi dan dinginnya mampu meredakan rasa pedas dan panas yang diakibatkan sambal yang telah dimakannya.

Gadis itu tampak menikmati es krimnya. Valdan tersenyum melihat El. Ketika Valdan hendak menyuapkan es krim lagi, buru-buru El menginstrupsinya.

“Gak perlu, Kak, aku bisa memakannya sendiri!” seru El. Semenjengkelkannya Valdan, bagaimanapun pria itu tetap seniornya, apalagi Valdan beda dua tahun darinya.

“Rasanya akan berbeda,” balas Valdan, kemudian ia kembali menyendokkan es krim itu kembali, mengarahkannya kepada El.

“Hah? Apanya, Kak? Aku gak paham,” ucap El.

El kembali membuka mulutnya untuk menerima suapan Valdan. Namun, matanya tetap menatap Valdan bingung. Bingung akan ucapan Valdan.

“Rasa suapan aku sama suapan kamu sendiri akan beda, rasa es krim ini akan berubah,” jelas Vaaldan dengan rayuannya yang entah kenapa tiba-tiba ia mendadaak romantic seperti ini.

Gadis dengan rambut berkucir kuda itu menggelengkan kepala mendengar ucapan Valdan.

“Dih, emang bisa gitu, Kak? Dari strawberi jadi coklat gitu? Ayolah Kak, rayuan kamu gak mempan!” balas El, sedetik kemudian ia tertawa geli.

“Siapa emang yang ngerayu kamu? Kamu ngarepin aku ngerayu kamu?” tanya Valdan dengan raut wajah penuh kemenangan. Menggoda adik kelasnya itu sungguh luar biasa indah.

Astaghfirullah, bicara sama kamu bikin aku istighfar terus,” ucap El setelah tawanya berhenti.

El kembali membuka mulutnya saat Valdan menyuapinya.

“Bagus kalo gitu,” ucap Valdan diiringi dengan kekehan ringan.

“Kakak begitu bahagia ya ngerjain aku mulu?” sindir El dengan mata menyipit. “Udah ah, Kak. Aku akan makan sendir es krimnya. Kamu lanjutin makan mie Kakak yang masih banyak itu! Dihabisin, ingat, gak boleh mubazir!” lanjutnya tanpa sadar ia berceramah.

“Hm,” jawab Valdan dengan hanya sebuah gumaman.

El mencibir, ia berbicara panjang lebar dan Valdan lagi-lagi hanya bergumam? Ngeselin emang. El mengambil es krim di tangan Valdan, kemudian mulai menikmati es krim lembut it dengan santai.

For your information, mie ayam milik El sudah habis dimakan Valdan. Pria itu tahu kalau El tidak akan menghabiskan mienya karna tidak sanggup makan pedas, oleh karenanya, ia membantu.

“Kakak gak mau? Es krimnya?” tawar El, menawarkan es krim milik Valdan kepada Valdan sendiri—yang notabenenya adalah seorang yang membeli es krim itu.

“Aaa…” Valdan hanya membuka mulutnya, memberi isyarat agar El menyuapkan es krim itu kepadanya.

“Jadi tadi Kakak nyuapin aku gak ikhlas, ya? Masa minta disuapin balik,” ucap El seraya menatap Valdan lucu. Namun, gadis itu tetap menuruti Valdan untuk menyuapkan es krim ke mulut Valdan.

“Ini,” ucap El seraya menyuapkan sesendok es krim, dan dengan senang hati Valdan menyambutnya.

“Enak, kan?” tanya El membanggakan es krimnya. “Mau lagi gak, Kak? Mumpung aku baik nih.”

Valdan menggeleng menatap El.

“Udah, es krimnya terlalu manis, cukup kamu aja yang manis—”

Uhuk. El tersedak—oleh es krim yang baru saja ia suapkan ke mulutnya—mendengar ucapan Valdan. Gadis itu menatap Valdan dengan pelototan, dan korban pelototan itu hanya mengangkat kedua bahunya tak acuh.

“Dasar Kang Kerdus, ternyata Kakak seorang playboy!” Namun tak bisa El pungkiri kalau pipinya memerah mendengar rayuan Valdan.

“Aku gak playboy, Dek. Gak boleh fitnah,” ucap Valdan seraya menatap El serius. Dirinya memang bukan playboy. “Udah ah, kamu habisin es krim kamu dulu, mie ayam aku udah habis.”

El mengangguk pasrah, lalu mempercepat makan es krimnya.

“Gak perlu cepet-cepet makannya, nanti tersedak lagi,” ucap Valdan dengan mata yang tak berpaling dari El.

“Dih, kan kamu yang dari tadi buat aku tersedak!” keluh El.

Selesai dengan makanan mereka, Valdan membayar makanan mereka. El semakin tidak enak kepada pria itu, hutangnya makin menumpuk, dan itu tidak bagus. Mungkin lain kali ia harus gentian menraktir pria itu makan.

Pukul empat lewat, mereka sampai di Jalan Pamekaran Nomor 35, Perumahan Bukit Asri, alamat rumah kontrakan yang El tinggali. El turun dari motor besar Valdan, alu berdiri di samping Valdan yang masih duduk di atas motornya dengan mempesonanya.

“Kamu ambil aja kedua cangkir itu,” ucap Valdan, sebelum El sempat protes, ia kembali berucap, “Gak perlu bayar, tenang aja. Ya udah, aku pulang dulu.”

El menghela nafas pasrah. “Iya deh, janji ya kamu gak akan nagih uangnya? Eh, gak papa sih kalo Kakak mau nagih uangnya, asal jangan dikasih bunga.”

Valdan bergumam lalu mengulurkan tangannya untuk mengusap rambut hitam El.

“Aku pergi dulu,” ucap Valdan.

“Ya, Kak. Hati-hati dan terima kasih!” seru El.

Valdan mengangguk sebagai jawaban. Kemudian pria itu memakai helm-nya kembali daan segera melajukan motornya menjauhi kediaman El.

El memandang ke arah Valdan menghilang, sampai ia tak melihat pria itu lagi, El membalikkan badannya, dan masuk ke dalam rumahnya. Saat ia membuka pintunya, pintu rumah kontrakan itu tak terkenci. El terkejut.

Terlintas di pikirannya kalau rumah kontrakannya bersama Widya dimasuki oleh tamu yang tak pernah ia harapkan kedatangannya. Alias maling, pencuri, perampok dan lain sebagainya.

Eh?

Apa tadi?

Rumah kontrakannya dengan Widya?

Dengan… Widya?

Widya?

Wi—

Astaghfirullah hal’adzim, Ya Allah, gue ngelupain Widya!” El jadi panik sendiri akan keadaan sahabatnya.

Sejenak, ia melupakan soal maling, perampok dan lainnya. El dengan tergesa memasuki rumahnya, menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sosok Widya Armaeleka alias sahabatnya—yang ia harapkan kalau Widya sudah pulang terlebih dahulu.

El memutuskan untuk berteriak memanggil nama Widya.

“Widya! Wid! Widya! Lo ada di rumah gak? Widya Armaeleka!” teriak El.

“Ya Allah, ngapain sih lo teriak-teriak gitu? Etdah, telinga gue masih berfungsi kali,” sahut Widya menghampiri El yang berdiri di tengah ruang tamu kecil, seraya membawa gunting di tangannya.

“Ya Allah, Wid, gue kira tadi ada maling masuk rumah, habisnya pintunya gak kekunci sih,” cerocos El. Kebiasaan memang susah dihilangkan.

“Kampret, masa gue maling di rumah gue sendiri, mau maling apaan gue? Tv? Ya ampun, gue gak kuat ngangkat tv sendirian,” ucap Widya lalu menggeleng-geleng membayangkan dirinya mengangkat televisi seorang diri.

“Betewe, lo dari mana, El? Kampret, gue ditinggalin di mall sendirian. Untung yang bawa kunci motor gue, jadi gue gak bingung naik apaan pulangnya,” lanjut Widya seraya menatap El.

El tak lekas menjawab Widya, ia justru berjalan kea rah sofa kecil dan duduk di sana. Merilekskan tubuhnya.

“Tadi gue ketemu Kak Valdan waktu kita pencar, dan dia seenaknya nyeret gue ke sana kemari. Seluruh lantai mall gue kelilingin sama dia,” El meneruskan ucapan panjangnya tanpa memperhatikan wajah menggoda Widya.

“Nih, gue dibeliin cangkir sama kacamata,” El menghela nafas sejenak. “Ya udah, dia nganterin gue setelah nraktir gue makan. Betewe, menurut lo, kira-kira dia akan nagih uang beserta bunganya ke gue gak, ya?”

“Yah, lo malah mikir ke sono! Kak Valdan gak bakal nagih lah. Ah, berarti dari tadi lo kencan sama Kak Valdan? Demi apa, tadi aja lo sok-sokan mules waktu gue nyebut nama dia, eh, sekarang lo malah langsung kencan. Mana gak ngasih pajak ke gue lagi, anggap aja sebagai rasa bersalah lo karna lo habis ninggalin gue sendirian di mall dan elo-nya malah enak-enakan kencan!”

El menatap Widya tanpa ekspresi. Mulut Widya tidak berbusa berbicara sebegitu panjangnya? Gadis itu kemudian menggeleng-geleng. El bangkit dari duduknya, dan menuju kamar mandi mengabaikan ocehan panjang Widya.

“Gue gak kencan, etdah. Jangan jauh-jauh mikirnya, ntar lo nyasar lagi. Udah ah, gue mandi dulu, badan gue lengket. Lo udah mandi?”

“Ya udah lah, emang lo gak nyium bau wangi gue apa? Masa iya, incess Widya belum mandi,” ucap Widya lalu tertawa pelan.

“Dih, incess,” gerutu El, lalu berlalu dari pandangan Widya.

--------

REYVI

--------

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sekilas Masa Untuk Rasa
3185      1050     5     
Romance
Mysha mengawali masa SMAnya dengan memutuskan untuk berteman dengan Damar, senior kelas dua, dan menghabiskan sepanjang hari di tribun sekolah sambil bersenda gurau dengan siapapun yang sedang menongkrong di sekolah. Meskipun begitu, Ia dan Damar menjadi berguna bagi OSIS karena beberapa kali melaporkan kegiatan sekolah yang menyimpang dan membantu kegiatan teknis OSIS. Setelah Damar lulus, My...
Tanda Tanya
362      250     3     
Humor
Keanehan pada diri Kak Azka menimbulkan tanda tanya pada benak Dira. Namun tanda tanya pada wajah Dira lah yang menimbulkan keanehan pada sikap Kak Azka. Sebuah kisah tentang kebingungan antara kakak beradik berwajah mirip.
Kamu!
1853      700     2     
Romance
Anna jatuh cinta pada pandangan pertama pada Sony. Tapi perasaan cintanya berubah menjadi benci, karena Sony tak seperti yang ia bayangkan. Sony sering mengganggu dan mengejeknya sampai rasanya ia ingin mencekik Sony sampai kehabisan nafas. Benarkah cintanya menjadi benci? Atau malah menjadikannya benar-benar cinta??
Ręver
5495      1642     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
THE WAY FOR MY LOVE
406      311     2     
Romance
Mencintaimu di Ujung Penantianku
4181      1140     1     
Romance
Perubahan berjalan perlahan tapi pasti... Seperti orang-orang yang satu persatu pergi meninggalkan jejak-jejak langkah mereka pada orang-orang yang ditinggal.. Jarum jam berputar detik demi detik...menit demi menit...jam demi jam... Tiada henti... Seperti silih bergantinya orang datang dan pergi... Tak ada yang menetap dalam keabadian... Dan aku...masih disini...
Simbiosis Mutualisme seri 1
9683      2168     2     
Humor
Setelah lulus kuliah Deni masih menganggur. Deni lebih sering membantu sang Ibu di rumah, walaupun Deni itu cowok tulen. Sang Ibu sangat sayang sama Deni, bahkan lebih sayang dari Vita, adik perempuan Deni. Karena bagi Bu Sri, Deni memang berbeda, sejak lahir Deni sudah menderita kelainan Jantung. Saat masih bayi, Deni mengalami jantung bocor. Setelah dua wawancara gagal dan mendengar keingin...
SATU FRASA
12897      2673     8     
Romance
Ayesha Anugrah bosan dengan kehidupannya yang selalu bergelimang kemewahan. Segala kemudahan baik akademis hingga ia lulus kuliah sampai kerja tak membuatnya bangga diri. Terlebih selentingan kanan kiri yang mengecapnya nepotisme akibat perlakuan khusus di tempat kerja karena ia adalah anak dari Bos Besar Pemilik Yayasan Universitas Rajendra. Ayesha muak, memilih mangkir, keluar zona nyaman dan m...
in Silence
392      268     1     
Romance
Mika memang bukanlah murid SMA biasa pada umumnya. Dulu dia termasuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolahnya dan mempunyai geng yang cukup dipandang. Tapi, sekarang keadaan berputar balik, dia menjadi acuh tak acuh. Dirinya pun dijauhi oleh teman seangkatannya karena dia dicap sebagai 'anak aneh'. Satu per satu teman dekatnya menarik diri menjauh. Hingga suatu hari, ada harapan dimana dia bi...
complicated revenge
17277      2761     1     
Fan Fiction
"jangan percayai siapapun! kebencianku tumbuh karena rasa kepercayaanku sendiri.."