—Reyvaldan—
Hanya orang yang ceroboh dan gak teliti yang gak tau kalau itu cangkir couple. Sudah jelas di sana dipasang tulisan Cangkir Couple, masih saja bertanya.
-------
Elvira tidak lah tinggal bersama orang tuanya, dia tinggal di salah satu kos di dekat sekolah bersama Widya. Orang tua El tinggal di kota yang berbeda dengan sekolah El. Butuh dua jam perjalanan menuju ke sekolah jika menggunakan kendaraan roda dua.
Oleh karena itu, orang tua El memutuskan agar putri pertama mereka itu kos saja. Sebenarnya bukanlah sebuah kos, tapi kontrakan disalah satu perumahan.
Selama mengekos, tentunya El harus berhemat.
“El, ayo pergi ke mall!” ajak Widya setelah dia mengganti seragamnya dengan pakaian santai.
“Astaga, ngapain, Wid? Etdah, gue harus hemat,” ucap El yang sedang bermalas-malasan di atas kasur. Berguling ke sana kemari.
“Cari hadiah lah, lo gak lupa soal surat cinta tadi, kan?” ucap Widya seraya menyisir rambut sebahunya.
“Astaghfirullah, harusnya lo biarin gue lupa aja, Wid. Gue males banget buat suat cinta, gue gak bisa. Lo kan tau sendiri, gue gak paham soal begituan,” El mengeluh, mengeluarkan uneg-unegnya kepada Widya, lalu ia menghela nafas panjang.
“Mau dihukum lo?”
“Mau, kalo yang menghukum gue Mas Andreas, Mas Gantengku,” ucap El diiringi dengan kekehan geli.
Widya menatap malas sahabatnya, “Lo gak tau, ya? Ketua seksi tartib itu Kak Valdan.”
“Kampret! Lo nyebut nama itu perut gue langsung mules!”
“Dih, sok-sokan mules. Tadi aja lo nembak dia, bilang kalo Kak Valdan itu ramah lah, ganteng, perhatian, bla bla bla bla…dan bla. Kagak inget lo?” Selesai mengucapkan kalimatnya, Widya langsung tertawa puas.
“Amnesia sementara dadakan gue, puas? Udah ah, gue ikut. Gue gak mau dihukum. Oh ya, gue nanti nyontek isi surat lo, ya?”
“Dih, enak aja! Isi surat gue itu rahasia Sist, cari aja di goolge sana, banyak.”
“Tsk, pelit lo,” ucap El dengan nada cibiran, kemudian dia mengambil pakaian dan membawanya ke kamar mandi. “Gue mau mandi dulu, jangan ditinggal!”
“Iya-iya bawel lo, jangan lama-lama tapi,” balas Widya sembari memoles wajahnya dengan bedak.
—REYVI—
Disalah satu pusat perbelanjaan di kota C, El dan Widya mulai mencari barang apa yang mereka inginkan untuk hadiah. Mereka berkeliling dari lantai paling dasar, melirik tiap sudut untuk mengamati barang-barang yang dipajang, sekalian cuci mata.
Banyak cogans alias cowok ganteng di sana. Anggap saja berkah. Ingat, pandangan pertama adalah nikmat, sedangkan pandangan kedua dan selanjutnya adalah sebuah dosa. Jadi, jika ada cogans lewat, jangan berkedip, karna itu sebuah kenikmatan.
Astagfirullah hal’adim.
“El, ke sana yuk!” Sebelum El menjawab, Widya terlebih dahulu menarik lengannya.
“Gak perlu Tarik-tarik kan bisa, Wid. Etdah… mau kemana sih lo? Cari apaan? Gue bukan barang yang bisa lo seret-seret seenaknya, tau!”
“Cerewet ah, ikut gue aja. Gue tadi liat ada yang bagus di sana! Ayo, keburu hilang!”
El menatap Widya bingung. Hilang bagaimana? Barang-barangnya bisa lari gitu, makanya hilang?
“Barang apaan sih yang lo cari, Wid?” tanya El penasaran.
Widya berhenti menarik tangan El, kepalanya menoleh ke kanan-kiri, lalu menatap El.
“Barang apaan? Siapa juga yang bilang barang? Tadi gue liat Kak R, Kak Rizki, eh sekarang udah ngilang,” ucap Widya seraya menatap El tanpa rasa bersalah. “Aduhh, telat gue. Hilangkan sekarang, masa depan gue.”
“Kampret lo, jaga mata oi!”
“Kapan lagi gue bisa liat Kak Rizki? Oh ya, tadi gue juga liat Kak Andreas juga,” ucap Widya.
“Mana? Mana, Wid?” Kepala El menoleh ke kanan-kiri, meneliti tiap sudut yang bisa dicapai oleh indera penglihatannya. “Kok gak ada?”
“Yee, jaga tuh mata!” sahut Widya seraya menoyor kening El ke belakang.
El mengaduh, lalu mengusap keningnya pelan. Keningnya yang polos, suci, dan tidak bersalah telah menjadi korban kekerasan telunjuk Widya Armaeleka.
“Boong lo, ya? Nyebelin banget lo sama sahabat sendiri, Widya, apa yang kamu lakukan ini… jahat.”
“Gak usah ngedrama. Gue seriusan, tadi gue liat Kak Andreas juga. Bukan hanya dia sih, ada beberapa senior cewek, anggota OSIS kayaknya,” ucap Widya. “Masih di sekitar sini, deh.”
“Yah, banyak dong anggota OSIS-nya. Gak jadi deh cuci mata, liatin Mas Ganteng, gue kan pemalu,” keluh El dengan tampang cemberut.
“Dih, pemalu? Yang ada lo malu-maluin!”
“Sahabat macem apa lo?”
“Ya macem gini,” ucap cuek Widya.
El berdecak lalu mendengus keras. Matanya kembali meneliti sekitarnya, tampaknya dia masih berharap melihat Andreas. Sedangkan Widya memilih untuk meneliti celengan lucu yang terjejer rapi di depannya.
“Lucunya, El liat ini!” ucap Widya seraya menunjukkan salah satu celengan berbentuk beruang yang lucu.
Ketika El hendak menjawab, sebuah suara tak asing tertangkap oleh indera pendengarannya. El memutuskan mengurungkan ucapannya dan menoleh ke arah sumber suara. Kedua manik mata hitamnya melebar penuh binar.
Itu Mas Ganteng-nya, jodoh memang tidak kemana!
“Sialan lo, Val! Gue sama anak-anak OSIS ke sana kemari nyari hadiah, dan lo malah enak-enakan duduk mainan HP!” Andreas berteriak kesal melihat temannya, Valdan duduk santai dengan ponsel di tangannya.
“Apaan, Dre? Lo teriak-teriak gitu gak malu sama sekitar lo?” tanya santai Valdan dengan satu alis terangkat.
“Sialan lo, Val! Berdiri lo! Bantu yang lainnya nyari barang buat hadiah sana!”
Valdan mendengus lalu memasukkan ponselnya ke saku celana, “Berisik lo!”
“Cepet berdiri, Reyvaldan Aliano Wijaya! Heran gue, gue Ketua OSIS tapi gak ada wibawa-wibawanya,” keluh Andreas.
“Nah, itu lo tau,” balas Valdan singkat. Namun, ia tetap menuruti ucapan Andreas.
Valdan bangkit dari posisi duduknya, berdiri di depan Andreas. Tanpa sengaja, manik gelapnya menangkap sosok tidak asing yang berdiri tak jauh di belakang Andreas. Kedua pasang manik mata itu bertabrakan.
Pria berusia hampir delapan belas tahun itu terdiam, namun matanya masih tetap menatap gadis itu. Valdan tak mengalihkan pandangannya, bahkan ia tak menghiraukan panggilan Andreas.
“Val… apa sih yang lo liat?” tanya Andreas dengan ekspresi heran yang kentara.
Sadar akan Valdan yang tidak akan menjawabnya, Andreas memutuskan mengikuti arah pandang Valdan. Andreas berbalik dan menemukan seorang gadis yang berdiri tak jauh dari tempatnya.
“Lo ngeliat cewek itu? Siapa dia?” tanya Andreas kepo.
Valdan melirik Andreas sekilas, lalu kembali menatap El yang tampak masih belum sadar dari bengongnya.
“Dia bukan orang yang seenaknya bisa lo liat, Dre. Pergi sana!” usir Valdan dengan nada tak acuh.
“Sialan lo!” umpat Andreas, lalu berdecih.
Setelah beberapa saat, akhirnya El tersadar. Dengan segera ia berkedip, lalu mengalihkan tatapannya dari Valdan. Pipinya memanas, merona merah karna ia ketahuan menatap Valdan. Astaghfirullah, bukannya tadi dirinya ingin melihat Andreas? Bukan Valdan!
El jadi salah tingkah sendiri. Ia melirik Valdan dan mendapati pria itu masih tetap menatapnya. Ia tak kuat lagi, ia benar-benar malu! Apalagi di sana ada Mas Ganteng-nya!
“El, lo ngapain bengong?”
El tak menjawab pertanyaan Widya. Gadis itu malah menarik tangan Widya dari sana. Kabur adalah pilihan terbaik.
“Hei, lo mau narik gue kemana, El?” Widya bertanya memprotes.
“Udah, ah. Ayo cepetan…” El tak mempedulikan protesan Widya, ia semakin mempercepat jalannya, menjauh dari tempat Valdan dan Andreas.
“Ya Allah, celengan gue,” keluh Widya. Gadis itu menatap celengan lucu incarannya yang tampak mengecil seiring dengan menjauhnya dirinya.
“Dih, celengan lo? Lo beli aja belum, udah ngaku-ngaku!” timpal El.
Setelah merasa cukup jauh, El berhenti menarik tangan Widya. Gadis itu menatap sekitar, lalu berseru senang saat dirinya tak lagi melihat batang hidung Valdan.
“Ngapain sih lo, kabur-kaburan segala. Lo yang kabur, gue yang repot,” Widya menggerutu, merengut menatap El. “Eh, gue ke sana dulu. Gue mau cari hadiah di sana,” lanjutnya seraya menunjuk tempat yang ingin dia tuju.
El hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Jangan jauh-jauh, nanti kesasar baru tau rasa lo!” ucap El lalu tertawa keccil.
“Kaga kebalik, Sist?” balas Widya dengan senyum puas di bibirnya. “Pai-pai,” lanjutnya seraya melambaikan tangannya.
Sosok Widya terlihat semakin menjauh, dan akhirnya menghilang ditelan tikungan. El mengangkat kedua bahunya tak acuh, lalu berbalik. Gadis itu mulai menjelajahi tiap tempat untuk menemukan barang yang ia inginkan.
Cukup jauh El melangkah, namun ia masih bingung barang apa yang akan dia beli—yang akan digunakannya sebagai hadiah. Pernah terpikir kalau ia membeli sebuah boneka, tapi yang akan menerima hadiahnya kan laki-laki, jadi, itu sedikit aneh.
Mungkin jam tangan, tapi dirinya tak sekaya itu. Apa sebaiknya dirinya membeli coklat saja? Ah, daripada memberikan coklat, ia lebih suka memakan coklat itu sendiri.
El berpikir keras, mencari hadiah ternyata tak semudah yang ia bayangkan.
Langkah gadis itu tiba-tiba berhenti pada deretan cangkir lucu dengan berbagai bentuk. Berbagai macam warna, tampak begitu menggoda untuk ia sentuh. El mengambil cangkir berwarna hijau muda dengan motif gambar hati yang hanya setengah, lalu mengamatinya.
Cukup ringan dan tidak mudah pecah, karna bukan terbuat dari kaca.
“Cantik. Ah, gue pilih ini saja,” gumam El dengan senyuman yang mengembang lebar.
“Hanya satu?”
Mendengar suara yang sudah akrab dengan gendang telinganya itu, El segera menoleh. Dan benar saja tebakannya, pemilik suara itu tak lain tak bukan adalah kakak kelas sekaligus anggota OSIS yang ia hindari sebelumnya.
“Hanya beli satu, Dek?” tanya Valdan untuk kedua kalinya.
Wajah El berubah keruh, “Dasar kepo, mau tau saja urusan orang lain,” gumamnya pelan, berharap pria di depannya tak mendengar gumamannya.
Namun, tampaknya Valdan memiliki indera pendengaran yang cukup tajam, sehingga ia masih bisa mendengar gumaman pelan El.
Dengan satu alis terangkat, Valdan bertanya, “Tidak sopan, begitu cara kamu berperilaku kepada senior kamu?”
Aku-kamu? El menatap Valdan sejenak. Bukannya tadi di sekolah pria ini bilang lo-gue? Kenapa sekarang berubah menjadi aku-kamu? Dasar plin-plan.
“Maaf, Kak! Bukan begitu, lagian ini juga bukan urusan Kakak. Mau aku beli satu atau dua, itukan hak aku, Kak!” sahut El dengan wajah terangkat, seakan ingin menantang Valdan.
Valdan mengabaikan El, dia melirik deretan cangkir lalu mengambil salah satu cangkir yang mirip dengan yang El pegang.
“Lah, malah dikacangin, kampret,” El ngedumel kesal.
“Angkat cangkir kamu, Dek.”
“Kenapa aku harus melakukannya?” protes El tak terima.
“Lakuin saja, jangan kebanyakan protes.”
“Dih, gak sadar diri! Gak inget soal tadi pagi waktu gue memperkenalkan diri, apa? Ngeselin emang!” gumam El lagi, namun ia tetap mengangkat cangkirnya. Dan ia tak menyangka kalau Valdan akan menggabungkan kedua cangkir itu.
“Wow,” El menatap kedua cangkir itu kagum. “Cangkir couple ternyata, kok lo tau sih, Kak?” tanya El seraya menatap Valdan, tanpa sadar ia kembali menggunakan lo-gue.
“Gak sopan, panggil aku-kamu, jangan lo-gue, ulangin lagi!” Nada diktator keluar dari mulut Valdan.
“Astaghfirullah,” El mengucapkan istighfar untuk menguatkan hatinya, sejak bertemu dengan Valdan, dirinya jadi lebih sering mengucapkan istighfar!
“Kok kamu tau sih, Kak, soal cangkir ini?” ulang El, ia mengalah. Yang waras mengalah.
“Ya tau lah, hanya orang ceroboh yang gak tau,” ucap Valdan tak acuh, lalu berjalan meninggalkan El, tak lupa membawa cangkir yang akan dibelinya.
“Ngeselin ini orang lama-lama! Astaghfirullah, jangan sampai tekanan darah gue melonjak naik mendadak! Huh!” ucap El frustrasi, tak lupa matanya melotot menatap punggung Valdan yang mulai menjauh.
“Ngapain masih berdiri melotot di situ, Dek? Punggung aku gak akan terbakar sama pelototan kamu itu, percuma kamu melotot, udah cepetan sini!”
Kenapa Valdan menyebalkan itu suka sekali memerintah, ya?
El yang ketahuan memelototi Valdan pun merona malu, lagi-lagi ketahuan. Gadis itu merutuki dirinya sendiri dalam hati. Dengan tergesa, ia segera menyusul langkah Valdan, dan menyamai langkah laki-laki itu.
“Kapan aku melotot coba?” elak El, masa iya dirinya harus mengalah lagi?
“Gak usah boong, mana ada maling yang mau ngaku?” tanya Valdan lalu melirik El sekilas.
“Enak saja! Gue bukan maling!” protes tak terima El.
Valdan menghentikan langkahnya, lalu berbaik dan menatap El, “Aku-kamu, bukan lo-gue, ngerti? Sekali lagi kamu bilang lo-gue, siap-siap saja besok kamu berdiri di tengah lapangan. Inget, aku ketua tartib OSIS.”
Yakin, kalau orang ini tidak menyalahgunakan kekuasaannya untuk mengancam orang tak bersalah seperti dirinya?
“Ngerti?” tanya Valdan.
“Iya, Kak. Mengerti!” ketus El dengan wajah bersungut-sungut.
“Bagus, ayo!”
Dengan ogah-ogahan, El mengekori Valdan. Sesekali kepalanya menoleh ke kanan-kiri, mengamati sekitar. Tempat perbelanjaan ini tampak begitu ramai, walaupun hari ini bukan akhir pekan. Tapi, bukan kah tampaknya dirinya melupakan sesuatu? Tapi apa, ya?
“Kamu beli itu saja?” tanya Valdan tiba-tiba, membuyarkan lamunan El.
“Ya,” jawab El singkat, lalu menyerahkan cangkir itu ke kasir.
“Kayaknya gue lupa sesuatu, tapi apaan?” gumamnya pelan, pada diri sendiri.
--------
REYVI
-------