2. Penasaran
***
Caca menaikki tangga dengan menhentakkan kaki meninggalkan Saga yang masih di ruang keluarga. Hingga sampai pada pintu berwarna putih, ia membukanya.
Tampak kamar yang cukup luas dengan nuansa putih-biru. Rapi dan tidak terlalu banyak barang. Hanya ada satu kasur yang tidak terlalu besar, satu nakas dengan lampu tidur dan jam weker di atasnya, cermin dan meja rias, satu lemari pakaian, meja belajar, dan sofa single berwarna biru muda menghadap balkon, serta beberapa bingkai foto yang menggantung di dinding.
Caca langsung merebahkan dirinya di kasur dengan sprei bergambar laut yang nyaman setelah meletakkan tas sekolahnya di atas meja belajar. Bahkan, ia belum memgganti seragam sekolahnya. Ia menatap langit-langit kamar yang berlukiskan awan putih layaknya langit sungguhan.
Caca kesal.
Kesal karena Saga tidak mengerti dirinya. Kesal karena Saga bersikap egois padanya. Sudah tahu kalau adiknya yang imut ini tidak suka dengan yang berhubungan dengan musik, tapi masih saja si SAGARONG itu menonton acara musik. Dia kan jadi tambah kesel. Kesel pake Z, KEZEL!!!
Caca muak dengan musik. Takut lebih tepatnya. Takut akan kejadian masa lalu yang bisa saja terulang kembali.
Hufft!
Caca menghela napas berat, ia memejamkan matanya. Namun... ia malah teringat sesuatu.
Di hiruk pikuk keramaian. Polisi-polisi berlalu lalang di hadapan dua orang remaja, mengolah TKP kecelakaan mobil yang menabrak pohon dekat halte depan sebuah minimarket. Garis polisi membentang dari halte sampai pohon yang tertabrak. Sebuah mobil berwarna silver masih tergeletak di sana, penyok dan kaca mobil tampak pecah berkeping-keping.
Untung saja waktu itu halte dalam keadaan kosong alias tidak ada yang menunggu jemputan. Namun, satu korban meninggal di tempat, dia adalah Bima. Ayah dari dua remaja yang sekarang berdiri di trotoar menyaksikan orang-orang sibuk itu.
"Bang..."
"Kita harus kuat, Ca." Ujar Saga yang waktu itu masih berumur 17 tahun pada Caca yang berumur 15 tahun. Ia tersenyum pedih.
Caca menghela napas berat, menatap nanar keramaian.
"Mama mana, Bang?" Caca mendongak menatap Saga yang lebih tinggi darinya.
"Di sana." Saga menunjuk seorang wanita yang berbicara dengan seorang polisi seraya berkali-kali mengusap pipinya yang teraliri air mata. "Gue pengen nenangin mama, tapi gue tau, untuk sekarang mama perlu sendiri dulu setelah berbicara dengan polisi itu."
Caca menatap pada figur yang ditunjuk oleh Saga. Ia mengusap cepat air mata yang hampir menetes. Ia mengangguk kecil membenarkan ucapan Saga.
"Bang, gue belum sempat tanya," Ucap Caca pelan yang membuat Saga menoleh dengan tatapan tanya. Sangat tampak di mata yang biasanya penuh kejahilan itu ada kesedihan yang mendalam. Matanya juga sayu dan merah, padahal Saga tidak menangis seperti dirinya. "Kenapa papa sampe kecelakaan?"
Saga menatap Caca dengan raut berpikir. "Bentar, Ca. Gue belum sempat tanya sama polisi karena kita terlalu panik tadi." Ucap Saga dengan ekspresi mengingat sesuatu.
"Kalo gitu kita tanya polisi, gimana, Bang?"
Saga mengangguk. "Gue setuju."
Mereka berdua berjalan menghampiri seorang polisi yang terlihat sedang berbicara dengan seseorang di ponselnya. Saat polisi itu sudah menutup telpon dan ingin pergi. Lekas-lekas Saga memanggil.
"Pak!"
Langkah polisi itu berhenti dan menoleh ke belakangnya, tepat pada dua remaja yang berdiri sekitar lima langkah darinya.
Polisi itu menatap heran,"Ya?"
Saga dan Caca melangkah mendekat pada polisi itu. "Pak, saya boleh tanya, gak?" Ucap Saga.
Polisi itu mengangguk. "Iya. Ada apa?"
Saga berdeham. "Penyebab kecelakaan Papa saya apa, Pak?"
Polisi itu tampak tertegun, ia menatap Saga dan Caca. Tampak berpikir apa harus memberitahu atau tidak. "Kalian anak dari Bapak Bima?"
Saga dan Caca mengangguk cepat. "Iya, Pak."
Polisi yang memiliki bet nama 'Yanto' di seragam kebanggaannya itu menatap Saga dan Caca dengan prihatin. Ia menghela napas pelan. "Sebenarnya, mobil papa kalian mengalami rem blong."
"Rem blong?" Saga tampak tak percaya. "Tapi, mobil papa saya itu selalu di cek secara rutin di bengkel untuk memastikan mesin dan lain-lainnya tidak mengalami kerusakan. Dan terakhir aku sama papa cek itu hasilnya bagus-bagus aja."
"Kabel rem diputus." Sahut Pak Yanto cepat.
"D--diputus?" Tanya Saga terbata-bata, matanya menatap Pak Yanto penuh tanya sekaligus tajam. "Maksudnya, sengaja diputus?"
Pak Yanto dengan berat hati menganggukkan kepalanya. Pria berumur empat puluhan tahun itu mengulurkan tangannya menyentuh bahu Saga yang tampak tak tenang.
"Yang sabar, Nak."
Saga menatap Pak Yanto dengan napas yang naik turun. "A--a--apa kasus ini akan diselidiki?"
"Sayangnya tidak."
Saga membelalak, rahangnya yang mengeras semakin keras. Apa maksudnya ini? Tidak di selidiki?
"Kenapa, Pak!?" Tanya Saga dengan alis tertekuk. "Ini kasus yang serius!"
Pak Yanto dengan sabar menepuk bahu Saga, namun segera ditepis oleh remaja tujuh belas tahun itu. "Saya tanya kenapa?!"
Polisi itu menghela napas pelan. "Ini kehendak ibu kalian." Ujar Pak Yanto. "Saya tidak tau alasan ibu kalian tidak menginginkan kasus ini di selidiki."
Ia menatap Saga dan Caca semakin prihatin. Lalu, pria itu berbalik dan pergi meninggalkan Saga yang meremas rambutnya frustrasi karena marah dan kecewa.
"Bang..." panggil Caca lirih.
Saga menatap Caca, luka di matanya yang jernih semakin dalam. Saga menarik tubuh Caca ke dalam pelukannya. "Papa, Ca. Ada yang nyelakain dia."
Sekian detik, Caca melepas pelukan penuh pilu itu dengan perlahan, sebulir air mata berhasil menetes kembali. Saga mengusap pelan air mata kesedihan itu dan melirih.
"Kecelakaan ini benar-benar di sengaja oleh orang jahat, Ca."
Caca membuka matanya. Ia menatap langit-langit kamar dengan nanar.
Ingatan itu...
hufft!
Namun, ada sesuatu yang membuat ia langsung terduduk bangun. Otaknya seolah berputar, ia berpikir. Setelah setahun lamanya, kenapa tidak ia coba saja menemukan orang yang mencelakai papanya. Kenapa kejanggalan ini tidak ia coba selidiki sendiri.
Napas Caca memburu, ada rasa tekad dan amarah yang memuncak di dalam dada dan akan meledak saat itu juga. Caca memejamkan mata, menarik napas dengan dalam lalu membuangnya secara perlahan.
Caca turun dari kasur dan berlari kecil keluar kamar. Ia menuruni tangga menuju lantai dasar dan melangkah cepat menuju ruang keluarga. Disana, Saga masih anteng menonton acara musik di tv yang membuat Caca memutar bola matanya malas.
Ia menghampiri Saga dan duduk di samping cowok itu.
"Bang,"
"Hm." Tanpa menoleh pada si pemanggil.
'Soal kecelakaan Papa, menurut lo aneh gak sih?" Tanya Caca. Saga menoleh cepat. Ia mengernyitkan keningnya bingung kenapa Caca membahas ini.
"Aneh gimana maksud lo?"
"Ya, aneh." Ujar Caca sedikit kesal. "Papa itu orang baik, kita semua tau kalo papa gak pernah punya masalah sama siapa pun."
Saga bergeming. Keningnya masih mengernyit.
"Lalu, gimana caranya coba ada orang yang sengaja nyelakain papa?" Ujar Caca. "Dan... apa lo gak penasaran siapa penyebab kecelakaan papa?"
***