.....
From : +6281xxxxxxxxx
Luthfi.
Aku langsung bangun dari tidurku begitu melihat sebuah SMS singkat dari nomor baru yang hanya berisikan satu kata, yaitu nama panggilanku. Jari-jemariku pun segera bergerak untuk membalas SMS tersebut. Sedikit penasaran, siapa kira-kira pengirimnya.
To : +6281xxxxxxxxx
Iya, saya sendiri.
Aku membalasnya dengan kalimat yang sopan. Karena, jangan sampai pengirim SMS tersebut adalah seseorang yang lebih tua dariku.
Tring!
Tak membutuhkan waktu lama, ponselku pun berbunyi. Sebuah SMS dari nomor baru itu lagi.
From : +6281xxxxxxxxx
Syukurlah. Aku nggak salah nomor.
Hah?
Aku tambah mengernyit lagi membacanya. Sepertinya pengirim SMS tersebut orang yang aku kenal. Tak ingin berlama-lama larut dalam rasa penasaran, aku pun dengan cepat mengetikkan pesan balasan.
To : +6281xxxxxxxxx
Kalau boleh tahu, kamu siapa ya?
Terkirim. Semoga saja dia cepat membalasnya.
Tring!
Aku tersenyum senang saat mendengar ponselku berbunyi. Tak membutuhkan waktu sampai bermenit-menit untuk menunggu balasan dari SMS yang kukirimkan tersebut.
From : +6281xxxxxxxxx
Ini aku, Rayyan.
Deg! Aku tertegun membacanya. Rayyan? Benarkah dia Rayyan? Aku tidak salah membacanya, kan? Tidak. Mataku masih normal, dan ponselku juga masih normal.
Aku senang, tentu saja.
Siapa pun juga pasti akan merasa senang jika dikirimi SMS oleh orang yang disukai. Tapi, yang menjadi pertanyaanku adalah dari mana dia mendapatkan nomor ponselku?
Aku mengernyitkan dahi, bingung. Aku pun mulai menerka-nerka. Orang yang mengenalku dan juga mengenal Rayyan dengan baik hanyalah Kak Fany. Mungkinkah dia? Tapi, dari mana Kak Fany mendapat nomor ponselku coba?
Ayolah kepala .... berpikir.
Sembari berpikir, aku membalas pesan Rayyan tersebut. Katanya, kan, SMS dari cowok ganteng tidak boleh dianggurin lama-lama. Nah, kok? Oke, ini Mona yang bilang.
To : +6281xxxxxxxxx
Oh, kamu Ray. Kirain siapa. Btw, kamu dapat nomorku dari mana?
Terkirim.
Baiklah, mari kita menerka kembali.
Jadi, kalau misalkan Rayyan mendapat nomor ponselku dari Kak Fany, sudah pasti Kak Fany mendapatkan nomorku dari orang yang mengenalku dan memiliki nomor ponselku.
Apa ... mungkin ... Paijo?
Kak Fany mengenal Paijo, Paijo kakakku. Kak Fany sepupunya Rayyan, jadi ... ya begitu.
Tring!
Ponselku berbunyi lagi. Segera saja aku melihat layarnya yang menyala. Rayyan membalasnya.
From : +6281xxxxxxxxx
Kalau aku ceritakan sekarang, sepertinya terlalu panjang. Jadi, bagaimana kalau kita bertemu besok sepulang sekolah?
Aku akan menunggumu di halte bus tempat pertama kali kita bertemu.
Oh, ya ampun. Rayyan benar-benar membuatku penasaran. Tapi, tak masalah. Besok kami akan bertemu. Setelah hampir dua minggu kami tidak bertemu. Akhirnya! Oh, astaga! Kenapa aku jadi sesenang ini?
Aku melompat-lompat kegirangan di atas kasur. Seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru. Seperti orang gila–ah, tidak-tidak. Aku masih waras. Belum pernah kudengar ada orang gila yang melompat-lompat di atas kasur. Ah, sepertinya hanya aku saja yang belum pernah mendengarnya.
Tok! Tok! Tok!
"Luthfi!"
Buru-buru aku langsung beralih ke meja belajar. Duduk anteng di sana, tak lupa untuk meraih buku yang ada di rak dan membacanya. Itu suara Mama.
"Mama mau ke rumah Reyhan. Kamu nggak mau ikut?" tanya Mama setelah membuka pintu kamarku.
"Enggak, Ma. Ada PR yang harus Luthfi kerjakan," tolakku.
"Baiklah, kalau kamu nggak mau ikut. Kamu di rumah sama abangmu saja."
"Oke, Ma." Aku mengangkat jempolku ke arah Mama.
Mama lalu melangkah pergi, tak lupa untuk menutup pintunya kembali.
Ah, aku hampir lupa untuk membalas SMS Rayyan. Aku sudah membuatnya menunggu. Eh? Memangnya dia menunggu SMS-ku?
To : +6281xxxxxxxxx
Oke. Sampai bertemu besok :)
Setelah itu, aku berjalan keluar dari kamar. Menuju kamar Paijo. Tanpa kuberitahu pun, kalian pasti sudah bisa menebak, apa yang akan aku lakukan di sana.
Aku mendesah begitu memasuki kamar Paijo dan kulihat dia sudah tidur nyenyak di atas kasur empuknya. Ini baru jam tujuh, dan belum memasuki waktu salat Isya. Bisa-bisanya dia tertidur. Aku berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ya, anggap saja dia sedang kelelahan. Jadi, ya, tidur lebih awal. Kuharap dia nanti tidak lupa untuk salat Isya.
Aku pun kembali ke kamarku tanpa adanya hasil. Aku harus menunggu sampai besok untuk mendapatkan jawabannya. Oke, aku akan menunggu.
~dear you~
"Luth! Luth! Lihat, deh!" Maya menunjukkan layar ponselnya yang menyala padaku. "Ganteng pakai banget, ya." Sebuah foto seorang cowok Korea tampak jelas di sana.
"Ya." Aku hanya menjawabnya singkat. Meskipun begitu, jawabanku tidaklah bohong. Cowok di foto itu memang ganteng. Aku tidak ingin munafik dengan bilang bahwa cowok itu jelek, sebab aku tidak begitu suka dengan hal yang berbau K-Pop.
"Seandainya saja gue bisa liburan ke Korea ...," Maya mulai berangan-angan. "..., dan nikah sama cowok di sana. Ya, sekalipun bukan sama idola gue."
"Sekalipun dia jadi mualaf atau lo yang jadi murtad?" Aku menyela ucapannya.
"Hehehe," Maya nyengir lebar. "Ya dialah yang jadi mualaf."
"Kalau dia nggak mau?"
"Ya nggak gue nikahin."
"Lha?"
Maya nyengir lagi. Dia lalu mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk huruf V. Suatu kebiasaan yang biasa dia lakukan jika sudah kalah debat denganku.
Tak lama kemudian, datang Mona dengan wajah suramnya. Dia kalah taruhan bola semalam. Tadi pagi dia menginformasikan hal tersebut di grup WA.
"Kehilangan berapa duit, lo?" tanya Maya yang paham akan musibah yang sedang dilanda oleh Mona.
"Seratus ribu," jawab Mona sembari menjatuhkan tubuhnya ke atas kursi.
"Yaelah, seratus ribu doang. Kirain sampai lima ratus ribuan," tutur Maya remeh.
"Seratus ribu, kan, banyak. Gue aja ngumpulinnya sampai berhari-hari," bela Mona tak terima.
"Itu, sih, derita lo. Siapa suruh pakai ikut taruhan segala. Lo, kan, nggak begitu hobi bola. Mana tahu lo tim-tim yang jago. Asal nebak aja pasti. Tsk, mentang-mentang gebetannya pemain bola."
Aku langsung mengernyit saat mendengar ujaran Maya barusan. "Lo punya gebetan, Mon?" Jujur saja, aku baru tahu hal ini sekarang. Kami bertiga memang jarang menceritakan tentang cowok yang kami sukai, makanya aku tidak tahu mengenai Mona yang mempunyai gebetan.
"Iya, Luth," Maya yang menjawab pertanyaanku.
"Kok gue baru tahu, sih."
"Elo, sih, nggak peka sama keadaan. Lo nggak pernah lihat gerak-geriknya. Coba lo pikir, dia nggak suka bola, terus tiba-tiba mau ikut taruhan bola sama saudaranya. Tiap hari Kamis dia pulang telat, kan? Nah, itu. Dia pergi dulu lihat gebetannya di lapangan," jelas Maya panjang lebar.
Aku menepuk bahu Maya pelan. "Ih, kok lo bisa peka, sih, May? Hebat, deh."
"Yaelah. Gitu doang."
Kulihat Mona menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Dia udah punya pacar belum, Mon? Kalau belum, cepat ungkapin perasaan lo. Nggak baik lho dipendam terus. Entar nyesel lagi kalau kedahuluan cewek lain," godaku ke Mona. Tidak sadar kalau sendirinya juga menyimpan perasaan ke seseorang. Eh?
Mona menggelengkan kepalanya. "Nembak cowok is not my style."
"Yaelah, jaga image banget, lo. Wajar kali zaman sekarang cewek nembak cowok duluan. Emang, sih, nggak ada istilah sel telur ngejar sel sperma. Tapi, kan, demi kisah cinta lo yang happy ending, Mon. Menurut gue nggak masalah mau lo duluan yang nembak."
"Ih, kalian apa-apaan, sih? Gaje banget, deh. Udah, ah. Gue mau ke WC dulu." Mona lalu beranjak pergi. "Jangan pada ngikut," pesannya sembari menunjuk aku dan Maya bergantian. Wajahnya tampak memerah, menandakan bahwa dia tengah merasa malu. Kenapa harus malu?
"Yah ... menghindar dia," kata Maya.
"Sudahlah, May. Biarkan dia semedi dulu di dalam WC. Siapa tahu keluar-keluar dia langsung ke lapangan dan ngomong suka ke gebetannya. Siapa yang tahu?"
"Hoax banget, tuh, Luth."
Aku tidak ingin memaksa Mona untuk mengungkapkan perasaannya itu. Sebab, aku tahu apa yang dia rasakan sekarang. Menyukai seseorang dalam diam. Hanya kita, Tuhan, dan mungkin saja teman dekat kita yang tahu.
Aku tahu, Mona bukanlah cewek yang memiliki tingkat kepercayaan diri tinggi. Dia sama sepertiku. Hanya saja, dengan teman dekatnya, seperti aku dan Maya dia baru mau bercerita tentang apa yang selama ini tersembunyi di dalam hatinya. Dia percaya kepadaku dan juga Maya, bahwa kami bisa memberikan saran yang baik, tanpa membuatnya merasa putus asa. Ya, meskipun terkadang sering diselingi gurauan yang membuatnya cemberut.
~dear you~
Kini aku sudah berada di halte, menunggu Rayyan yang berjanji akan menemuiku di sini. Sudah lewat sepuluh menit sejak bel pulang telah berbunyi, dan Rayyan belum juga menampakkan batang hidung bangirnya. Ah, mungkin saja jam pulang sekolahnya berbeda denganku.
Aku menunggu Rayyan sembari bermain ponsel. Sekadar melihat-lihat bermacam-macam status yang ditulis oleh para pengguna sosial media Facebook. Ada yang bijak, ada pula yang alay. Bahkan, yang jualan pun tak luput dari penglihatanku.
"Luthfi!"
Sebuah seruan yang berasal dari suara seorang cowok akhirnya kudengar. Aku menegakkan kepalaku, dan kulihat Rayyan di seberang sana. Seperti biasa, dia melambai-lambaikan tangannya ke arahku sembari tersenyum lebar.
Aku balas melambai. Tak lupa untuk menunjukkan senyum lebarku juga. Ada perasaan senang yang teramat banyak di dalam benakku. Sudah begitu lama rasanya aku tidak melihat Rayyan. Aku merindukannya. Namun, sekarang kerinduan itu perlahan lenyap saat kulihat dia dengan gagahnya berjalan menyeberang jalan, menuju ke arahku.
Sepertinya Rayyan juga baru pulang dari sekolahnya. Dia masih mengenakan seragam SMA Mekar Jaya, serta tas ransel hitam yang tersampir di punggungnya.
"Maaf membuatmu menunggu lama," ucap Rayyan setelah tiba di hadapanku.
Aku menggeleng. "Enggak, kok." Aku lalu menatap wajah Rayyan. Cowok itu kelihatan sedikit berbeda dari terakhir aku melihatnya dua minggu yang lalu. Dia tampak agak kurusan. Pipinya yang dulu agak berisi, kini terlihat tirus. Apa dia menjalani diet? Tapi, dia juga kelihatan pucat. Apa dia sakit selama ini?
"Ng ... gimana sekolahmu hari ini?" tanya Rayyan membuyarkan prasangka-prasangka yang ada di pikiranku.
"Ya ... seperti biasanya. Nggak lama lagi ulangan semester. Jadi, harus rajin-rajin belajar," jawabku, sedikit mengutip kalimat yang diucapkan oleh guru yang mengajar di kelasku tadi. "Kalau kamu sendiri, gimana?" tanyaku balik.
Rayyan tak langsung menjawab. Dia hanya menunjukkan senyumnya. Lalu, dia meraih pergelangan tangan kananku, dan menariknya. Membawaku pergi dari halte bus, entah menuju ke mana.
"Kita mau ke mana?" tanyaku.
"Makan," jawab Rayyan singkat.
"Kamu belum makan?"
Rayyan menggeleng.
"Lalu?"
Rayyan langsung menghentikan langkahnya. "Lalu?" Dia menatapku sembari mengerutkan dahi.
"Ah ...." Aku bingung ingin menjawab apa.
"Ayo!" Dia kembali menarik tanganku. "Aku punya rekomendasi tempat makan yang pastinya kamu sukai."
Aku hanya bisa pasrah. Mengikuti langkah Rayyan yang kian cepat. Tangannya bahkan masih memegang tanganku. Kurasakan sebuah kehangatan yang menjalar di tubuhku sekarang. Aku tersenyum. Entah kenapa aku merasakan bahwa kebersamaanku dengan Rayyan kali ini ... istimewa.
~dear you~
From : Mona
Luthfi!
Lo gitu, ya... jadian nggak bilang-bilang. Pokoknya besok makan-makan! Lo yang bayar. Oke?!
"Uhuk! Uhuk!" Aku langsung tersedak kuah bakso yang sementara kunikmati. Ya, ini semua gara-gara SMS yang dikirim oleh Mona.
"Kamu nggak apa-apa?" Rayyan menatapku khawatir.
"Uhuk! Uhuk!" Aku masih terbatuk-batuk. Sekarang, tenggorokanku terasa panas.
"Ini, minum." Rayyan memberikanku air minum. Aku pun langsung menerimanya, dan meminumnya cepat.
Kuhela napas lega begitu aku selesai minum.
"Kamu nggak apa-apa, kan?" Rayyan tetap menatapku khawatir.
Aku menggeleng. "Enggak apa-apa, kok."
"Yakin?"
Aku mengangguk. "Yakin."
Aku dan Rayyan pun melanjutkan kegiatan makan kami yang sempat tertunda gara-gara insiden tersedak yang aku alami. Ini semua gara-gara Mona. Dia pasti melihatku dan Rayyan tadi. Aku lalu menghentikan kegiatan makanku lagi. Aku harus membalas SMS Mona. Aku harus mengklarifikasi sesuatu yang akan menjadi bahan gosip apabila tidak cepat ditindaklanjuti itu.
To : Mona
Jangan ngegosip, Mon. Kami cuman temen doang. Nggak lebih. Nggak ada kata jadian.
Terkirim. Kuharap Mona bisa memahami setiap kalimat yang kukirimkan padanya tersebut.
Aku lalu melanjutkan makanku. Namun, Rayyan justru malah berhenti makan, padahal makanan di mangkuknya belum habis. Wajahnya juga tampak gelisah.
"Ada apa, Ray?" tanyaku.
"Ng ... aku mau ke toilet dulu sebentar," ujar Rayyan. Dia lalu bangkit dari duduknya.
"Oke," aku mengangguk mengiyakan.
"Nggak akan lama, kok." Rayyan kemudian beranjak pergi menuju toilet.
"Dia kenapa?" gumamku. Khawatir? Tentu saja. Apa sistem pencernaannya sedang bermasalah? Kuperhatikan dia tampak memegangi perutnya saat berjalan menuju toilet tadi.
Rayyan, kuharap kamu baik-baik saja.
TBC
Asique 😍
Comment on chapter Awal PertemuanGak bisa naik motor tapi minta motor wkwkw Luthfi memang dan best lah