.....
Sudah ada dua minggu lamanya aku tidak bertatap muka dengan Rayyan. Ke mana dia? Padahal, sebelumnya aku sering sekali melihat dia. Apa aku harus datang ke rumahnya dulu agar bisa bertatap muka lagi dengannya? Oh, tidak-tidak. Aku tidak bisa melakukannya.
Aku juga tidak memiliki nomor ponselnya. Aku lupa untuk memintanya. Cobanya aku punya, pasti sudah kutelepon dari minggu lalu. Tapi sayang, realita berkata lain.
Hh, apa ini ... yang disebut rindu?
Aku menyukainya, jadi wajar saja, kan, kalau aku mengalami yang namanya rindu?
Rayyan.
Nama itu kini memenuhi pikiranku. Ya, meskipun aku tidak tahu nama lengkapnya itu siapa.
"Heh, Luthfi!"
Aku berjengit kaget begitu mendengar suara cempreng Mona yang menginterupsiku.
"Ngelamun aja, lo," tutur Mona sembari memukul bahuku pelan.
"Ish, lo ngagetin gue aja, Mon," sahutku.
"Lagi ngelamunin apa, hah? Nggak biasanya lo kayak gini, deh," tanya Mona. Oh, sepertinya dia sering memperhatikanku.
"Kepo, deh, lo."
"Lagi mikirin cowok, ya ...?" goda Mona sambil mengerling jail.
"Sok tahu, lho!"
"Habis tuh?"
Aku hanya meresponsnya dengan senyuman, lalu beranjak pergi menuju depan kelas. Menghindari Mona. Cewek itu akan terus menghujaniku dengan topik yang sama jika aku tak menjawab atau pun menghindar. Dan, beruntung Mona tidak mengikuti kepergianku.
Suara rangak yang biasa berbunyi memenuhi isi sekolah sebagai tanda dimulainya proses belajar-mengajar belum juga terdengar. Aku menyandarkan tubuh pada pilar kokoh yang berfungsi sebagai penyangga dari elemen-elemen atap yang bernaung di atasnya.
Bisakah aku kuat seperti pilar ini, yang bisa menahan beratnya konstruksi atap yang melindungi selasar ini dari guyuran air hujan?
Atau seperti fondasi yang bahkan bisa menahan beban yang berasal dari konstruksi dinding, kolom, serta atap?
Seberapa kuat fondasi, itu tergantung dari perbandingan bahan materialnya serta beban yang berada di atasnya. Sama seperti manusia. Seberapa kuat mereka, itu tergantung dari seberat apa cobaan yang melandanya.
Tsk, kenapa aku jadi sok bijak, sih?
~dear you~
Mungkin dia sudah telanjur cinta. Maka dari itu, untuk move on saja bisa membutuhkan waktu yang tidak sebentar lamanya.
Paijo.
Cowok bernama lengkap Fadli Oktaviano itu tampak duduk melamun di sofa yang ada di ruang tamu. Merupakan suatu pemandangan yang membuatku tidak segan untuk berdecak lidah karena kesal. Tak seharusnya dia seperti ini.
"Seberapa berat, sih, cinta elo ke Selena, sampai-sampai tiap hari lo lamunin kayak gini, hah?" celetukku sembari duduk di sebelah Paijo.
Paijo melirik sinis ke arahku. "Cerewet," balasnya dingin.
Ini yang tidak aku sukai. Masih baik aku membantunya, eh ... tidak tahu terima kasih. Sungguh kakak yang tidak patut dicontoh. Oh, astaga! Berapa sebenarnya umurnya? Kenapa sikapnya seperti ABG yang baru saja putus cinta?
Itulah kenapa kedewasaan seseorang itu tidak bisa dinilai hanya dari umurnya saja. Percuma umurnya sudah lewat kepala dua, jika hanya gara-gara diputusin pacar saja, galaunya sampai berhari-hari. Kayak tidak ada cewek lain saja.
"Lo itu sebenarnya cowok bukan, sih? Lenjeh amat," ucapku sarkastis.
Paijo tak merespons. Dia lalu bangkit dari duduknya dan melangkah pergi meninggalkanku.
Aku berdecak. Bagaimana bisa ada cowok seperti dia?
"Ah, Mama!" Aku memanggil Mama begitu melihat beliau yang baru saja membuka pintu rumah. "Anak Mama lagi galau, tuh!"
"Abangmu?" tanya Mama.
"Iya. Kemarin habis putus sama pacarnya."
"Hah? Kok bisa?" Mama tampak terkejut mendengarnya. Ternyata Mama belum tahu.
"Diselingkuhin, Ma, sama Selena."
"Apa? Ah, yang bener kamu?"
"Beneran, Ma. Kalau Mama nggak percaya, tanya aja langsung sama korbannya." Aku lalu melangkah menuju kamar, meninggalkan Mama yang saat ini mungkin sedang terheran-heran.
~dear you~
Bekas genangan air hujan masih tampak jelas terlihat di permukaan jalanan yang tidak rata. Beberapa jam yang lalu hujan turun, dan baru reda sekitar lima belas menit yang lalu. Beruntung tidak sampai menimbulkan banjir yang mampu menghambat aktivitas masyarakat.
Aku berjalan santai menuju gerbang sekolah sembari mencoba menghindari genangan air yang mungkin saja bisa membuat sepatuku basah apabila aku menginjaknya. Namun, langkahku langsung terhenti begitu melihat seorang cewek yang sangat aku kenali di depan sana. Aku pun berdecak kesal. Kenapa dia bisa ada di sekolahku?
"Luthfi!" Cewek itu memanggil namaku. Oke, sepertinya dia ada urusan denganku. Buktinya, dia melangkah menghampiriku.
"Ada apa?" tanyaku dingin.
"Bisa kita bicara sebentar," pintanya.
"Silakan. Bicara saja kalau lo mau," kataku dingin. Beberapa pasang mata yang lewat tampak menatap ke arah kami.
"Ikut gue." Selena menarik pergelangan tanganku, namun aku segera menepisnya.
"Nggak perlu. Di sini pun udah cukup. Mau di mana pun itu, toh jawaban gue tetep sama. Atau, lo malu, ya, kalau gue umbar tentang perselingkuhan lo di sini?"
"Heh, anak kecil! Gara-gara lo, Fadli jadi mutusin gue!" cerocos Selena. Sepertinya urat kemaluannya sudah hilang. Bisa-bisanya dia berbicara dengan volume yang tidak bisa dibilang pelan itu.
"Apaan, sih? Kenapa lo jadi nyalahin gue? Bukannya lo sendiri, ya, yang ngelakuin kesalahan?" Di sini dia yang salah. Jadi, aku tidak akan mau mengalah.
"Ya, emang gue salah udah ngeduain Fadli. Tapi, gue, kan, udah mohon-mohon sama lo buat nggak ngelaporin ke Fadli. Gue bisa, kok, mutusin Sammy kalau seandainya lo kagak lapor ke Fadli."
"Bullshit," umpatku.
"Luthfi!"
"Apa?"
"Lo harus tanggung jawab. Pokoknya lo harus bantu gue balikan lagi sama Fadli."
"Idih, ogah," tolakku mentah-mentah. Hanya orang kehabisan akal sehat yang mau melakukan itu.
"Luthfi!"
"Eh, Selena! Lo kira gue gila apa, ngebiarin kakak gue sendiri punya pacar playgirl kayak lo. Lo bener-bener nggak punya malu, ya. Udah marah-marah nggak jelas di sini. Dilihatin banyak orang lagi. Pulang, gih. Bikin malu aja," usirku.
"Lo bener-bener, ya ...." Dia menunjuk-nunjuk wajahku.
"Apa?"
Selena menggeram kesal. Dia lalu melangkah pergi menjauhiku.
Aku heran melihatnya. Ternyata ada, ya, cewek kayak dia di dunia ini. Sepertinya dia tidak tahu, kalau aku sudah membencinya dari awal dia berpacaran dengan Paijo. Dia juga tidak tahu, kalau aku adalah orang yang paling senang melihatnya putus dengan Paijo.
~dear you~
"Siapa tadi, Luth, cewek yang ngamuk-ngamuk ke elo?" tanya Maya begitu aku memasuki ruang kelas.
"Mak lampir," jawabku.
"Hah? Ih, Luthfi. Gue serius, tahu."
"Gue juga serius, tahu."
"Luthfi!" Maya mulai merajuk.
"Dia mantan pacar abang gue. Dan, dia nyuruh gue agar ngebantunya buat balikan sama abang gue. Ya jelas gue nolaklah. Amit-amit gue entar punya kakak ipar kayak dia," jelasku.
"Lha, emangnya dia kenapa? Fisiknya oke, tuh."
Fisik bukanlah segalanya.
"Biar fisiknya oke, kek, apa lo ikhlas kalau misalnya abang lo punya pacar seorang playgirl? Enggak, kan?"
"Oh ... jadi dia playgirl." Maya manggut-manggut paham.
"Ya."
"Pantesan saja lo nolak."
Aku mendesah. "Dan, lo tahu, abang gue masih bergalau ria sampai sekarang."
"Ya, mungkin udah telanjur cinta."
Aku mengangkat bahu. Paijo akan kuanggap cowok yang paling bodoh jika terus saja bergalau ria hanya gara-gara putus dari si Selena. Apa kelebihannya, sih, cewek itu? B aja kalau menurutku. Oke, cinta itu memang buta. Tak memandang dari segi apa pun. Kuharap dia segera move on dari cewek itu.
TBC
Asique 😍
Comment on chapter Awal PertemuanGak bisa naik motor tapi minta motor wkwkw Luthfi memang dan best lah