.....
Ini bukan kisah tentang Cinderella dan sepatu kacanya, bukan pula kisah tentang Putri Salju dan tujuh kurcaci, dan bukan juga kisah tentang si cantik dan si buruk rupa. Ini hanyalah kisah tentangku.
Luthfia Fitri. Cewek yang usianya sudah lewat tujuh belas tahun, dan belum pernah sekali pun merasakan yang namanya pacaran. Bukan karena tidak ada yang suka, bukan. Buktinya, tempo hari aku mendapatkan surat cinta dari si Arya.
Aku hanyalah cewek yang biasa-biasa saja. Ya ... meskipun banyak yang bilang kalau aku ini cantik. Aku terima-terima saja, dong. Hari gini, mana ada cewek yang tidak mau dibilang cantik.
Haha, perkenalan biasanya ada di bagian-bagian awal, ya. Tapi, beda denganku yang baru melakukannya sekarang. Biar anti-mainstream.
Aku bukan cewek alim yang berkerudung syar'i. Kegiatan rohis saja tidak aku ikuti. Aku juga bukan cewek nakal. Keluyuran malam dilarang. Mama dan Papa sebenarnya tidak mengekang. Tapi, itu dulu, sebelum negara api menyerang. Ah tidak-tidak. Mereka mulai over protective padaku setelah kematian Dinda. Setelah kejadian itu, hidupku yang penuh pengekangan dimulai.
Mereka tidak hanya melarangku keluar malam, tetapi juga melarangku bergaul dengan siapa pun itu yang bersekolah di SMA Mekar Jaya. Kalian lihat sendiri, kan, bagaimana waktu itu Paijo memaksaku untuk pulang dengannya dan memintaku untuk tidak berteman dengan Rayyan. Itu sangat menyebalkan.
Aku tidak seperti Dinda yang hidupnya dulu penuh dengan kebebasan, hanya karena dia selalu mendapat peringkat pertama di sekolah. Apa aku cerita saja sekarang, ya, mengenai Dinda semasa hidupnya? Ah, tapi aku tak yakin kalian akan percaya padaku. Karena ini ... aib.
Tidak, tidak! Aku tidak akan menceritakannya sekarang. Bab ini terkhusus tentangku saja. Jadi, aku hanya akan menceritakan tentang diriku saja.
Aku bukanlah cewek pecinta Korea alias K-Popers. Bukan pula seorang wibu(?). Meskipun Maya selalu meracuni indra penglihatanku dengan foto, musik, dan video yang berisi artis-artis Korea, itu tidak membuatku memutuskan untuk menjadi bagian dari K-Popers. Saat jam istirahat atau saat ada jam pelajaran yang kosong, Maya sering mengajakku menonton drama atau film Korea. Aku manut-manut saja. Tidak masalah, kan? Maka dari itu, aku tahu judul-judul film atau drama Korea yang sedang tayang atau yang sedang populer.
Andante, She Was Pretty, What's Wrong with Secretary Kim?, My ID is Gangnam Beauty, dan masih banyak lagi drama-drama Korea yang sudah Maya perlihatkan padaku.
Ah, sekarang mari kita lupakan soal drama Korea. Kita beralih ke hal yang lain saja.
Sebenarnya, aku bukanlah cewek dingin, judes, jutek, cuek, atau yang sejenisnya. Aku tidak seperti itu. Mungkin, banyak di antara kalian yang menilaiku seperti itu. Oh, ayolah ... itu semua tergantung mood. Saat kesal, aku pasti akan tampak dingin. Berbanding terbalik saat aku merasa bahagia. Senyum akan dengan senang hati terukir di bibirku tanpa ada yang menyuruh.
Ada yang menunggu aku menceritakan tentang kisah asmaraku?
Perasaan aku sudah membahasnya di awal, kalau aku belum pernah merasakan yang namanya pacaran. Jadi, tidak ada yang spesial dalam hal ini. Hanya saja ... kini aku tengah menyukai seseorang. Ya, tanpa kusebutkan pun kalian sudah pada tahu orang itu siapa.
Hh, jangan tanya kenapa aku bisa menyukainya. Banyak yang bilang kalau itu tidak butuh alasan. Mengalir dengan sendirinya.
Aku menyukai bagaimana caranya dia tersenyum padaku.
Aku menyukai kemampuan otaknya yang bisa menghasilkan puluhan piala.
Aku menyukai kepribadiannya yang 'katanya' dingin.
Dan, aku menyukai fakta bahwa akulah cewek pertama yang dia ajak datang ke rumahnya.
Haha, aneh memang. Tapi, tak bisa dipungkiri bahwa itu semua adalah benar adanya.
Meskipun mereka melarangku bergaul dengannya.
Di mana pun dia menuntut ilmu, itu tidak bisa membuat mereka langsung mencapnya sebagai cowok nakal.
Dia bukan cowok pertama yang aku sukai. Dulu, waktu aku masih duduk di bangku kelas X, aku juga pernah menyukai seseorang. Itu tidak salah, kan? Berarti aku normal. Menyukai secara diam-diam. Hanya aku, dan Tuhan sajalah yang tahu.
Dia tidak setampan Jonatan Christie, peraih medali emas pada cabang bulu tangkis tunggal di ajang Asian Games 2018 yang kini tengah dielu-elukan oleh masyarakat. Tidak juga setampan Kim Taehyung, cowok yang dinobatkan sebagai Most Handsome Face 2017.
Namanya Fauzi. Dia sekelas denganku di SMA Nusantara. Tidak begitu tampan, namun masih berada dalam kategori cowok most wanted di sekolah. Terkenal bukan karena tampangnya, melainkan karena prestasinya. Dia seringkali menjuarai lomba Sains, baik itu tingkat nasional, maupun tingkat internasional. Namun, rasa sukaku padanya tidak berlangsung lama. Hanya sebentar. Apalagi semenjak kepindahannya ke Bali pada saat semester satu di kelas XI.
Sejak saat itu aku berhenti menyukainya. Alasannya, sebab aku tak ingin menyukai seorang cowok yang bahkan batang hidungnya tidak akan aku lihat lagi. Sampai detik ini, aku sudah tidak pernah lagi melihatnya. Berkomunikasi via ponsel pun juga tidak pernah. Oleh karena itu, aku sudah tahu bagaimana rasanya menyukai secara diam-diam.
Aku berdiri di balkon lantai dua sembari menatap langit di atas sana. Bukan untuk menunggu bintang jatuh, sebab malam tidak ada bintang sama sekali yang terlihat. Langit tampak mendung. Bahkan, kilatan listrik di udara karena bertemunya awan yang bermuatan listrik positif dan negatif tampak jelas terlihat. Namun, hujan tak kunjung turun.
Mama, Papa, dan Paijo pada sibuk dengan kegiatannya masing-masing di dalam rumah. Hanya aku sajalah yang menganggur di sini. Tidak ada PR yang belum kukerjakan. Jadi, malam ini aku bebas dari soal-soal yang terkadang membuat kepalaku tiba-tiba merasa pusing.
Jam baru menunjukkan pukul delapan malam. Masih terlalu sore bagiku untuk berkunjung ke alam mimpi. Aku menghela napas panjang. Bosan juga berlama-lama berada di sini. Sudah ada dua puluh lima menitan aku berada di sini. Hanya berdiri sambil menyilangkan kedua tangan pada jerjak. Tak lupa untuk memikirkan banyak hal.
Aku lalu beranjak pergi. Menemui Paijo sepertinya ide yang cemerlang. Mungkinkah sekarang dia sedang bergalau ria? Kalau iya, maka aku akan mengolok-oloknya. Terakhir kali aku lihat tadi, dia sedang duduk di sofa ruang keluarga sambil menatap layar televisi yang tidak menyala.
Aku lantas mendesah begitu melihat Paijo. Dia masih berada di tempat yang sama dengan apa yang kukatakan tadi. Bedanya, kali ini dia seperti orang yang sedang memikirkan banyak utang. Tangan kanannya dia pakai untuk menyangga kepalanya. Sesekali dia memijit-mijit kepalanya.
"Lo masih galau?" ucapku, lalu ikut duduk di sebelahnya.
"Tsk, bukan urusanmu," balasnya dingin.
Apa-apaan dia? Seharusnya dia berterima kasih padaku, sebab aku sudah berhasil membuka kedok Selena. Bukan malah seperti ini. "Ya sudah kalau lo emang masih galau." Aku bangkit berdiri. "Selamat menikmati," tuturku, lalu beranjak pergi menuju kamar.
Apa Mama sama Papa sudah tahu, ya, kalau Paijo sudah putus sama si Selena?
TBC
Asique 😍
Comment on chapter Awal PertemuanGak bisa naik motor tapi minta motor wkwkw Luthfi memang dan best lah