.....
Sepulang dari sekolah, aku memutuskan untuk tak langsung pulang ke rumah. Aku ingin pergi ke rumah Rayyan. Mimpi buruk yang sudah dua kali kualami itu membuatku tak tenang.
"Jadi lo nggak akan ikut kami, Luth?"
Aku menggeleng sebagai tanggapan dari pertanyaan yang dilontarkan oleh Andrew barusan. "Gue ada acara keluarga." Aku berbohong. Tidak mungkin jika aku mengatakan yang sejujurnya kepada Andrew bahwa aku akan pergi ke rumah Rayyan. Itu bisa menimbulkan gosip murahan.
"Yah ... padahal ini hari terakhir gue akan latihan. Gue pengin lo lihat perkembangan gue."
Aku mencoba tersenyum. "Sori banget, ya, Ndrew. Tapi, percayalah. Gue selalu dukung elo, kok," ucapku, mencoba menyemangatinya. Aku lalu menepuk punggungnya. "Semangat, Ndrew. Buat bangga kami semua, oke?"
Andrew mengangguk.
Aku lalu melangkah pergi dari ruang kelas. Menuju halte bus, dan menunggu bus yang lewat. Tak membutuhkan waktu yang lama ternyata untuk menunggu angkutan umum itu lewat. Angkutan yang akan membawaku menuju rumah Rayyan.
Aku bersyukur, meskipun aku baru satu kali pergi ke rumah Rayyan, aku tidak melupakan jalan menuju ke sana. Cukup mudah diingat, sebab letak rumahnya tidak jauh dari jalan raya.
Beberapa menit kemudian aku pun sampai di rumah Rayyan. Tak ada yang berubah dari rumahnya. Tetap megah seperti terakhir kali aku datang kemari.
"Assalamualaikum! Permisi!" seruku sembari menggedor-gedor pintu gerbang berwarna cokelat yang terbuat dari besi ini. Kenapa aku menggedor-gedornya? Sebab, kalau hanya diketuk-ketuk saja tidak akan membuat orang yang ada di dalam sana menyahut. "Assalamualaikum!"
Kriet
Akhirnya, pintu gerbangnya pun ada yang membuka. Seorang pria paruh baya yang mengenakan seragam khas sekuriti muncul dari baliknya.
"Permisi, Pak. Rayyan-nya ada?" tanyaku langsung pada intinya. Tanpa memberikan kesempatan kepada beliau untuk bertanya duluan.
"Ah, Mas Rayyan-nya keluar, Mbak," jawab beliau yang membuatku sedikit kecewa.
"Ng ... dari tadi, ya, Pak?" tanyaku, mulai kepo.
"Iya, Mbak. Sebentar lagi pasti pulang," jawab bapak itu.
Beberapa detik kemudian, tampak sebuah mobil sedan datang. Itu bukan Rayyan, sebab cowok itu tidak bisa mengendarai mobil.
Mobil itu berhenti di depan kami. Lalu, keluarlah seorang cewek yang dilihat dari raut wajahnya lebih tua dariku. "Ng ... ada apa, ya, Pak? Kok pada ramai-ramai di sini?" tanyanya.
"Ini, Mbak Fany. Mbak ini nyariin Mas Rayyan," jawab pak satpam.
"Hah? Nyari Rayyan?" Cewek itu mengernyit heran.
"Ng ...." Aku mengulurkan tanganku di hadapan cewek berambut panjang bergelombang itu. "Saya Luthfi, temannya Rayyan." Aku memperkenalkan diri.
"Eh?" Cewek itu membalas uluran tanganku. "Aku Fany, sepupunya Rayyan."
Ah, ternyata dia sepupunya Rayyan. Syukurlah kalau begitu. Eh? Apa yang aku pikirkan, sih?
"Mari masuk." Cewek yang ternyata bernama Fany itu mengajakku masuk ke dalam. Tak lupa pula untuk membawa mobilnya masuk juga, dan memarkirkannya di carport.
"Kamu udah lama temenan sama Rayyan?" tanya Fany.
Aku menggeleng. "Baru beberapa hari yang lalu ng ...."
"Kak Fany. Panggil aku Kak Fany aja. Aku lebih tua darimu."
"Ya, Kak Fany." Aku tersenyum.
"Aku tadi sempet kaget lho waktu kamu bilang temennya Rayyan. Sumpah. Dia itu sulit bergaul pakai banget. Sepertinya kamu cewek pertama yang dateng kemari."
"Ng ... katanya Mbak Murni, sih, iya."
"Oh, kamu sebelumnya pernah diajak Rayyan kemari, ya?"
Aku mengangguk. Tidak mungkin aku bisa sampai di sini kalau sebelumnya tidak pernah datang ke sini.
"Silakan duduk."
Kami pun duduk di ruang tamu. Tak peduli ada tidaknya sang pemilik rumah.
"Rayyan nggak ada, ya. Tuh anak emang jarang banget di rumah. Keluar mulu. Kamu udah telepon dia belum?"
"Belum, Kak. Aku nggak punya nomor teleponnya."
"Bentar, ya, aku telepon dulu." Dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana jins yang dikenakannya. "Kamu sekolah di SMA Merdeka, ya? Itu, lambangnya." Kak Fany menunjuk lambang sekolah yang melekat di sebelah kanan lengan bajuku.
"Ah, iya, Kak."
"Aku alumni SMA Merdeka, lho."
"Wah."
"Aku sekarang semester akhir."
Aku mengernyit. Mungkinkah Kak Fany kenal dengan Paijo? Mereka berada di tingkat yang sama. "Ng... Kak Fany kenal sama Paijo –ah maksudku Bang Fadli, nggak?"
"Ah, halo Ray. Kamu di mana sekarang? Ada cewekmu, nih, di rumah. Nyariin kamu. Kangen katanya."
Aku langsung membulatkan kedua mataku mendengar ucapan Kak Fany barusan.
"Iya. Pulang, gih. Main mulu. Lima menit. Nggak pakai lama." Kak Fany mengakhiri panggilannya dengan Rayyan. Ia lalu nyengir lebar kepadaku. "Rayyan kalau nggak digituin nggak ngerespons. Sori, ya."
"Hehehe, nggak apa-apa, kok, Kak."
"Oh, ya. Yang kamu bilang tadi ... Bang Fadli? Iya, aku kenal. Kami dulu pernah berada di kelas yang sama waktu SMA. Kok kamu bisa kenal dia?"
"Ng ... dia kakak kandungku." Berat sebenarnya mengatakan ini.
"Seriusan? Wah, aku baru tahu kalau tuh cowok punya adik secantik kamu."
Aku tersenyum canggung.
"Kami dulu nggak dekat. Jadi, ya ... banyak yang nggak kutahu. Tapi, yang jelas abang kamu dulu populer banget di kalangan anak cewek."
"Ah ...." Aku tahu hal ini. Dulu, sering ada cewek yang datang ke rumah, sekadar untuk ngasih Paijo hadiah. Tsk, menurutku Paijo tidak begitu tampan. Lebih tampanan Rayyan juga ke mana-mana. Eh?
"Ngomong-ngomong, abang kamu sudah punya pacar belum? Secara, dia dulu tuh agak dingin gitu kalau sama cewek. Setahu aku, sih, dia waktu SMA nggak pernah punya cewek."
"Kalau sekarang sudah, Kak."
"Seriusan? Siapa pacarnya?" Kak Fany tampak antusias.
"Namanya Selena. Katanya, sih, dia temannya pas SMA."
"Hah? Selena?" Kak Fany tampak terkejut. Detik selanjutnya, ekspresi wajahnya tampak menyiratkan ketidaksukaan.
"Iya, Kak."
Kak Fany menghela napas. "Tsk, gimana bisa Fadli pacaran sama tuh cewek sinting?" gumamnya pelan, namun masih bisa kudengar dengan jelas.
"Hah?"
"Ah, nggak."
Dia sepertinya kurang suka sama si Selena. Aku pun demikian.
"Selena suka main ke rumahmu, nggak?" tanya Kak Fany.
Aku mengangguk sebagai jawaban.
"Anaknya baik nggak sama kamu?"
"Ya begitu. Nggak begitu asyik."
Kak Fany manggut-manggut.
Sepertinya ada suatu hal saat di SMA dulu, yang membuat Kak Fany tampak tak menyukai sosok Selena. Dan bahkan menjuluki cewek itu 'sinting'.
Beberapa menit kemudian, datanglah Rayyan. Dia tersenyum lebar melihatku. Dan, aku pun membalas senyumannya.
TBC
Asique 😍
Comment on chapter Awal PertemuanGak bisa naik motor tapi minta motor wkwkw Luthfi memang dan best lah