.....
Aku berada di sebuah taman yang dipenuhi oleh bunga-bunga yang sedang bermekaran. Harum bunga-bunga itu menyeruak memasuki indra penciumanku. Aku tak hanya sendiri di sini. Di sebelahku ada Rayyan yang tampak tersenyum bahagia padaku.
"Ray, kamu nggak akan pergi ninggalin aku, kan?" Aku menatap Rayyan penuh harap.
Kulihat Rayyan menggelengkan kepala. "Enggak. Aku nggak akan ninggalin kamu. Aku janji," ucapnya.
"Janji?" Aku mengangkat jari kelingkingku ke hadapannya.
"Janji." Rayyan juga melakukan hal yang sama denganku.
Kedua jari kelingking kami pun saling bertaut. Mengikrarkan sebuah janji bahwa kami akan tetap bersama. Apa pun yang akan terjadi.
Namun, tiba-tiba saja langit yang cerah menjadi begitu gelap. Suara gemuruh guntur begitu memekakkan telinga. Aku kalut. Kulihat sekelilingku.
Aku bingung.
Aku takut.
"Rayyan!" Aku berteriak, memanggil nama Rayyan. Berharap dia masih tetap ada di sisiku sekarang.
Tak ada sahutan.
"Rayyan!" Aku memanggilnya sekali lagi.
Namun, tetap sama. Tidak ada sahutan.
Langit yang gelap tiba-tiba saja kembali cerah. Kulihat sekelilingku lagi. Tidak ada siapa pun di tempat ini. Aku sendiri.
Rayyan, kamu di mana?
"Rayyan!" Aku memanggil Rayyan untuk ke sekian kalinya.
"Rayyan!"
Tetap saja, tidak ada sahutan.
Segera kulangkahkan kedua kakiku ini untuk mencari keberadaan Rayyan.
Ke segala arah.
Hingga akhirnya, aku menemukan Rayyan. Dia tampak berjalan keluar dari taman ini. Bersama dengan seorang gadis yang sangat aku kenali.
Dinda.
"Rayyan!" Aku memanggilnya lagi dan lagi.
Rayyan pun menoleh.
Aku segera berlari menghampirinya.
"Rayyan, kamu mau ke mana?" Aku bertanya kepada Rayyan.
"Maaf, Luthfi. Aku tidak bisa menepati janjiku. Aku harus pergi," jawab Rayyan.
"Apa? Tidak, Rayyan. Kita sudah berjanji bahwa kita akan selalu bersama."
"Maaf, aku mengingkarinya," sesal Rayyan.
"Rayyan, kita harus pergi." Dinda yang berdiri di sebelah Rayyan berujar.
"Tidak! Kamu nggak boleh pergi, Ray!" Aku menggeleng-gelengkan kepala.
"Maaf, Luth. Aku harus pergi. Sampai jumpa!"
Rayyan dan Dinda pun mulai melangkah pergi.
"Rayyan! Aku mohon, jangan pergi ...."
Aku terisak sembari menatap punggung Rayyan yang mulai menjauh dan hilang ditelan kabut.
"Rayyan!"
"Rayyan! Hah ... hah ... hah ...."
Ternyata itu hanya mimpi.
Aku segera bangun dan mengambil air minum yang ada di nakas, lalu meminumnya hingga menyisakan setengah. Setelah itu, kuhela napas dalam-dalam dan mengembuskannya Aku tidak mengerti, kenapa aku bisa bermimpi seperti itu. Padahal, sebelum tidur aku tidak lupa untuk berwudu dan membaca doa.
Kuseka keringat yang membanjiri pelipisku. "Kenapa aku memimpikan Rayyan, ya?" gumamku. Aku lalu menghela napas pendek. "Kenapa ada Dinda juga?"
Aku agak bingung dengan mimpiku ini. Aku bukan penafsir mimpi, jadi tidak tahu apa makna dari mimpiku tersebut. Mungkinkah Rayyan akan pergi meninggalkanku? Ah, kami baru saja dekat. Aku tidak berharap untuk menjadi salah satu orang terspesialnya.
Dinda.
Kenapa harus ada Dinda?
Aku menggeleng-gelengkan kepala, lalu melirik jam beker di nakas sekilas. Pukul 02.15 dini hari. Masih terlalu malam untuk bangun dan bersiap-siap pergi ke sekolah.
Aku memutuskan untuk membaringkan tubuhku lagi. Mencoba kembali menutup kedua mata dan melupakan mimpi buruk yang baru saja terjadi itu.
~dear you~
"Lo kenapa, Luth? Kusut amat," tutur Maya saat melihat wajahku yang tidak secerah biasanya. "Mata panda, tuh."
Wajar jika Maya mengatakan itu. Sebab, kelopak mataku yang bagian bawah memang tampak kehitaman. Semalam aku tidak bisa tidur, tepatnya setelah mimpi buruk itu terjadi.
"Lo begadang, ya, semalam?" tebak Maya.
Aku mengangguk mengiyakan.
"Begadang nonton drama Korea, ya?" tebaknya lagi. Dan, salah.
"Gue bukan elo kali yang maniak drama Korea," elakku. "Gue pengin istirahat di UKS. Lo bisa, kan, entar bilang ke Bu Renata kalau gue lagi nggak enak badan?"
"Tentu. Karena, di kelas pun mungkin lo juga akan tidur."
Aku pun melangkah pergi menuju UKS. Mengistirahatkan tubuh barang sejenak mungkin akan sedikit membuatku kembali segar setelah bangun nanti. Dan, kuharap aku tidak bermimpi seperti tadi malam.
Aku membaringkan tubuhku ke atas ranjang. Lalu, mencoba menutup kedua mata. Berharap bisa mengistirahatkan tubuh barang sejenak saja.
Rayyan.
Aku langsung membuka mataku.
Kenapa aku jadi kepikiran Rayyan?
Aku menghela napas panjang. Wajar saja jika aku kepikiran cowok itu. Sebab, dia salah satu tokoh penting yang hadir dalam mimpi burukku semalan.
Aku mencoba menutup mataku kembali. Dan, kali ini berhasil. Aku benar-benar tertidur.
Tuhan,
Jangan kirimkan aku mimpi buruk lagi.
~dear you~
Semburat warna oranye tampak memenuhi langit barat. Menandakan bahwa sore telah usai, dan petang telah datang.
Namun, aku sama sekali tak ingin beranjak pergi dari padang rumput yang sangat luas ini. Kakiku terasa berat, sebab dari tempat ini, aku bisa melihat langit yang indah tanpa ada yang menghalangi.
Suara derap langkah kaki yang beriringan dengan suara kicauan burung terdengar di telingaku. Aku menoleh ke belakang, dan melihat cowok tampan berjalan menghampiriku. Itu Rayyan. Dia tersenyum manis padaku.
"Lithfi!" seru Rayyan memanggilku.
"Ya. Ada apa?" sahutku.
"Jaga dirimu baik-baik. Aku tidak bisa berada di sisimu selamanya. Ini sudah waktunya bagiku untuk pergi. Kuharap kau mengerti."
"Rayyan ...."
"Aku pergi."
"Rayyan!"
"Rayyan!"
Aku bermimpi lagi. Mimpi yang sama dengan yang kualami semalam.
Aku beranjak bangun. Jam berapa sekarang? Hh, sepertinya aku hanya melewatkan pelajaran di jam pertama saja.
"Luthfi!"
Aku lantas mendongak saat mendengar suara Maya yang memanggil namaku.
"Ayo ke kantin," ajak Maya. Matanya lalu memicing. "Lo nggak apa-apa, kan?" tanyanya kemudian.
"Entahlah. Gue nggak yakin," jawabku.
"Ya?"
"Emangnya ini sudah jam istirahat, ya?"
Maya mengangguk.
"Ya udah, ayo ke kantin."
Ternyata aku tertidur cukup lama. Tidak hanya satu jam atau dua jam-an. Aku dan Maya pun melangkah menuju kantin.
Jika bukan karena mimpi buruk itu, aku mungkin belum bangun dari tidurku sekarang.
TBC
Asique 😍
Comment on chapter Awal PertemuanGak bisa naik motor tapi minta motor wkwkw Luthfi memang dan best lah