.....
"Cie ... Luthfi ... yang kemarin jalan bareng doi. Cie ...."
Maya datang-datang langsung menggodaku. Doi? Makanan jenis apa itu?
"Apaan, sih, May? Gaje banget."
"Gue kemarin lihat elo. Hayo! Kali ini lo nggak bisa ngelak."
"Maksud lo? Sumpah, gue gagal paham."
"Gue kemarin lihat lo jalan bareng cowok ganteng yang nemuin lo waktu itu di gerbang."
Aku langsung mengernyitkan dahi. "Benarkah?"
"Gue pengin banget ngeciduk kalian, tapi bokap gue keburu ngajakin gue pulang, sih ... jadi gagal, deh ...."
"Dia cuman temen gue. Nggak lebih."
Jangan sampai hal itu menjadi bahan gosip di sekolah ini. Kalau fakta, tidak masalah. Tapi, aku, kan, memang tidak ada hubungan apa-apa dengan Rayyan. Jadi, aku tidak akan terima jika ada yang menggosipkanku.
"Eits ... sekarang emang temen, tapi nggak tahu kalau besok atau lusa, kan?"
"Terserah lo saja."
Aku memutuskan untuk diam. Jika aku bicara atau bercerita banyak tentang Rayyan, cewek itu mungkin akan semakin heboh. Dia juga tukang gosip omong-omong. Aku lalu melangkah pergi, keluar dari ruang kelas.
"Eh, lo mau ke mana, Luth?!" Maya meneriakiku.
"Ke Hongkong!" sahutku ngawur.
~dear you~
Tek tek tek
Bunyi ketikan yang berasal dari jari-jemariku yang bergesekan dengan layar ponsel sangat jelas terdengar di telingaku. Ya, aku sedang mengetikkan pesan ke beberapa temanku. Sore nanti, kami akan mengerjakan tugas kelompok di rumahku. Aku ingin mereka semua datang. Kalau tidak, maka hanya akan ada namaku yang tertulis di sampul tugas tersebut.
Seperti biasa, membuat makalah. Tentang dampak sosial media bagi kehidupan masyarakat.
"Nggak naik, Neng?"
"A-ah!" Aku sontak saja sedikit terkejut saat mendengar teguran dari abang-abang sopir angkot. "Naik, Bang!" aku berujar, lalu segera masuk ke angkot berwarna merah tersebut.
"Baru pulang sekolah, Dek?" Seorang wanita paruh baya bertanya padaku. Di pangkuannya terdapat sayur-sayuran. Sepertinya ia baru pulang dari pasar.
"Iya, Bu," jawabku. Aku lalu terdiam. Menatap pemandangan di luar jendela sepertinya lebih mengasyikkan daripada menatap seorang bapak yang duduk di depanku. Aku bukanlah seorang cewek yang banyak bicara. Aku lebih suka diam. Dan, aku baru mengeluarkan suara apabila ada yang menegurku –jika yang menegurku itu adalah orang tidak kukenal.
Perjalanan kali ini sepertinya tidak akan membutuhkan waktu yang lama, sebab tidak ada tanda-tanda jalanan akan macet. Syukurlah kalau begitu. Jadi, aku tidak akan merasa pengap berada di dalam angkot.
"Rayyan?" Aku bergumam begitu iris mataku tak sengaja melihat Rayyan yang tengah duduk di halte. Apa yang dia lakukan di situ?
Cowok itu tidak mengenakan seragam sekolah. Apa dia sudah pulang dari sekolahnya? Mungkin saja.
"Bang! Stop, Bang!" Aku memutuskan untuk berhenti di sini, di jalan yang bahkan akan membutuhkan waktu beberapa menit mengendarai motor untuk sampai ke rumahku.
Setelah membayar angkot, aku pun turun dari kendaraan beroda empat tersebut. Kulihat arah kiriku, di halte sana masih ada Rayyan. Tanpa banyak pikir lagi, aku segera berlari di bahu jalan, menghampiri Rayyan. Jangan tanya kenapa aku melakukan ini. Sebab, aku pun tak tahu. Aku hanya mengikuti apa kata hatiku.
"Rayyan!" Aku memanggil cowok berambut model fringe itu.
Rayyan menoleh, dan sepertinya sedikit terkejut melihat kedatanganku. "Luthfi?" Dia lalu berdiri.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku.
Dia menggeleng. "Nggak ada," jawabnya.
"Hah?" aku mengernyit bingung.
Kulihat Rayyan tersenyum lebar. "Kamu baru pulang sekolah, ya?" tanyanya kemudian.
Aku mengangguk mengiyakan.
"Terus, kenapa kamu bisa ada di sini?"
"A-ah, itu ... ng ...," Otakku berputar. Ayolah ... alasan yang logis muncullah. "..., a-aku melihatmu tadi waktu di dalam angkot. Jadi, aku menghampirimu. Ya ... kita bisa pulang bareng." Aku tidak sepenuhnya berbohong.
Rayyan semakin melebarkan senyumnya. Oh, ayolah ... dia bisa membuatku terkena diabetes lama-lama.
"Ngomong-ngomong, kamu sudah pulang sekolah, ya?" tanyaku.
"Em ... ya," jawabnya.
Apa dia sedang berbohong? Jawabannya ... menurutku dia tak yakin dengan itu.
"Ah." Terpaksa, aku mengangguk-anggukkan kepala.
Tin! Tin!
Aku langsung mendengus saat mendengar bunyi klakson mobil yang memekakkan telinga itu lewat di dekatku. Lalu, mobil itu diberhentikan oleh pengemudinya.
"Luthfi!"
Dan, aku mendengus untuk kedua kalinya saat melihat seorang pemuda menampakkan batang hidungnya dari kaca jendela mobil yang barusan dibukanya. Itu si Paijo. Aku menatapnya sinis. Ingat, kami belum damai.
"Ngapain lo di situ?" tanya Paijo.
"Bukan urusan lo," jawabku ketus.
"Ayo pulang!" ajaknya kemudian.
"Pulang aja sendiri. Ngapain lo ngajak-ngajak gue?" tolakku.
"Ng ... itu kakak kamu, ya?" Rayyan yang melihatku dan Paijo berdebat pun bertanya.
"Ya," jawabku singkat.
"Kamu diajak pulang, tuh. Kenapa nggak mau?"
Hh... seandainya Rayyan tahu apa yang aku alami. Seandainya Rayyan mengalami apa yang aku alami, pasti dia juga akan bersikap sepertiku. Maaf, Rayyan. Aku tidak ingin pulang dengan pemuda seperti Paijo itu.
"Enggak, Ray. Aku lebih suka naik angkutan umum daripada naik mobil ber-AC bareng dia," ucapku ke Rayyan.
Merasa aku mengabaikannya, Paijo pun keluar dari mobil dan langsung menarik lenganku. Mengajakku pulang secara paksa. "Pulang, nggak?"
"Apaan, sih?" Aku mencoba melepaskan tanganku. "Lepasin, nggak?" Namun, sulit. Ya, wajar saja. Kekuatan yang dia miliki jauh lebih besar daripada kekuatanku.
"Pulang." Paijo tetap saja memaksaku.
Sungguh sangat terpaksa, aku pun menurut. Aku sangat-sangat tidak ikhlas dia memperlakukanku seperti ini. Tidak bisakah aku memiliki seorang kakak yang begitu baik dan pengertian kepadaku?
Brak!
Dia membanting pintu mobilnya dengan cukup keras.
Oh, astaga. Dia bahkan tidak memberiku kesempatan untuk pamit kepada Rayyan.
"Kalau belajar sudah selesai itu langsung pulang. Jangan mampir-mampir. Entar kalau ada apa-apa, gimana? Siapa yang repot? Kalau emang ada hal yang penting, nelepon atau SMS ke Mama atau Papa." Si Paijo memulai ceramahnya saat mobil yang kami naiki mulai melaju.
Aku bergeming. Terlalu malas untuk menanggapi ceramahnya yang menurutku sudah terlalu mainstream itu. Sebab, jika aku menanggapinya, itu akan menjadi cukup panjang dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengakhirinya.
"Siapa cowok tadi, Luth? Pacar kamu, ya? Sejak kapan kamu punya cowok?"
Aku mendesah mendengarnya. "Temen," jawabku singkat.
"Emangnya dia nggak sekolah, ya? Kok nggak pakai seragam?"
Kenapa pria ini sangat ingin tahu?
"Udah pulang." Aku menjawab seadanya. Malas menyusun kalimat yang panjang-panjang.
"Hah? Dia teman sekelasmu, kan?"
"Bukan."
"Habis tuh?"
"Dia murid di SMA Mekar Jaya."
"Apa?!" Paijo tampak terkejut mendengar penuturanku.
"Kenapa?" Aku mengernyitkan dahi heran. Kenapa pria ini terkejut mendengar jawabanku? Apa ada sesuatu?
"Sebaiknya kamu jangan berteman sama dia."
"Ya?" Apa-apaan ini? Ya Tuhan ... dia bahkan sudah mulai mengatur-ngatur dengan siapa aku harus berteman.
"Aku tidak ingin kejadian yang menimpa Dinda terulang lagi. Jangan pernah berteman dengan siapa pun itu yang ada di SMA Mekar Jaya."
Aku mendesah. Apa aku harus menceritakan semuanya tentang Dinda kepadanya sekarang? Tentang hal yang selama ini aku sembunyikan darinya. Tentang hal yang bisa disebut aib. Hanya Tuhan, aku, Dinda, dan mantan pacarnya saja yang tahu.
Sebenarnya, aku sangat ingin memberitahu hal itu kepada Mama dan Papa. Namun, aku tidak ingin dianggap iri atau apa pun itu, karena sudah menceritakan hal buruk dari seseorang yang sudah meninggal.
Aku tidak pernah iri terhadap apa pun yang diperoleh Dinda semasa hidupnya.
"Apa lo pikir semua orang itu memiliki sifat yang sama? Apa lo pikir semua yang ada di sekolah itu seperti Ben? Hh ...."
Ben adalah mantan pacar Dinda. Dia adalah orang yang dituduh penyebab kematian Dinda. Tidak diketahui di mana keberadaan cowok itu sekarang. Aku kasihan dengannya. Mantan Dinda tidak hanya dia saja. Aku yakin, bukan Ben tersangkanya. Tapi, semua orang sudah menuduhnya.
Paijo diam. Tak menjawab sepatah kata pun.
"Apa lo pikir jika seandainya salah satu karyawan di perusahaan Papa adalah seorang pembunuh, apa karyawan lainnya juga seorang pembunuh? Enggak, kan?!"
Paijo tetap saja diam. Kupikir penjelasanku itu cukup logis. Entah Paijo diam sebab bingung harus menjawab apa, ataukah diam sebab sedang merangkai kalimat untuk membuatku bungkam.
"Jangan menilai seseorang hanya dari di mana dia bersekolah. Dan juga, jangan menilai seseorang dari sikap baiknya saja, tanpa lo tahu yang sebenarnya."
Kuharap, kalimatku yang terakhir itu bisa dipahami olehnya.
Aku segera turun dari mobil begitu tiba di rumah. Menutup pintu mobil dengan sedikit keras, dan langsung melangkah memasuki rumah.
Kuhempaskan tubuhku yang mulai kurus ini ke atas kasur empuk. Beberapa jam lagi teman-temanku akan datang. Masih ada cukup waktu untuk merileksasikan kepala barang sejenak.
TBC
Asique 😍
Comment on chapter Awal PertemuanGak bisa naik motor tapi minta motor wkwkw Luthfi memang dan best lah