๐๐๐
Aku menatap kagum pemandangan yang kini tersaji di hadapanku. Benarkah ini rumahnya Rayyan? Gila! Ini bukan rumah, melainkan sebuah mansion mewah. Gila! Gila! Gila!
"I-ini beneran rumah kamu?" tanyaku ke Rayyan.
Rayyan menganggukkan kepalanya. "Ayo, masuk!" Dia menarik tanganku, mengajakku untuk memasuki rumahnya, ah istananya.
"Nggak usah malu-malu. Anggap saja rumah sendiri. Tapi, jangan dijual, ya. Entar aku jadi gelandangan," kata Rayyan.
Aku pun tertawa kecil mendengarnya. Lalu, aku mendudukkan diri ke atas sofa yang ada di ruang tamu mansion Rayyan. Hh ... sofa yang nyaman. Pasti harganya mahal.
"Mbak Murni! Mbak! Ada tamu, nih!" Rayyan memanggil asisten rumah tangganya.
"Iya, Mas!" Aku mendengar seorang wanita menyahut.
"Ng ... kamu di sini dulu, ya. Aku ke atas dulu ambil handphone," ucap Rayyan.
Aku mengangguk mengiyakan.
Rayyan pun melangkahkan kedua kakinya menaiki tangga. Meninggalkanku di sini sendirian. Ah, tidak. Sebab, tak lama kemudian datang seorang wanita dewasa. Di tangannya terdapat nampan yang berisi segelas minuman berwarna kuning, serta dua stoples makanan. Itu pasti Mbak Murni.
"Silakan diminum dan dimakan, Mbak," ujar Mbak Murni sambil menaruh isi nampan yang dibawanya tersebut ke atas meja tepat di depanku.
"Iya, Mbak. Terima kasih. Maaf jadi ngerepotin," balasku.
"Nggak merasa direpotin, kok. Ngomong-ngomong, Mbak ini pacarnya Mas Rayyan, ya?"
"Hah? B-bukan, kok, Mbak." Aku menggeleng cepat. "Saya temannya Rayyan," elakku.
"Ah, teman. Jarang-jarang, lho, Mas Rayyan ngajak temannya main ke rumah. Apalagi cewek. Sepertinya Mbak yang pertama, deh."
Keningku mendadak mengkerut. "Benarkah?" tanyaku tak begitu percaya. Kalau dilihat dari tampangnya, menurutku Rayyan itu adalah sosok yang ramah dan mudah bergaul. Buktinya, baru beberapa hari kenal denganku, dia sudah berani mengajakku main ke rumahnya.
"Benar, Mbak. Saya nggak bohong. Mas Rayyan itu orangnya super cuek dan dingin kalau sama cewek. Mangkanya, saya agak kaget waktu Mas Rayyan ngajak Mbak main ke sini."
Aku mengangguk paham.
"Kalau begitu, saya permisi dulu, Mbak. Masih ada kerjaan di dapur."
"Iya, Mbak." Mbak Murni kemudian melangkah pergi dari sini.
Sekarang, entah kenapa aku jadi merasa istimewa. Ada rasa bangga saat Mbak Murni bilang kalau aku adalah cewek pertama yang diajak Rayyan main ke rumahnya. Hahaha. Dan, Mbak Murni tadi bilang kalau Rayyan adalah cowok yang cuek dan dingin sama cewek. Tapi, kenapa aku sama sekali tidak menemukan hal itu di diri Rayyan, ya? Bahkan, saat pertama kali aku bertemu dengannya. Hh, dia sedikit misterius ternyata. Mungkin ada suatu hal di masa lalu yang membuatnya seperti itu (cuek dan dingin sama cewek). Mungkin faktor penyebab kedua orangtuanya bercerai juga memengaruhi.
Aku kemudian menatap sekelilingku. Wah ... rumah ini benar-benar mewah. Klasik, namun ada beberapa furnitur yang bergaya modern, seperti pigura foto misalnya. Aku tidak tahu seberapa kaya keluarga Rayyan. Kalau dilihat dari rumahnya, sih, sangat kaya. Iris mataku kemudian tak sengaja melihat puluhan piala yang berbaris rapi di dalam rak kaca. Aku pun berjalan menghampiri rak kaca tersebut. Hanya ingin melihat, siapa kira-kira yang sudah berhasil mengumpulkan piala sebanyak itu.
"Juara satu lomba Sains tingkat nasional, juara satu lomba Matematika tingkat nasional. Wah ... keren." Aku berdecak kagum melihat puluhan piala yang kini sudah ada di depan mataku ini. Benar-benar membuat bangga siapa pun yang melihatnya.
Aku sedikit terkejut saat tak sengaja melihat nama Rayyan tertulis di sebuah piagam penghargaan yang terletak di atas rak kaca tersebut. Aku tidak tahu penghargaan dalam ajang apa itu. Sebab, kalimat yang tertulis di sana bukanlah menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, melainkan menggunakan bahasa asing yang sama sekali tak kumengerti artinya. Sepertinya bahasa Jerman. Ah, entahlah.
"Maaf membuatmu menunggu lama."
Suara interupsi Rayyan berhasil membuatku terkejut. "A-ah, enggak, kok."
Rayyan tersenyum. Kini, cowok itu sudah tidak memakai sweternya tadi. Hanya ada kaus berwarna putih di sana. Ya, suhunya memang sedikit panas. Jadi, wajar saja jika dia melepas sweternya. Aku pun juga merasa panas melihat Rayyan yang seperti itu. Oh, astaga! Apa yang baru saja aku pikirkan?!
Aku lalu memalingkan wajah. Kembali menatap deretan piala di depanku. "Ng ... Rayyan, apa ... ini pialamu?" tanyaku.
"Iya, itu pialaku," jawabnya.
"Semua ini?"
"Iya."
"Woah ...," aku berdecak kagum. "Kamu ternyata murid teladan, ya."
"Hehehe, nggak juga. Aku pernah membolos."
"Tapi, kan, nggak masalah membolos, kalau kamu masih bisa menghasilkan piala-piala ini."
"Hahaha, kamu bisa aja. Piala nggak begitu penting buatku. Benda-benda ini hanya membuat orang lain bangga padaku." Rayyan menyentuh kaca yang menutupi piala-piala miliknya sendu.
"Memangnya kamu nggak bangga? Kalau aku mungkin akan sangat bangga. Segala permintaanku mungkin akan dituruti oleh Papa dan Mama." Aku lalu menatap Rayyan sambil tersenyum. "Aku bangga padamu."
Rayyan balas tersenyum. "Terima kasih."
~dear you~
Pukul lima sore lebih lima menit aku baru pulang dari rumah Rayyan. Perihal makan siang dan salat Zuhur, aku melakukannya di rumah Rayyan. Sedangkan salat Azar, aku melakukannya di masjid.
Orang-orang di rumah (Mama, Papa, dan Paijo) tidak ada yang menghubungiku, untuk sekadar menanyakan posisiku berada. Mereka sepertinya sudah tahu kebiasaanku yang tidak ingin diganggu oleh bunyi yang berasal dari mereka. Hh, baguslah kalau begitu.
Banyak hal yang aku dapat setelah main ke rumahnya Rayyan. Kami tadi banyak bercerita, terutama Rayyan. Ayah Rayyan ternyata seorang pengusaha properti, sementara ibunya adalah seorang model.
Ada satu fakta yang membuatku menganga tentang Rayyan, yaitu dia tidak bisa mengendarai mobil. Oh, astaga. Padahal, mobil di garasi rumahnya ada banyak. Tapi syukurlah dia bisa mengendarai sepeda motor. Eh, tapi dia lebih suka naik angkot atau taksi ke mana-mana.
Rayyan orangnya cukup asyik. Tidak dingin seperti yang dibilang Mbak Murni. Dia juga sangat sederhana, mengingat keluarganya yang kaya raya itu. Satu kata yang menggambarkan sosok Rayyan dariku, perfect. Eh, tapi, kan, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Ah, entahlah. Pokoknya Rayyan itu ... pacar idaman. Ups! Astaga! Apa yang aku pikirkan?
Apakah aku mulai jatuh hati padanya? Meskipun aku baru mengenalnya?
~dear you~
"Hai, Luth! Baru pulang, ya?"
Aku mendengus begitu mendengar suara basa-basi Selena saat aku memasuki rumah. Tak lebih dari satu jam lagi Maghrib, tapi kenapa tuh cewek belum pulang? Betah banget berada di sini. Bikin enek saja.
"Dari mana saja lo? Anak cewek kok main mulu kerjaannya. Nggak pamit lagi," tutur Paijo.
Aku tak menghiraukan Selena dan juga Paijo. Oh, ayolah! Paijo sepertinya tidak bercermin dahulu. Apa dia tidak melihat cewek di sebelahnya itu? Apa bedanya aku sama dia? Bagusan juga aku. Jam segini sudah ada di rumah, sementara dia, masih asyik nongkrong di rumahku. Aku lalu melangkah pergi. Ke kamar mungkin jauh lebih baik daripada meladeni mereka.
"Puas mainnya, Luth?"
Sekarang, giliran Mama yang menginterupsiku. Beliau menatapku datar sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Belum, Ma," aku menjawab singkat.
"Main ke mana saja kamu, jam segini baru pulang?" tanya Mama.
"Ke mana saja, Ma. Yang jelas nggak ke kelab dan nggak lupa salat," jawabku, lalu bergegas pergi. Menghindari Mama adalah pilihan yang terbaik untuk saat ini. Jika tidak, maka beliau akan terus-terusan mengintrogasiku layaknya aku ini adalah seorang tersangka dalam suatu kasus pembunuhan.
Mama tadi pergi bersama Papa. Entah ke mana, aku tidak tahu. Sepertinya ke rumah Rey. Di sana, kan, mau syukuran. Waktu aku berangkat tadi pagi, mereka tidak melihatku. Ah, mungkin si Paijo yang memberitahu Mama kalau aku sudah dari tadi pagi pergi main.
Aku menghempaskan tubuhku ke atas kasur begitu memasuki kamar. Lelah juga ternyata seharian pergi main. Yah, mumpung hari libur.
Aku lalu melihat jam di dinding kamarku. Pukul 17.18. Waktunya mandi.
.
.
.
TBC
Asique ๐
Comment on chapter Awal PertemuanGak bisa naik motor tapi minta motor wkwkw Luthfi memang dan best lah