๐๐๐
Mulai hari ini, aku berikrar bahwa aku tidak akan mau lagi diantar oleh Paijo. Terutama saat pergi ke sekolah. Aku lebih memilih menunggu angkot atau bus yang lewat. Tak peduli jika aku harus terlambat dan mendapat hukuman.
Aku melangkah menuju kelasku, XII IPA 1, dengan langkah malas. Beberapa jam telah terlewati semenjak insiden adu mulut kemarin. Aku sama sekali belum berbicara dengan Paijo. Kami tak saling bertegur sapa. Bodoh amat. Aku tak peduli. Mama dan Papa hanya diam saja melihat kami yang seperti itu. Sudah biasa terjadi.
“Pagi, Luth.” Seorang cowok berkepribadian dingin menyapaku. Namanya Jeremy, siswa kelas XII IPA 2. Dia adalah teman SMP-ku. Mangkanya dia ramah padaku.
“Pagi juga,” balasku.
Jeremy pun berjalan mendahuluiku dengan terburu-buru. Mungkin dia lupa mengerjakan PR semalam. Suatu kebiasaan yang sudah sering terjadi di kalangan para pelajar.
Begitu aku sampai di kelas, objek pertama yang aku lihat adalah beberapa siswa yang sedang berkerumun di salah satu bangku yang letaknya di urutan paling belakang. Apa yang sedang mereka lakukan? Sepertinya mereka sedang menonton sesuatu di ponsel.
Aku kemudian berjalan menuju bangkuku yang terletak di urutan kedua dari depan. Menaruh tas di meja, lalu ikut berkerumun dengan para siswa tadi. “Apa yang kalian tonton, sih? Serius amat,” tanyaku, sedikit penasaran.
“Anak kecil nggak boleh lihat,” sahut seorang cowok bernama Moza sembari melambaikan tangannya, berniat mengusirku.
“Yeee … kayak lo udah dewasa aja,” balasku. Aku menyembulkan kepalaku, berusaha melihat apa gerangan yang sedang mereka tonton.
“Ini khusus lelaki. Perempuan nggak boleh lihat.”
“Halah … lebay lo.” Aku kemudian melangkah menjauh dari mereka. Jika sudah seperti itu, aku tahu apa yang sedang mereka tonton. Sebuah film … kalian tahulah apa yang aku maksud. Sebuah kebiasaan buruk yang tidak patut dicontoh. Mampu merusak moral para generasi penerus bangsa.
“Luthfi!”
Dari arah pintu, seorang cewek berambut ikal memanggil namaku. Namanya Maya, salah satu teman sekelasku.
“Apa?” sahutku.
“Ada yang nyariin lo tuh di depan,” ujar Maya sembari melangkah memasuki kelas, dan menaruh tasnya di bangku kebesarannya.
“Hah? Siapa?” tanyaku bingung.
Maya mengangkat bahunya, “Entah. Yang jelas, sih, cogan. Pakai banget. Kayak oppa-oppa gue di Korea sono.”
Keningku pun berkerut. “Cogan?”
“Iya. Pacar lo, ya? Ish, lo kok nggak pernah cerita ke gue, sih, Luth … kalau lo udah punya pacar? ‘Kan, gue bisa minta PJ, gitu.”
“Nggak usah banyak cincong deh, lo,” tukasku, lalu beranjak keluar dari kelas. Menuju gerbang sekolah, di mana seseorang yang disebut ‘cogan’ oleh Maya berada.
“Mau ke mana, Luth?” Zian, siswa kelas XII IPA 3 bertanya kepadaku saat aku melewati kelasnya.
“Bisnis,” jawabku asal, tanpa sedikit pun menoleh padanya. Aku kemudian mempercepat laju langkah kakiku. Sebenarnya, ada rasa penasaran yang kini menyelimutiku. Kepalaku mulai digerayangi oleh pertanyaan yang terulang-ulang, yaitu “siapakah cogan yang mencariku itu?”.
Begitu sampai di pintu gerbang, aku langsung mengedarkan pandanganku. Yang kulihat hanyalah beberapa siswa yang baru datang, dan juga … cowok yang kulihat di halte kemarin lusa. Apa yang dia lakukan di sini?
Cowok itu melihat ke arahku, dan langsung menyunggingkan senyum. “Oh, hai Luthfi,” sapanya sembari berjalan menghampiriku.
Ah, dia tidak melupakan namaku ternyata. “H-hai juga,” balasku sedikit canggung.
Cowok itu kemudian berhenti tepat di depanku. Di tangannya terdapat sebuah kantong plastik yang tidak kuketahui apa isinya. “Aku mau ngembaliin swetermu yang kamu pinjamkan padaku kemarin lusa.” Dia menyerahkan kantong plastik itu padaku.
“Ah, iya.” Aku menerimanya.
“Terima kasih banyak.”
Aku mengangguk. “Sama-sama,” balasku.
“Cie … Luthfi.”
“Uhuy!”
“Gebetan baru, ya? Kenalin, dong.”
Aku langsung mendengus kesal saat mendengar ujaran yang keluar dari mulut-mulut tukang gosip itu. Kebiasaan. Mereka terlalu cepat mengambil keputusan tanpa mencari tahu terlebih dahulu fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan. “Ng … sori, ya. Teman-temanku emang kayak gitu. Suka gosip,” ucapku tak enak hati kepada cowok itu.
“Iya. Nggak apa-apa, kok. Udah biasa terjadi.”
Aku lalu menatap cowok yang belum kuketahui namanya itu dari ujung rambut hingga ke ujung rambut. “Kamu … masih SMA juga?” tanyaku kemudian. Dia mengenakan celana abu-abu khas siswa SMA. Kemeja putihnya dia tutupi dengan jaket kulit berwarna cokelat tua. Aku tidak bisa melihat lambang sekolahnya.
Cowok itu mengangguk. “Iya. Aku sudah kelas dua belas. Di SMA Mekar Jaya,” jawabnya.
“Ah … kita setingkat ternyata.”
SMA Mekar Jaya. Ya, aku tahu sekolah itu. Musuh bebuyutan SMA Merdeka. Pantas saja cowok di depanku ini mengenakan jaket. Aku harap, dia bukan bagian dari geng penyebab SMA Mekar Jaya menjadi musuh bebuyutan SMA Merdeka.
“Iya. Ngomong-ngomong, kita belum berkenalan secara resmi.”
“Ya?” Aku sedikit terkejut.
Cowok itu mengulurkan tangan kanannya ke hadapanku.”Namaku Rayyan,” tuturnya.
Aku pun membalas uluran tangannya. “Kamu sudah tahu namaku. Jadi, aku nggak perlu menyebutkannya lagi, ‘kan?” Aku mengangkat sebelah alisku.
“Hahaha,” cowok yang ternyata bernama Rayyan itu tertawa. “Iya, Luthfi.” Dia lalu menyunggingkan bibirnya ke atas.
“Salam kenal.”
~dear you~
“Cie … Luthfi. Yang habis ketemuan. Cie ….”
Aku berdecak kesal saat kalimat menggoda itu keluar dari mulut si Maya. “Kenapa? Masalah buat lo?” sahutku, lalu mendudukkan diri ke atas kursi.
“Ganteng banget, ‘kan, Luth? Lo kenal dia dari mana?” tanya Maya ingin tahu.
“Nggak sengaja ketemu di halte kemarin lusa,” jawabku.
“Oh … baru kenal toh. Kirain udah kenal lama.”
“Enggak.”
“Dia siswa dari sekolah sebelah, ‘kan? Ngapain dia nyariin elo?”
“Cuman mau ngembaliin sweter yang gue pinjamkan ke dia kemarin lusa.”
“Gimana ceritanya lo bisa minjemin dia sweter?”
“Lo kepo banget, sih, May!”
“Hehehe, kayak lo nggak tahu gue aja, Luth.”
.
.
.
TBC
Asique ๐
Comment on chapter Awal PertemuanGak bisa naik motor tapi minta motor wkwkw Luthfi memang dan best lah