๐๐๐
Butiran air yang jatuh dari gumpalan awan di atas sana seakan-akan sedang menertawakanku yang tengah sendirian di sini. Aku kembali mengeratkan sweter yang melekat di tubuhku. Udara dingin yang datang bersama hujan sore ini berhasil membuatku sedikit menggigil.
Aku kembali menghubungi kakak laki-lakiku. Entah sudah yang ke berapa kalinya aku melakukan ini. Namun, tetap saja, suara operatorlah yang didengar oleh telingaku. Aku mendengus kesal. “Dia ke mana, sih?” ucapku pelan, nyaris berbisik.
Sudah ada satu jam lamanya aku berada di halte ini. Bukan untuk menunggu hujan reda atau bus yang lewat, melainkan untuk menunggu jemputan yang entah kapan datangnya. Sangat-sangat terlambat. Kebiasaan. Awas saja nanti.
Sangat tidak mungkin kalau dia terjebak macet. Dia selalu melewati jalanan yang tidak terlalu ramai untuk sampai ke sini. Dan, tidak mungkin juga dia sibuk dengan kuliahnya. Aku sangat tahu itu.
Selang beberapa menit kemudian, aku mencoba menghubungi cowok yang berstatus sebagai kakakku itu lagi. Namun, nihil. Hasilnya tetap sama. Kenapa harus suara operator terus yang kudengar? Hh ….
Aku mulai putus asa. Seharusnya sekarang adalah waktuku untuk bersantai di rumah. Namun, apa daya. Aku harus terjebak di sini, menunggu cowok yang entah kapan datangnya itu.
Jleger!
Bunyi gemuruh guntur berhasil membuatku terlonjak kaget. Oke, aku mulai tak nyaman berada di tempat ini. Apa aku menunggu bus atau angkot yang lewat saja, ya, daripada menunggu si Paijo (begitu aku menjulukinya) yang belum terdeteksi kedatangannya?
Aku terkejut untuk yang kedua kalinya saat mataku tak sengaja melihat seorang cowok, yang sepertinya seumuran denganku, tiba-tiba ada di sebelahku. Aku tidak melihat kedatangannya.
Cowok berpostur tubuh tinggi dan berhidung bangir itu tampak tengah menggigil kedinginan. Wajahnya juga tampak pucat. Ia memeluk tubuhnya sendiri. Sesekali tampak menggesek-gesekkan kedua telapak tangannya agar timbul kehangatan di sana.
Entah kenapa tiba-tiba saja aku merasa iba melihatnya. Aku juga merasakan udara dingin, tetapi tidak sampai menggigil seperti cowok itu. Aku lalu menatapnya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Semuanya basah kuyup.
Cowok itu kemudian berjongkok. Hujan yang turun semakin deras saja. Membuat suhu udara kian dingin. Aku benar-benar kasihan melihatnya. Aku ingin membantunya lepas dari udara dingin ini. Tetapi, apa aku bisa?
Aku bisa.
Aku pasti bisa!
Batinku menjerit.
Ya, aku harus membantunya.
Aku pun melepas sweterku. Lalu, dengan penuh keyakinan, aku memberikan benda berwarna abu-abu itu ke cowok tersebut. “Ng … mungkin ini bisa membantumu merasa hangat. Ya … walaupun sedikit,” ucapku.
Cowok itu mendongak. Menatap ke arahku dengan kening yang berkerut. “Kamu ….”
Aku dengan cepat menggeleng. “Aku nggak apa-apa. Sepertinya kamu lebih membutuhkannya daripada aku.” Aku lalu tersenyum.
Cowok itu pun menerimanya, lalu memakainya.
Tak lama kemudian, akhirnya ada juga bus yang lewat. Aku sudah tidak ingin membuang-buang waktuku lagi untuk menunggu kedatangan Paijo. Aku pun tersenyum senang. “Kalau begitu, aku pulang duluan,” ujarku kepada cowok itu kemudian. Aku lalu melangkah menghampiri bus tersebut.
“Tunggu!”
Suara bass yang berasal dari cowok tadi berhasil membuatku berhenti melangkah. Aku pun lantas berbalik.
“Kalau boleh tahu, siapa namamu?” tanyanya.
“Ya?” Aku agak terkejut mendengarnya. “A-ah, namaku Luthfi!” jawabku, lalu tersenyum. Aku kemudian melanjutkan langkah memasuki bus. Lalu, mencari tempat duduk yang masih kosong. Hh … hari yang begitu melelahkan.
Aku tiba-tiba saja tertegun. Segera kulihat cowok tadi melalui kaca jendela bus yang mulai melaju ini. Mulai menjauh dan tampak samar. Kenapa dia tidak ikut naik bus ini bersamaku? Apa ini bukan bus yang akan membawanya pulang ke rumahnya? Mungkin saja.
Aku mengangkat bahu acuh tak acuh. Melupakan perihal cowok tadi, dan beralih pada pikiranku yang mulai kugunakan untuk menyusun rangkaian kalimat sarkastis yang akan kuhujani pada kakak laki-lakiku itu.
~dear you~
Langsung saja aku keluarkan kata-kata umpatan begitu membuka pintu rumah. Di depan sana, tepatnya di atas sofa yang terletak di ruang tamu, kini duduklah dua orang anak manusia yang berbeda gender. Keduanya tampak mesra, seakan dunia yang fana ini hanyalah milik mereka berdua. Yang lain hanyalah butiran nasi yang ada di pinggir wadah rice cooker.
BRAK!
Mereka langsung terlonjak kaget saat mendengar bunyi pintu yang kututup dengan kerasnya. Aku tak peduli dengan hal itu. Tak peduli jika di antara mereka ada yang mempunyai riwayat penyakit jantung.
Aku lantas menatap keduanya tajam. Terutama si Paijo.
“Eh, Luthfi. Baru pulang, ya?” ujar seorang perempuan yang duduk di sebelah Paijo basa-basi.
Aku mendengus kesal mendengarnya. Menurut, lo? Sudah tahu baru pulang, pakai bertanya lagi. “Ow … bagus, ya. Jadi ini yang lo lakuin di rumah, sampai-sampai lupa dengan kewajiban lo sendiri, hah?!” ocehku kesal. Aku lalu melenggang pergi menuju kamarku. Tentunya sambil mengeluarkan berbagai jenis umpatan.
BRAK!
Untuk yang kedua kalinya, aku menutup pintu dengan keras. Dan, korbannya kali ini adalah pintu kamarku sendiri. Aku tetap tak peduli. Biar rusak atau apa pun itu, bukan urusanku.
Aku melempar tas asal ke atas kasur. Aku masih berada dalam mode kesal. Hujan di luar tak kunjung reda. Ini adalah suasana yang tepat untuk tidur. Tetapi, aku tidak bisa melakukan itu. Aku masih dalam mode kesal, di mana sangat tidak memungkinkan bagiku untuk bisa tidur dengan nyenyak, apalagi dengan keadaan tubuhku yang belum mandi ini.
~dear you~
Bunyi gesekan antara sendok dan piring yang khas terdengar memenuhi ruang makan. Bunyi rintikkan hujan di luar juga masih terdengar. belum juga reda setelah beberapa jam lamanya air dari hasil penguapan itu menjatuhkan diri ke permukaan bumi.
Aku menatap malas makanan yang tersaji di hadapanku. Nafsu makanku malam ini hilang entah ke mana. Aku hanya mengaduk-aduknya tak bersemangat.
“Kamu kenapa, Luth? Kenapa nasinya nggak dimakan?” Mama yang melihat gelagatku pun menegur.
Aku menghentikan aktivitasku sebentar, lalu menatap serius Mama dan Papa yang duduk di hadapanku itu bergantian. “Ma, Pa!” panggilku ke mereka.
“Ada apa, Luth? Apa makanannya nggak enak?” tanya Papa.
“Beliin Luthfi motor,” jawabku lari dari pertanyaan yang diajukan oleh Papa.
Papa, Mama, serta Paijo pun sontak saja langsung menatap ke arahku dengan kening yang berkerut.
“Kamu, ‘kan, nggak bisa naik motor, Luth,” kata Mama.
Tuk!
Aku menusuk tubuh ikan goreng yang sama sekali belum aku cicipi. “Apa gunanya ada kata belajar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kalau nggak diterapin, Ma?” tuturku kesal.
Mama diam. Tak ada satu pun kalimat yang keluar dari mulutnya. Papa pun demikian.
“Kalau nggak mau beliin Luthfi motor, beliin saja Luthfi mobil.”
Kalian mungkin sudah menganggapku gila, sebab di usiaku yang sudah melewati angka tujuh belas ini, aku berani meminta benda seperti mobil kepada kedua orangtuaku.
“Heh, Luthfi, naik motor saja kamu nggak bisa, apalagi naik mobil.” Paijo yang sedari tadi diam akhirnya bersuara.
“Apa gunanya ada kata belajar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kalau nggak diterapin?” Untuk yang kedua kalinya, aku mengatakan kalimat yang sama.
“Luthfi … bukannya Mama dan Papa nggak mau beliin. Hanya saja, Mama dan Papa nggak tega lihat kamu yang harus naik kendaraan sendiri di jalan raya,” tutur Mama.
Aku mendengus kesal. Oh, ayolah … aku bukan lagi anak kecil yang ke sana-kemari masih harus diantar. Aku sudah lewat tujuh belas tahun, di mana sudah diperbolehkan untuk memiliki Surat Izin Mengemudi. Aku juga tak lama lagi akan tamat SMA, dan aku ingin melanjutkan pendidikkan ke perguruan tinggi favorit. Masa iya harus diantar-jemput terus?
Dengan kesal, aku meletakkan sendok ke atas piring. “Ya sudah, kalau Mama sama Papa nggak mau beliin Luthfi motor atau mobil. Carikan saja Luthfi sopir pribadi, yang bisa antar Luthfi ke mana pun Luthfi pengin pergi,” tukasku. Aku kemudian bangkit dari duduk. “Yang selalu ada tanpa perlu cape-cape neleponin buat suruh jemput,” lanjutku dengan penuh penekanan di setiap kata. Aku lalu melangkah pergi. Tak lupa untuk menghentak-hentakkan kaki ke lantai.
“Luthfi!”
Aku mendengar teriakan Papa yang memanggil namaku. Namun, aku mengabaikannya. Kuharap Papa dan Mama mengerti maksud dari setiap kalimat yang kuucapkan tadi.
.
.
.
TBC
Asique ๐
Comment on chapter Awal PertemuanGak bisa naik motor tapi minta motor wkwkw Luthfi memang dan best lah