Ada keajaiban lagi
******************
Setelah kejadian semalam, mas Genta melamarku tanpa banyak kata. Langsung menemui bapak dan ibuku, begitupun kejadian hari ini. Aku bilang ini suatu keajaiban yang diberikan Tuhan padaku. Mulai kecil sampai se remaja sekarang, usia sudah mendekati dua puluh tiga tahun belum pernah mengenal lelaki kecuali bapak dan adikku Aris. Namun sekarang Tuhan mempertemukan aku dengan mas Genta, lelaki baik itu.
Sepulang dari mengajar tari, seperti biasa kalau tidak ke toko buku, aku ke taman dekat stasiun atau pulang ke rumah.
Hari ini memutuskan untuk tidak kemana-mana, langsung pulang karena ibu dan bapak ada pertemuan keluarga dirumah pakde. Jadi di rumah hanya ada Aris.
Sesampainya di rumah, ada pemandangan yang tidak biasa. Dari teras mendengar Aris berdialog dengan seseorang. Rupanya ada tamu.
"Assalamualaikum, Aris."
Aris membuka pintu, terlihat mas Genta sudah didalam asyik ngobrol dengan Aris.
"Mbak, mas Genta nunggu dari tadi. Mbak kok lama?" tanyanya
"Iya, tadi ada tambahan jam untuk latihan hari ini dek."
Mas Genta mengucapkan salam dan memberi senyum terindahnya.
"Waalaikumsalam, mas sudah nunggu lama?"
"Ya, tadi ngobrol dengan Aris."
"Oo ya mas lagi libur kerja?" tanyaku mendetail.
"Kerja, tapi ini jam istirahat. Mau ajak kamu makan siang dekat sini. Kangen gudeg Jogja dan kangen kamu."
Meleleh hati ini, mau pingsan tapi tidak jadi.
"Dekat sini ada mas Gudeg mbak Sri, enak khas Jogja. Aku temani mas makan siang."
Karena Aris diajak tidak mau ikut dan lokasi juga dekat, jarak cuma melewati lima rumah sudah sampai warung gudeg mbak Sri. Akhirnya kami berangkat cuma berdua.
Sambil menunggu dilayani penjual gudeg, mas Genta tiba-tiba menarik perlahan jemariku. Aku kaget, tapi entahlah kubiarkan begitu saja. Rasanya pasrah, buru-buru kutarik tapi terasa berat.
"Sabar ya, ada sesuatu untukmu."
"Apa mas?"
Mas Genta memasang kan cincin polos ada hiasan satu mata berlian dijari manis ku.
"Apa ini mas?" tanyaku penasaran.
"Itu tanda kamu milikku, menikahlah denganku dik Ningsih"
Ucapnya sambil menggenggam jemariku.
Hanya membisu dan tidak bisa berkata-kata, sampai sepiring nasi gudeg sudah berada di depan mata baru tersadar dari angan-angan yang melambung tinggi.
"Sekarang makan dulu, nanti lanjut lagi," ucapnya serius
Cincin itu masih kupandangi, rasanya tidak percaya menikah dalam waktu dekat dan instan.
Rasanya tidak mungkin ini terjadi, ini hanya mimpi sesaat yang melenakan. Aku harus bangun dari mimpi indah ini, tapi masih takut untuk bangun. Keajaiban demi keajaiban itu diberikan Tuhan melalui mas Genta.
Nasi itu kubiarkan utuh, mas Genta mengambil sesendok lalu disuapkan ke mulutku.
Ya Tuhan, romantisme yang tidak pernah aku rasakan dari lelaki manapun.
Dan mulutku otomatis perlahan terbuka, seperti ada sihir cinta yang membuatku tak bisa menolaknya.
"Dimakan, jangan buang-buang makanan. Ayo, dihabiskan."
Sosok imam yang dirindukan, sosok calon ayah yang di harapkan setiap wanita. Berusaha mencari celah negatifnya lelaki ini terletak dimananya, belum bisa aku temukan. Memperlakukan wanita seperti ratu.
"Iya mas, aku habiskan nasi gudegnya."
Setelah makan siang itu selesai, mas Genta pamit balik ke kantor. Dan sebelum beranjak pergi, dia memberikan sesuatu di gegamanku. Kotak bentuk hati kecil.
"Apa ini mas?"
"Nanti saja buka dirumah ya bidadariku."
OOO so sweet, akupun mengangguk malu. Diapun ucapkan salam lalu berjalan kearah jalan besar, sepertinya mobil mas Genta diparkir di seberang. Kulihat terus sosok mas Genta berjalan sampai akhirnya tak terlihat lagi.
Buru-buru aku pulang dan masuk kamar, ingin membuka kotak berbentuk hati itu.
Ternyata sebuah kalung emas putih, bermata berlian yg berbentuk hati juga.
"Ya Allah cantik banget," gumamku.
Ada selembar kertas, aku baca berlahan.
"Calon bidadari surgaku, menikahlah denganku. Kita didik anak-anak kita kelak menjadi anak Sholeh dan Sholehah."
Senyum sumringah mengembang di wajahku.
"Iya mas, aku akan menikah denganmu secepatnya." ucapku sedikit berteriak kegirangan.
Menikah dengan lelaki baik, semoga memang begitu sejatinya.
Aku dilamar
*********************************
Mas Genta menelepon, terdengar suaranya pelan sepertinya kecapaian karena seharian full bekerja.
"Dik, mas kangen. Padahal baru bertemu siang tadi ya." terdengar suara tertawa pelannya dari telefon.
"Mas bisanya menggombal saja."
Tidak lama dari percakapan itu mas Genta menjelaskan kalau hari Sabtu nanti orang tua dan beberapa sodara datang kerumah untuk berbicara lebih serius tentang tanggal pernikahan.
"Loh mas tidak terlalu terburu-burukah semua ini?"
Mas Genta menjawab, "orang tuaku ingin segera menimang cucu dari anak semata wayangnya ini."
Ucapnya sambil sedikit terkekeh, hatiku langsung berhenti bergetar. Tidak percaya tapi ini kenyataan.
"Baiklah mas, nanti aku beri kabar ke bapak dan ibu. Mas Genta segera istirahat ya, besok pasti sibuk di kantor."
Dan pembicaraan itupun berakhir, aku lanjut berdiskusi dengan bapak dan ibukku. Kata ibu sederhana saja yang penting tidak membuat malu pihak keluarga kita.
Hari yang dinanti itu tiba, Sabtu sore dirumahku. Tanpa bermewah-mewahan, sederhana, keluarga bapak dan ibu juga tidak diundang semua hanya keluarga pakde dari bapak dan keluarga paklik dari ibu. Tradisi khas Jogja masih lekat, suasana kekeluargaan, hidangan juga sederhana, tanpa pesta yang hingar bingar.
Tak disangka dari keluarga mas Genta datang dengan jumlah keluarga cukup fantastis, membuat kami sedikit kelabakan. Dua puluh orang beserta membawa seserahan lengkap ada almari pakaian, tempat tidur, meja rias, perlengkapan dapur, almari es dan masih banyak lainnya lagi.
Cuma ibuku yang menghadapi keadaan dengan tenang, ibu tampil dengan apa adanya. Kata ibu, seorang laki-laki beserta keluarganya yang siap menikah tidak melihat kemewahan dibaliknya, namun dia hanya melihat kesantunan, keharmonisan, kesederhanaan sesuai realita dari keluarga si wanita. Bukan hanya melihat sisi duniawi saja, atau sekedar pencitraan yang seolah-olah ditunjukkan sesaat lalu memudar. Tidak perlu malu karena memang begini adanya, ya sudah tidak perlu "di poles tebal".
Ibuku menyambut kedua orang tua mas Genta dengan sopan dan sesuai ciri kejawaannya, bertutur kata lembut. Menyalami ibu mas Genta beserta keluarga yg berjenis kelamin wanita lainnya, lalu mengatupkan kedua telapak tangan khusus kepada semua pihak keluarga yang berjenis kelamin laki-laki. Begitupun bapakku, ini bukan suatu kesombongan tapi memang ada batasan antara laki-laki dan perempuan yang bukan senasab.
Dari bilik dalam aku hanya mendengar obrolan mereka.
Mas Genta terlihat sangat berwibawa, terlihat exclusive memakai jas lengkap, rapi bapaknya pun tampil demikian. Like father like son, Ibunya tampil glamaour maklum memang mereka keluarga kaya.
Selang beberapa menit kemudian, bapak mas Genta memulai pembicaraan.
"Mohon maaf kami pihak keluarga Genta sudah merepotkan bapak dan ibu, maksut kami adalah melamar dik Ningsih. Tentunya bersamaan menetapkan tanggal pernikahan mereka. Kami pasrahkan semua kepada pihak keluarga dik Ningsih, untuk biaya dan lainnya tidak perlu dibingungkan mudah-mudahan semua bisa berjalan lancar. Aamiin."
Kalimat demi kalimat itu meluncur dari bibir bapak mas Genta, lancar tanpa hambatan. Bak gayung bersambut, bapakku pun menjawab dengan lancar.
"Terima kasih bapak, ibu pihak keluarga mas Genta sudi mampir ke gubuk kami. Anak kami Ningsih memang belum lama mengenal mas Genta. Tapi proses ini begitu cepat, semua sudah Allah atur. Mohon maaf jika penyambutan kami kurang berkenan."
Sembari mempersilahkan keluarga mas Genta menikmati hidangan yang sudah disuguhkan, dipanggillah aku yang sedari awal bersembunyi dibalik tirai.
Terdengar bisik-bisik suara riuh keluarga mas Genta.
"Cantik ..."
"Cantik sekali calonnya Genta."
"Anggun, gadis asli Jawa."
dan seterusnya obrolan-obrolan kecil itu keluar dari bibir mereka, aku hanya menunduk malu dan sedikit gede rasa.
"Ini Puteri kami, Ningsih Pramesti. Puteri kami guru tari dan kemungkinan akan ada pagelaran tari yang diadakan pihak pemerintah sehingga Puteri kami dan beberapa kru 2 bulan kedepan persiapan berangkat ke Belanda sebagai undangan duta wisata disana. Ya, kami bersyukur masih ada yang melestarikan budaya Jawa di Jogja ini."
Penjelasan bapak sedikit membuatku gusar, tapi Alhamdulillah pihak keluarga mas Genta menerima apapun kondisi keluarga kami.
"Wah suatu kebanggaan ya pak punya Puteri cantik dan jadi duta seni mewakili negara," tambah bapak mas Genta.
"Ya saya bersyukur pak, jadi ini bulan apa pernikahannya?"
Mas Genta menjelaskan dengan gamblang, "begini pak setelah training 6 bulan kedepan pernikahan itu bisa dilangsungkan. Di Jogja sini sekalian syukurannya. Kemudian dik Ningsih saya ajak pindah ke Jakarta, karena di sana sudah kami persiapkan rumah untuk keluarga kecil kami nanti."
"Baiklah, monggo bapak,ibu tanggal dan bulan kami serahkan. Kita manut saja, mengikuti dari keluarga mas Genta"
Mereka berembuk sebentar, nampak serius. Lalu mas Genta melanjutkan pembicaraan.
"Kami ada tanggal 9 Desember 2017 pak, akad nikah pagi di rumah ini. Malamnya ada syukuran kecil di hotel tempat kolega papa saya. Semua kami yang urus," jelasnya.
"Baik, bulan Desember ya."
Setelah sepakat, keluarga mas Genta pun menikmati menu makan malam khas Jogja ada Gudeg, ada minuman angsle juga. Aku melihat keluarga mas Genta puas dengan menu yang kami suguhkan. Hanya saja aku lihat ibu mas Genta tidak mengeluarkan sepatah katapun, beliau hanya tersenyum sedikit sekali. Ya semoga beliau bisa menerimaku nanti sebagai menantunya.
"Bapak dan Ibu kami undur diri, karena sudah mulai larut. Terima kasih atas semua hidangan yang disajikan, kami benar-benar dimanjakan dengan suasana Jogja. Terima kasih."
Bapak pun menjawab, "mohon maaf apabila ada kekurangan ya keluarga mas Genta."
Mereka pun berpamitan, kami mengantar sampai depan pagar.
Hari ini penuh keajaiban, ikatan, lamaran dan tanggal pernikahan. Semua mengalir begitu saja.
6 bulan kedepan aku akan menjadi Nyonya Genta Buana. Sebelum itu aku masih punya tanggungjawab untuk berangkat ke Belanda kunjungan perwakilan pagelaran tari. Doaku semoga semua berjalan dengan baik.
Aamiin ..
*Menanti persiapan berangkat ke Belanda, meskipun cuma dua Minggu tapi kerinduan menyeruak.
Apakah mas Genta mampu menahan rindu itu? ternyata tidak.
Mas Genta menyusul ke Belanda? apakah dia serius?