Siapakah dia?
--------------------------
"Em, em mas maaf," ucapku tercengang.
"Tidak apa-apa mbak, saya tadi mencari-cari mbak tapi kok bisa menghilang cepat ya? saya pikir mbak bisa menghilang tiba-tiba."
Senyumnya, ya Tuhan membuat wajah ini jadi merah padam.
"Jadi basah bajunya mas, mas siapa namanya lupa saya," sambil bertanya ulang.
"Panggil saja Genta,"
"Oo iya mas Genta, saya pulang dulu ya sudah siang."
"Mbak, saya antar pulang. Saya bertanggungjawab atas diri mbak."
Tidak bisa melarikan diri lagi akhirnya mas Genta mengantarkan aku sampai rumah.
Karena rumah ke toko buku sangat dekat, kami pun berjalan kaki. Sopan sekali lelaki ini, jarak aku berjalan didepan dengan dia di belakang cukup berjauhan. Berasa punya bodyguard.
Sampailah kami di rumah, bapak sudah di teras membaca koran bersama ibu.
"Assalamualaikum, bapak, ibu di teras nunggu apa?"
"Tidak sedang menunggu apa-apa nak, bapak sama ibumu ini lagi duduk santai saja. Sudah makan kamu?" tanya bapak.
"Belum pak," jawabku singkat.
"Itu siapa, bapak belum pernah tahu lelaki itu di wilayah sini ya?"
Karena bingung mau menjawab apa, kutinggalkan jejak langsung masuk rumah tanpa mempersilahkan mas Genta bertamu.
"Bukan siapa-siapa pak, Ningsih tidak mengenalnya,"
Bapak pun hanya sekedar melempar senyum ke arah mas Genta, begitupun mas Genta hanya memberi salam ke bapak.
Lelaki yang sejauh ini masih kutahu kesopanannya. Bukan type lelaki yang mudah mengobral janji manis, main pegang, main sentuh semua wanita, merayu dan sejenisnya.
Dia sopan, masih menjunjung tinggi kehormatan wanita, menjaga kesucian wanita, dan baik.
Tapi bagiku itu belum cukup bukti, harus bisa di selidiki lebih jauh lagi.
Malam terindah
Tidak terasa malam mulai bergelayut, bulan mulai menampakkan rautnya. Aku, bapak dan ibu seperti biasa ngobrol di ruang santai.
"Bapak masih penasaran, siapa ya lelaki tadi. Sepertinya dia mengikuti kamu loh nak."
"Bapak, saya tidak mengenalnya mungkin orang tersesat cari alamat rumah," kali ini aku berbohong karena masih takut cerita ke bapak.
"Mungkin juga ya," jawab bapak mengiyakan pernyataannya.
"Anaknya ganteng, tinggi, besar ya pak. Putih bersih, seperti bukan orang Jogja. Kayak di telivisi itu pemain sinetron anak kota Jakarta sana," ibu ikut mencairkan suasana.
"Hahaha, Bu masih tahu orang ganteng ya. Bukannya hanya bapak yang ganteng Bu," goda bapak.
Ibu pun jadi manja, persis seperti dua sejoli yang sedang kasmaran. Sejenak senyumku pudar, tiba-tiba mendengar ada yang mengetuk pintu.
"Biar bapak yang membukakan pintu," ucap bapak seraya menuju pintu.
"Assalamualaikum, pak saya Genta dari Jakarta,"
"Waalaikumsalam, maaf nak Genta ini mencari siapa?" tanya bapak.
Serasa melayang di awan, keringat dingin mulai mengucur. Mas Genta nekad sekali ke rumah, tidak takut sama bapak.
"Saya mencari anak perempuan bapak,"
Duh, senyumnya membuat pikiranku melayang nakal.
"Oo temannya Ningsih? Mari masuk," jawab bapak santai.
Mas Genta bersalaman dengan bapak, dan obrolan pun dimulai hari ini, jam ini dan detik ini.
"Teman apa ya nak Genta?" tanya bapak.
"Teman beberapa jam yang lalu pak, saya teman barunya Ningsih."
Jujur sekali lelaki ini menjelaskan asal muasal perkenalan kami.
"Loh, baru kenal?aslinya darimana?" bapak mulai interogasi layaknya pak polisi. Ibupun ikut nimbrung di percakapan malam itu.
"Mari silahkan diminum nak," sambut ibuku.
"Terima kasih Bu, saya sedang training kerja di Jogja ini pak, 6 bulan lamanya. Saya ditugaskan di perusahaan yang papa saya kelola untuk dipercaya memimpin anak perusahaan beliau." jelasnya gamblang.
"Perusahaan apa itu nak Genta?" tanya bapak lagi.
"PT. Margono Pratama Investama pak , kalau dari stasiun masih lurus saja pak. Bergerak di bidang exportir kerajinan khas Jogja."
"Ya bapak tahu itu,"
Ternyata mas Genta dari keluarga pebisnis, perusahaannya memang terkenal di Jogja biasanya mengexpor keluar negeri produk-produk kerajinan Jogja terutama aksesoris perak.
"Maksut kedatangan nak Genta ke rumah kami dalam rangka apa ini?mau survey penduduk ya?" goda bapak lagi.
"Bukan pak, saya kesini mau melamar anak bapak, Ningsih!"
Apa?berasa dijatuhi durian montong, saya berharap ada yang tidak beres dengan pendengaranku.
Mas Genta belum mengenal aku, latar belakang keluargaku berbeda jauh bagai langit dan bumi. Ini pasti mimpi di siang hari, semua ini pasti lelucon.
"Nak Genta belum mengenal anak kami," ucap bapak tegas.
"Justru itu pak saya ingin ta'aruf ,karena sejak bertemu Ningsih hati saya mantap inilah jodoh saya."
Bapak berpikir agak lama sebelum berucap sesuatu, menoleh ke aku yang tertunduk tidak bergerak sedikitpun. Rasanya panas dingin tidak stabil.
"Bapak harus menanyakan ke Ningsih dulu nak perihal ini, karena orang tua hanya sebagai jembatan saja. Cuma pesan bapak kalau nak Genta serius jangan pernah membuat anak saya sakit hati atau meneteskan air matanya. Sungguh saya tidak ridho, dia anak gadis kami satu-satunya."
Panjang lebar bapak berbicara, dan terakhir menatap tajam ke arahku.
"Gimana nduk sayang, mas Genta ini ada niat melamar, ta'aruf ke kamu."
"Saya terserah bapak dan ibu, saya nurut bapak dan ibu. Saya yakin itu yang terbaik kalau bapak dan ibu yang memutuskan."
Kali ini tampak ibu yang kurang berkenan dengan kehadiran mas Genta.
"Maaf ya nak Genta, ibu ikut berbicara. Alangkah baiknya nak Genta dengan orang tuanya rembukan istilahnya, atau musyawarah keluarga dulu. Baru bapak dan ibu nak Genta silahturahmi kesini. Karena menurut ibu pernikahan itu bukan sebentar, bukan karena nafsu dan emosi sesaat," ucap ibu bernada tidak menyetujui.
"Iya Bu saya mengerti, saya sudah berbicara via handphone dengan papa beliau tidak keberatan selama saya memilih yang terbaik papa dan mama menyerahkan semua kepada saya."
Dalam hati, please mas jangan senyum. Karena senyuman itu yang membuatku tak bisa memejamkan mata ini.
"Baiklah, kalau memang sudah difikirkan matang-matang lamaran nak Genta sementara ini kami simpan dulu. Bukan berarti bebas membawa anak Gadis kami, karena semua ada aturan agama dan tata kramanya. Kalau sekedar main ke sini silahkan, ke toko buku juga bisa tapi adiknya Ningsih harus ikut menemani. Sekarang sudah hampir larut, nak Genta besok harus kerja kan?istirahat yang cukup biar besok segar."
Ucapan bapak malam itu menutup dialog lamaran singkat mas Genta yang super kilat ke aku.
Sampai mas Genta sudah undur diri, aku masih terpaku di jendela kamar. Rasanya tidak percaya, bahwa aku juga ditakdirkan bahagia. Semoga esok ada keajaiban lagi untukku.
**************
Dan benar adanya, keesokan itu keajaiban berpihak pada Ningsih. Keajaiban apakah itu?