Sudah seminggu berlalu kejadian perkelahian itu. Dia terus memikirkan Arum yang terlihat ketakutan saat itu. Jaka mulai resah. Perbuatannya sudah membuat takut orang lain. Namun, membubarkan gengnya akan menjadi masalah besar baginya. Anggota yang sudah mulai loyal akan berbalik kecewa dan menyerangnya jika dia membubarkan geng yang sudah besar itu tanpa alasan yang jelas.
Sejujurnya Jaka sudah mulai bosan dengan dunia perkelahian itu. Tapi memang, keluar dari lingkaran setan sangatlah sulit. Jaka sudah terlanjur basah berbuat kerusuhan di sana sini. Terlebih anggotanya sudah berkembang pesat.
Malam itu dia merenung seraya memetik gitar miliknya. Memainkan beberapa cord hingga menjadi sebuah nada indah. Dia bernyanyi dengan suara merdunya. Menggetarkan seluruh ruangan rumahnya yang kuno itu.
Jaka mencipta syair baru. Syair tentang hidup.
Hidup
Hidup hanyalah dendangan asa
Menorehkan sejarah untuk jiwa yang hidup.
Akulah salah satunya.
Jiwa yang telah bermain dengan ideku sendiri.
Kini jiwaku menggema dengan nyanyian bahagia.
Tanpa aku tahu titik bahagia apa itu?
Biarkan....saja,aku nikmat dengan nafas ini.
Nafas hidup tanpa kata.
Jaka mulai bingung mengartikan rasanya itu. Rasa bahagia tanpa sebuah alasan dan penjelasan. Masa remajanya perlahan berubah. Dunia penuh gejolak emosi darah muda perkelahian berubah menjadi nyanyian bahagia. Dia terdiam membayangkan sosok Arum yang dikenalnya hampir satu bulan itu.
Tak banyak yang Jaka tahu dari Arum kecuali alamat sekolahnya. Diam-diam jaka mulai merasakan rindunya mengetuk-ngetuk rongga kepalanya. Dia kehilangan cara untuk menyampaikan rindunya. Melayangkan suratpun belum tentu Arum menerima. Jaka memilih diam seribu bahasa. Dia hanya bersenandung dalam hati. Menyanyikan lagu-lagu cinta. Kau tahu bagaimana rasanya rindu. Tak ada rasa semanis rindu.
Saat hanyut dalam lamunannya. Si Akbar datang dengan suara raungan motornya. Dia berjalan terhuyung dengan aroma alkohol menyengat menusuk hidung Jaka. Sesaat jaka berdiri dari kursi teras rumahnya. Dia mencegat Akbar.
"Mas habis mabuk lagi?" tanya Jaka.
"Ach, kau anak kecil. Minggir." Akbar mendorong Jaka.
Jaka terdiam sesaat. Dia hanya memandang Akbar.
"Buu...." teriak Akbar.
Ibunya keluar mendengar suara Akbar.
"Tolong bu, aku lapar. Pengen makan." Akbar memerintah ibunya.
"Kamu mabuk lagi. Ibu kan sudah bilang jangan mabuk-mabukan. Ibu gak suka. Itu bisa membahayakanmu Bar." ibu Indri berujar dengan nada tercekik. Melihat putra pertamanya pulang dalam keadaan tidak normal.
Melihat itu. Jaka iba. Dia yang mengambilkan makan untuk Akbar.
"Aku minta ibu yang ngambilin. Bukan kau bego."
Kalimat akbar melukai hati Jaka. Mata Jaka berubah merah. Amarahnya sudah mulai tersulut.
"Tinggal makan aja repot," balas Jaka.
"Kau nantang aku, hah!" seru Akbar tiba-tiba.
Ibu Indri mencegah Jaka yang ingin menghajar kakaknya.
"Jangan jak. Kamu yang waras harus ngalah."
"Dia keterlaluan bu." Jaka berang.
Akbar memang kakak yang menyebalkan buat Jaka. Entah mengapa Akbar begitu membenci Jaka sejak kecil. Akbar juga sering membuat masalah yang membuat sakit hati orang tuanya. Tak ada yang bisa menegur Akbar. Kalimat ibunya hanya jadi angin lalu di rongga telinga Akbar. Sementara ayahnya selalu sibuk dengan usahanya dan terhitung jarang pulang kerumah.
"Ayo mas. Masuk," Jaka bersabar, mencoba membopong Akbar masuk ke kamar.
"Aku bisa jalan sendiri. Aku gak butuh bantuanmu," seru akbar.
Jaka terdiam. Dia kembali menjauh dari Akbar.
"Hei, kau ibu macam apa. Kalau gak bisa jadi ibu jangan bikin anak. Percuma gak bisa ngerawat." Akbar kembali berceloteh.
Jaka semakin kesal. Mendengar Akbar menghina ibunya.
"Pergi sana. Cari uang yang banyak. Jangan pulang-pulang lagi." tambahnya lagi.
Tak banyak kata. Jaka mendaratkan pukulan mentah ke kepala akbar. Seketika isi kepala akbar terguncang. Emosinya mulai naik pada tingkat maksimal. Akbar yang sejak tadi duduk. Dia berdiri membalas pukulan Jaka.
Ceplak....
Pukulan telak menyasar ke wajah Jaka. Kini luka memar di wajah jaka bertambah lagi.
"Mas. Aku sudah sabar tapi aku paling gak suka kamu hina ibu. Tau...." Jaka mencengkeram kerah Akbar lalu memukulnya bertubi-tubi.
Akbar tersuruk. Darah mengucur di ujung bibirnya. Meski dalam keadaan mabuk dia masih merasakan denyutan luka di wajahnya itu.
Dia mengusap dengan tangannya. Melihat darah mengucur. Kemarahan akbar menjadi-jadi.
Bukkk... tangan akbar melesat ke perut Jaka. Kaki jaka goyan. Dia mundur selangkah akibat pukulan akbar.
Bergegas. Jaka menarik tangan Akbar. Dia mengait lengan tangan kakaknya. Punggung kakaknya di siku dengan kuat hingga dia merasakan sakit dan terjatuh ke lantai.
Ibu indri hanya bisa berteriak histeris melihat pertengkaran kedua putranya. Jaka begitu menyayangi ibunya. Dia akan membela ibunya bahkan jika musuhnya adalah ayah atau kakaknya sendiri. Jaka tidak peduli, yang penting ibunya tidak terluka.
"Ibu sudah banyak berkorban mas. Jangan mas hina-hina ibu lagi. Aku tidak akan diam mendengar itu."
Akbar berdiri.
"Gara-gara kau. Aku kehilangan orang yang paling berarti dalam hidup ku."
Jaka semakin berang mendengar bentakan-bentakan dari mulut Akbar.
"Ayo keluar," Jaka menyeret Akbar dengan mencengkeram kuat kerah baju Akbar.
"Lepas.... " seru Akbar.
Jaka tak peduli. Sampai di pintu keluar. Jaka mendorong Akbar hingga tersuruk di lantai teras rumah.
"Tidur di luar," kata Jaka dingin.
Ibu Indri hanya terdiam membisu menyaksikan perkelahian dua saudara itu. Akbar memang memiliki dendam kesumat dengan jaka dan ibunya. Sampai dia selalu membuat masalah di dalam rumah dan sering bertengkar dengan Jaka.
Sementara Jaka hanya berusaha diam dan tidak merespon kebrutalan kakaknya itu. Jaka akan membalas jika memang sudah di luat batas kesabarannya.
Kini Jaka dan ibunya membiarkan Akbar tidur di luar rumah. Sedangkan Akbar berteriak-teriak histeris terus menghina ibu Indri dan Jaka.
"Hei pelacur kau, anjing semuanya." seru akbar di luar rumah seraya tertawa-tawa sendiri tidak jelas.