Sahabatmu adalah kebutuhan jiwamu yang terpenuhi. Janganlah ada tujuan lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya jiwa . Kahlil Gibran
______
Angka kembali berkutat dengan dunianya. Buku-buku dan semua frasa-frasa indah yang tersusun dan menghiasi setiap dinding kosong di rumahnya. Bahkan di kamar mandipun ada kumpulan kata-kata indah yang tergores di sana.
Tatapan matanya menyorot penuh ke arah sebuah bingkai besar berisi foto sebuah keluarga yang begitu bahagia dan sempurna. Angka mungkin tidak tahu pasti, tapi yang dia tahu sosok mungil dalam pelukan dua orang yang bahagia itu adalah dirinya.
Dirinya saat dia masih begitu mungil dan tidak tahu apa-apa, saat dirinya hanya tahu soal makan dan minum, saat dirinya hanya mengenal sentuhan lembut kedua orangtuanya.
Angka kemudian menghela napas panjang, melirik catatan yang merupakan salah satu kutipan dari Kahlil Gibran , catatan yang tersemat diantara tumpukan uang yang kemarin dibicarakan Pak Andi.
Angka mengulas senyum saat mengingat laki-laki yang berstatus duda anak satu itu, tetangganya yang paling mengerti adalah Pak Andi, tetangga yang selalu membantu. Meskipun, tetangga yang menjadi penghuni kontrakan miliknya juga baik, namun bagi Angka Pak Andi adalah tetangga terbaik yang dia miliki dalam hidupnya. Bahkan meskipun Kakek Hardi juga sering membantunya dan memberinya kue buatan cucu-cucunya.
Kemudian, ingatannya beralih kepada guru baru di sekolahnya, guru konseling yang menggantikan posisi Pak Martha yang kabarnya kecelakaan hebat dan butuh perawatan yang lama. Sandra, nama itu membuat Angka terganggu, meskipun tidak ingat dengan detail, namun Angka merasa terusik dan tidak nyaman dengan nama itu. Seakan-akan Sandra baru saja melakukan dosa besar yang berkaitan dengannya.
Suara ponselnya yang berdering membuat Angka mengalihkan atensi kepada benda mati yang tidak pernah menyala tersebut, bibirnya melengkungkan senyuman tipis saat melihat isi pesan kiriman dari Kiran. Sebuah kutipan dari Sayap-Sayap Patah yang saat ini sedang di baca Kiran.
Kata yang paling indah di bibir umat manusia adalah kata 'Ibu', dan panggilan yang paling indah adalah 'ibuku'. Ini adalah kata yang penuh harapan dan cinta, kata manis dan baik yang keluar dari kedalaman hati
______
"Apa ada makhluk tukang telat di sini?" itu kalimat mengesalkan Ben yang terkejut melihat Kiran sudah duduk anteng di kursinya dengan Sayap-Sayap Patah di pangkuannya. Angka yang melihatnya hanya tersenyum, seperti biasanya. Angka tidak pernah banyak berbicara seperti Kiran atau menggerutu seperti Ben.
"Aku tidak mendengarmu, Ben." Kiran menyahuti kalimat Ben dengan nada ketus membuat Ben mau tidak mau semakin tertawa lebar. Ben memang hobi melihat raut wajah kesal Kiran.
"Kau tidak mendengarku, tapi kau menjawab pernyataanku, bukankah itu menjadi sebuah konversasi, Kiran?" Kiran mendengkus keras-keras mendengar kalimat menyebalkan itu keluar dari mulut Ben,rasanya Kiran ingin merobek-robek mulut Ben yang sebagian besar digunakan untuk menggerutu tersebut.
"Aku inginnya diam, namun setiap huruf yang keluar dari mulutmu selalu membuat kesabaranku habis tak bersisa, coba tanya kepada Angka, sepanas apa ubun-ubunku berbicara dengan penggerutu sepertimu!"
Angka tergelak mendengarnya, konversasi antara Kiran dan Ben memang selalu menghiburnya, menghilangkan sejenak bayang-bayang nama Sandra dalam otaknya. Membuyarkan niatnya mencari tahu siapa Sandra dan kenapa hanya dengan mengingatnya Angka ingin sekali membunuh seseorang.
Tawa itu tidak ada yang mencegahnya, baik Kiran dan Ben yang kemudian memilih ikut tertawa atau murid lain yang menatap Angka dengan alis mengerenyit ada pula yang memilih pergi.
Tertawa itu memang menyenangkan, namun tawa Angka adalah hal yang mengerikan bagi orang-orang di sekelilingnya.
____
Andre tersenyum saat melihat murid kesayangannya mendatanginya di kantor, Angkara adalah murid kesayangannya, aset sekolah yang sangat dia jaga. Senyuman hangat langsung dia tunjukkan saat sempurna Angka duduk di depannya.
"Ada apa memanggil saya?" andre tersenyum kemudian menggelengkan kepalanya pelan.
"Tidak apa-apa, Ka. Saya hanya ingin memberitahu kalau kamu saya tunjuk untuk mengikuti seleksi olimpiade nasional lagi." Alis Angka terangkat, heran. Setahunya, Olimpiade itu hanya diikuti anak kelas 1 dan 2 bukan anak kelas 3 sepertinya.
"Tapi, bukannya seleksi itu hanya bisa diikuti siswa kelas 2 dan 1?
"Kamu masih pantas jadi anak kelas satu, Ka. Sekarang sudah beda aturan lagi, umur yang menjadi patokan dan umur kamu bahkan masih bisa untuk dua tahun mendatang."
"Anda tidak berniat membuat saya tidak lulus sampai dua tahun ke depan kan?" Andre terkekeh keras, sebagai seorang kepala sekolah ini adalah saat menyenangkan. Menghadapi siswanya sendiri tanpa canggung dan bisa tertawa lepas tanpa topeng.
"Sekolah itu mengesalkan, orang-orangnya sombong. Kiran dan Ben akan lulus, Saya tidak mau jika tidak lulus." Andre tersenyum tipis mendengarnya, kemudian menatap netra kembar Angka yang sedang melempar perasaan kesal kepadanya.
"Saya tidak berniat seperti itu, saya hanya ingin membuatmu sering berada di sini dan bebas dari guru konseling baru yang kolot." Angka berdecih mendengarnya, dia tidak suka membahas guru konselingnya yang sekarang, dia lebih suka Pak Martha yang baik dan tidak cerewet, meskipun terkadang membuatnya kehilangan banyak nilai dan membuatnya kesal karena memberi hukuman yang tidak main-main porsinya.
"Apa bapak akan menghukum saya juga, karena mengacaukan ruangan konseling?"
Andre terkekeh kencang, sudut matanya melirik tangan Angka yang terperban kemudian laki-laki yang usianya hampir menginjak kepala empat itu menarik napas panjang.
"Pasti ada alasan kenapa melakukannya, saya tidak ingin tahu tapi kamu pasti memiliki alasan yang tepat kenapa kamu melakukan hal tersebut." Angka memicingkan matanya, mencoba mencari kebohongan atau kesinisan di wajah andre.
"Anda tidak berniat mempermainkan saya, kan?" Andre menggelengkan kepalanya mantap, menatap Angka yang menatapnya penuh selidik.
"Tidak, kenapa saya harus mempermainkan kamu kalau hidup ini adalah sebuah permainan?" Angka tidak menjawab lagi, dia lebih memilih menyandarkan tubuhnya di punggung sofa.
Baik Andre maupun Angka sama-sama diam, matanya saling menatap seolah sedang berbicara.
Hidup memang permainan, bukan?
_Angkara_