Sabtu pagi di 2018.
Aku belum ingin membuka mata, saat tiba-tiba ponselku berdering. Aku meraihnnya dalam kondisi mata masih tertutup. Kuintip layar poselku dan ternyata panggilan dari Reyhan. Aku langsung membuka mata, aneh sekali dia pagi-pagi sudah menghubungiku. Bahkan masih jam 04.15 WIB. Aku takut ada hal yang buruk. Kuangkat segera.
"Halo, ada apa Rey?" kataku.
"Halo Nin. Aku kangen banget sama kamu" jawabnya dari ujung sana.
"Aku juga Rey. Bagaimana keadaan om Heru? apa sudah baikan?" kataku lagi.
"Ayah sudah baikan, sekarang sudah bisa di rawat di rumah" katanya lagi
"Syukurlah kalau begitu. Kamu sedang apa? Tumben jam segini udah bangun?" kataku.
"Sebenarnya aku ingin bilang sesuatu sama kamu" katanya agak ragu.
"Ada apa? kamu nggak papa kan? Kamu sehat kan?" kataku mulai khawatir.
"Aku baik-baik saja. Tapi maaf..." jawabnya menggantung.
"Maaf kenapa?" aku sudah mulai resah.
"Sepertinya aku nggak akan balik ke malang lagi" katanya lagi, dan sepertinya dia menangis. Terdengar dari suaranya yang berubah serak.
"Kamu kenapa sih? Kok tiba-tiba gini? Kenapa kamu nggak bisa balik ke sini lagi? Kuliahmu gimana?" berondongku sambil menahan tangis.
"Maafkan aku Nin. Ini sudah keputusan orang tuaku. Aku anak satu-satunya, dan aku tidak diijinkan jauh dari mereka" jawabnya dengan nada putus asa.
"Terus kita gimana?" kataku pasrah.
"Aku sayang kamu Nin, aku sangat cinta sama kamu. Tapi, Maaf. Aku nggak ingin menyakiti kamu. Maaf Nin, mungkin hubungan kita cukup sampai di sini" katanya diselingi isak tangis.
"Jadi, hanya sebatas ini perjuanganmu? Aku nggak masalah Rey, kita berhubungan jarak jauh. Kita bisa ketemu saat libur kuliah. Kenapa harus berakhir" jawabku, kini aku sudah tak bisa lagi menahan tangis.
"Sebenarnya aku nggak ingin kita pisah. Tapi ini yang terbaik buat kita Nin. Hubungan jarak jauh itu menyesakkan, aku nggak ingin kamu tersiksa. Sekarang kamu bebas, mari kita jalani kehidupan kita masing-masing. Aku akan selalu berdoa agar kamu bahagia, jangan pernah lagi menghubungiku. Karena itu menyakitkan" katanya.
"Rey, kita harus ketemu. Aku nggak bisa kayak gini. Kita harus ketemu dan kamu jelasin semuanya" kataku yang sudah tak bisa lagi mencerna apapun yang aku dengar dari seberang sana.
"Nin, maafkan aku. Aku udah nggak bisa lagi menemuimu. Kamu boleh membenciku, kamu boleh menyumpahiku sepuasmu. Tapi kamu harus janji, kamu harus bahagia" katanya lagi.
Aku sudah tak bisa berkata apapun lagi. Aku hanya menangis sejadi-jadinya.
"Makasih Nin, atas semua kenangan yang pernah kamu bagi. Aku sangat bahagia bersamamu. Semoga kamu selalu bahagia. Aku minta maaf, aku sayang sama kamu. Tapi aku harus menjadi jahat, maafkan aku" katanya sebelum menutup panggilan.
Pagi yang kelabu, saat fajar mulai menyapa. Entah mengapa aku marah. Ia seperti mengejekku yang kini terluka. Sudah banyak kenanganku bersama Reyhan, dia sosok lelaki yang sangat mengerti aku. Dia baik, perhatian dan dewasa. Tapi dalam hitungan menit, dia berubah menjadi jahat. Sekarang aku tak tau, aku harus meratapi kehilangan atau aku harus membenci dan melupakannya. Dia tak pernah sekalipun menyakitiku, apa aku harus membencinya?. Sungguh, hatiku tak bisa terima. Hatiku tak bisa menyebut dia orang jahat.
"Reyhan... kamu bukan orang jahat, Kembalilah, aku ingin memelukmu sekarang" kataku sambil menatap mentari yang datang bersamaan dengan hujan deras di mataku.