“Mengawasi Pajang tentu mempunyai arti yang berbeda ketika Ki Rangga berbicara dengan orang yang berbeda,” kata Ki Tumenggung Suradilaga seraya menyandarkan punggungnya. Kemudian ia berkata lagi,”Aku tidak menyangka jika berita itu justru datang lebih dahulu daripada kehadiranku beberapa waktu yang lalu. Ki Rangga, bagaimana kau jelaskan pada Kanjeng Adipati tentang pengawasan yang dilakukan sekelompok orang? Sementara kau belum dapat mengenali dengan jelas orang-orang yang kau yakini sedang bekerja di balik bayang-bayang.”
“Aku belum dapat mengatakan apapun pada Adipati Hadiwijaya, Ki Tumenggung.”
“Lalu bagaimana kau dapat mengetahui atau mempunyai dugaan tentang pekerjaan yang dilakukan sekelompok orang?” pandang mata Ki Tumenggung Suradilaga lekat menatap wajah Ki Rangga Sambaga.
“Ki Tumenggung,” jawab Ki Rangga sesaat setelah ia mengendapkan perasaannya,”tentu saja kita dapat mempunyai dugaan apabila kita telah mengetahui rencana Sultan Trenggana untuk menyerang daerah timur.”
“Jelaskan!”
“Tidak menutup kemungkinan apabila rencana itu benar-benar dijalankan, maka Pajang dan Demak akan mengalami kekurangan prajurit. Sehingga mungkin saja keadaan itu dapat dijadikan celah untuk menguasai salah satu tempat yang ditinggalkan oleh pemimpin tertinggi di kedua daerah itu.”
Ki Tumenggung Suradilaga tampak berpikir keras dengan dahi berkerut. Ia dapat menerima penjelasan kawannya dari Pajang karena sebenarnya memang Adipati Hadiwijaya akan meninggalkan Pajang untuk beberapa waktu. Ia bangkit berdiri dan berkata,”Dan kau adalah orang yang akan menggantikan Kanjeng Adipati di Pajang.” Ki Tumenggung diam sejenak dan mengangkat wajahnya menghadap ke langit. Katanya,”Tentu akan menjadi tanggung jawab yang besar karena Pajang dapat direbut siapapun yang mampu melihat kesempatan yang akan segera terjadi.”
“Itu diluar kehendakku, Ki Tumenggung,” kata Ki Rangga. Dan keduanya terdiam.
Lelaki muda itu berjalan dengan langkah lebar mencapai padepokan tempat Ki Buyut Mimbasara membimbing Jaka Wening. Sorot mata yang memantulkan ketegasan tidak mampu menyamarkan rasa pedih yang tersimpan di dalam dadanya. Rahang lelaki muda itu sedikit mengeras ketika kakinya hampir menapak masuk halaman padepokan. Sejenak ia berhenti melangkahkan kakinya lalu perlahan ia membuka pintu regol padepokan.
“Kakek!” seru lelaki muda itu memanggil Ki Buyut Mimbasara. Sesaat Ki Buyut melihat ke arahnya kemudian berkata,”Jaka Wening, tetap lanjutkan apa yang kakek ajarkan pagi ini. Aku akan temui pamanmu dan kau lanjutkan latihan hari ini sesuai petunjuk kakek.”
Jaka Wening menganggukkan kepala dan berkata,”Baik, Ki Buyut.”
Ki Buyut Mimbasara berjalan menghampiri lelaki muda yang berdiri beberapa belas langkah dari Jaka Wening.
“Angger Arya Penangsang, aku tidak menyangka jika kau akhirnya datang mengunjungi padepokan yang didirikan oleh salah satu anak Prabu Brawijaya,” Ki Buyut mengulurkan tangan menyambut Arya Penangsang.
“Memang pada hari ini aku kira tidak ada kesibukan di sekitar Adimas Hadiwijaya,” ia berkata lalu mengikuti Ki Buyut Mimbasara yang mengajaknya berbincang di bawah pohon ketapang. Arya Penangsang kemudian berkata lagi,”Ki Buyut ternyata mempunyai cita rasa tinggi dalam menata padepokan. Aku bisa melihatnya dari bangunan dan taman yang tertata rapi dan sepertinya lingkungan ini tidak seperti sebuah padepokan.”
“Lalu seperti apa?” bertanya Ki Buyut dengan mengembangkan senyum.
“Seperti istana raja,” tawa kecil Arya Penangsang menutup kalimat pendek yang ia ucapkan. Lalu ia bertanya,”Apakah kakek masih menjadikan cambuk sebagai senjata utama di padepokan?”
“Benar, Ngger. Pada mulanya cambuk bukanlah senjata utama yang harus dikuasai oleh setiap orang yang belajar di Padepokan Orang Bercambuk. Akan tetapi garis penerus yang kedua akhirnya mengembangkan pengetahuan dan inilah yang kau saksikan hari ini bahwa cambuk telah menjadi ciri khusus padepokan,” jawab Ki Buyut Mimbasara.
“Ya, aku dapat melihatnya,” berkata Arya Penangsang. Kemudian untuk beberapa lama ia berdiam diri. Dalam sekejap Ki Buyut Mimbasara telah mampu menangkap kegelisahan yang menyusup di relung jiwa Arya Penangsang.
“Peristiwa apakah yang terjadi di kraton Pajang hingga aku dapat merasakan hatimu yang tidak menentu?” Ki Buyut Mimbasara berdiri tegak menghadap Arya Penangsang dengan pandang mata menyelidik.
“Aku mendengar dari Adimas Adipati jika Sultan Trenggana berencana untuk menyerang wilayah timur. Beberapa waktu yang lalu aku adalah orang ketiga ketika Adimas Adipati berbicara dengan Ki Tumenggung Suradilaga,” jawab Arya Penangsang beberapa lama kemudian. Terdengar olehnya Ki Buyut Mimbasara menarik nafas panjang. Lalu ia bertanya,”Apakah Ki Buyut belum mendengar kabar berita itu?”
“Aku mengetahui kehadiran utusan dari Demak ketika Keris Sabuk Inten sempat dikeluarkan dari selongsongnya oleh Wayah Adipati. Maka dengan begitu, Angger Sultan telah diwakili sepenuhnya oleh Ki Tumenggung Suradilaga. Dan tentu saja aku telah mendengar kabar berita itu. Namun aku belum sempat memastikan berita itu pada Wayah Adipati. Akan tetapi sebagai seorang raja, aku kira Angger Sultan Trenggana telah menimbang rencana itu dengan masak,” jawab Ki Buyut.
“Dan yang pasti adalah aku tidak dapat menilai keputusan paman mengenai rencana itu, Ki Buyut. Namun aku menyayangkan jika pada akhirnya pertumpahan darah kembali terjadi,” mata Arya Penangsang menatap jauh menerawang.
“Kita semua tentu berharap kekerasan tidak akan pernah terjadi, meskipun kita juga tahu jika harapan tidak selalu dapat sejalan dengan perencanaan, Ngger,” Ki Buyut bergeser setapak. Kini mereka berdua berdiri menghadap sebuah gunung yang menjulang tinggi jauh di depan mereka. Ia bertanya kemudian,”Kau telah cukup lama berada di Pajang. Kapan kau berencana kembali pulang?”
“Untuk itulah aku berada di sini, Kakek. Selain berpamit pulang, aku juga ingin menyampaikan apa yang telah aku dengar dari Adipati Hadiwijaya. Rencana Paman Trenggana sudah barang tentu akan membawa perubahan di Jipang, maka dari itu aku ingin memastikan jika Jipang tidak mengalami goncangan yang mungkin disebabkan oleh rencana besar Paman Trenggana,” ia berkata seraya menoleh ke Jaka Wening yang masih berlatih di belakang mereka. Lalu ia berdesis,”Adimas Hadiwijaya sungguh beruntung mempunyai seorang putra seperti Jaka Wening.”
Ki Buyut Mimbasara menatap Arya Penangsang dengan dahi berkerut. Kemudian ia manggut-manggut dan berkata,”Aku harap Jaka Wening akan mampu memenuhi harapanmu.”
“Semoga, Ki Buyut,” Arya Penangsang menutup pembicaraan dan melangkah keluar padepokan.
“Berhati-hatilah, Ngger.”
Arya Penangsang membalikkan badan lalu membungkuk hormat sekali lagi pada Ki Buyut Mimbasara.
Jaka Wening menatap punggung Arya Penangsang yang berjalan menjauhi padepokan dengan beberapa pertanyaan yang melintas di benaknya. Ia berjalan menghampiri Ki Buyut Mimbasara yang memanggilnya. Sejenak kemudian ia telah berdiri sebelah menyebelah dengan Ki Buyut.
“Aku tidak pernah mengharapkan dirimu menjadi seseorang seperti pamanmu atau menjadi seperti ayahmu. Aku ingin kau menjadi seseorang yang kau kehendaki,” berkata Ki Buyut kemudian. Dahi Jaka Wening sedikit berkerut mencoba memahami kata-kata gurunya. Ia bertanya,”Apakah Paman Arya Penangsang akan kembali ke Jipang?”
“Ia akan bertolak hari ini.”
Jaka Wening menundukkan wajahnya, dan tak lama kemudian ia memegang lengan kakeknya dan berkata,”Aku ingin berjalan di kaki gunung itu.” Ki Buyut Mimbasara mengelus kepala Jaka Wening dengan lembut lalu katanya,”Kita akan berjalan kaki menuju kaki gunung. Namun sebelum itu terjadi, aku akan berbicara dengan ayahmu dan beberapa orang lainnya.”
“Apakah kita akan mengajak serta Kakang Sutawijaya?”
“Tidak, Ngger. Hanya kita berdua yang akan melakukan perjalanan ini.”
“Tentu akan menyenangkan apabila Kakang Sutawijaya dapat turut serta, Ki Buyut.”
“Aku dapat mengerti keinginanmu. Akan tetapi kakangmu itu tentu terikat dengan pelajaran dan latihan yang diberikan oleh ayahnya,” berkata Ki Buyut Mimbasara kemudian. Jaka Wening menganggukkan kepala lalu berjalan di sisi Ki Buyut Mimbasara memasuki bangunan utama padepokan.
Sebuah bayangan berkelebat sangat cepat keluar dari padepokan dan berlari sangat kencang seperti terbang di atas rumput menuju pusat kota Pajang. Kesunyian menyelimuti kota Pajang saat bayangan itu meluncur cepat melintasi dinding tembok pembatas sebuah rumah yang cukup besar. Tidak ada nafas yang terengah meskipun telah menempuh perjalanan cukup jauh dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Dengan wajah berbalut kain hitam dan menyisakan sepasang mata, bayangan itu menatap tajam bagian depan rumah yang diterangi dua obor berukuran kecil. Ia membuka lebar kedua telapak tangannya lalu menangkupkan keduanya di depan ulu hatinya.
nice story broh. ditunggu kelanjutannya :)
Comment on chapter Penaklukan Panarukan 1