Pangeran Benawa berdiri dengan kaki bergetar. Kaki dan lengannya tampak mengeluarkan darah karena luka menggores kulitnya saat jatuh terguling diatas tanah. Tetapi sorot mata Pangeran Benawa semakin berkilat-kilat penuh amarah. Ia mengerling pada Kang Tanur yang agaknya mendapat perawatan dari beberapa cantrik yang masih dapat menggeser tubuh mendekatinya.
“Kau tidak akan pernah dapat membawaku keluar dari padepokan ini!” desis Pangeran Benawa.
“Kau memang bocah pemberani, anak Mas Karebet!” kata Kiai Rontek sambil melangkah maju. Ia berhenti dalam jarak yang sangat dekat. Kiai Rontek menatap bintang-bintang yang melekat erat pada dinding langit, udara dingin yang mengalir dari lereng Merapi membuat suasana padepokan seperti tidak terjadi sesuatu apapun.
“Biar aku selesaikan, Kiai!” kata Ki Gurasan dengan tatap mata seolah-olah ingin melahap Pangeran Benawa. Tetapi sebelum sempurna ia menyelesaikan kalimatnya, Pangeran Benawa telah datang menggebrak sepenuh tenaga. Tongkat yang seperti lekat dalam genggamannya datang menyengat Ki Gurasan dari segala penjuru arah. Pangeran Benawa yang telah mempelajari dasar-dasar ilmu tingkat tinggi dari Ki Buyut Mimbasara benar-benar gesit dan cakap dalam menata segala olah geraknya. Tubuhnya yang kecil sama sekali tidak menjadi rintangan baginya untuk memaksa Ki Gurasan terhanyut dalam pusaran gerak ilmu Jendra Bhirawa. Bahwa lawan Pangeran Benawa sebenarnya adalah seorang yang disegani di tlatah Demak hingga Blambangan. Sehingga dalam pada itu, Ki Gurasan dengan cepat membuat kedudukan menjadi seimbang. Meski ia telah meningkatkan kemampuannya untuk mengambil alih keseimbangan, namun agaknya ia masih membutuhkan waktu untuk benar-benar dapat melumpuhkan Pangeran Benawa.
Kiai Rontek terperanjat ketika melihat Pangeran Benawa melakukan gerakan-gerakan yang sebenarnya sangat sulit dikuasai oleh anak seusianya. Ia terdiam sesaat dan tergores kekaguman dalam hatinya betapa Pangeran Benawa mampu membuat selisih pengalamannya dengan Ki Gurasan menjadi tidak terlihat. Sejenak kemudian kepalanya terangguk lalu ia berkata pada Ki Gurasan,”Kau terlalu bodoh dan menganggap ringan pekerjaan ini. Sekarang, kau hadapi Kebo Kenanga!”
Usai mengatupkan bibirnya, Kiai Rontek meloncat lalu menyambar tubuh Pangeran Benawa yang tiba-tiba terkulai lemas ketika Kiai Rontek menggerakkan tangannya. Sebenarnya pada saat itu, Kiai Rontek melepaskan ilmunya untuk melumpuhkan simpul syaraf Pangeran Benawa dari tanpa menyentuhnya. Bayangan tubuh Kiai Rontek yang memondong tubuh Pangeran Benawa berkelebat sangat cepat menembus tirai malam sebelum Ki Gurasan dan yang lain mengedipkan mata.
Bersamaan dengan itu, Ki Gurasan pun melesat ke arah yang berlawanan dengan Kiai Rontek. Sementara kawanan Ki Gurasan pun secepatnya berusaha melarikan diri keluar dari padepokan melalui jalur yang telah mereka siapkan sebelumnya.
Sekejap kemudian mereka sadar bahwa Pangeran Benawa telah lenyap dari pandang mata mereka. Para cantrik padepokan saling bertukar pandang kemudian mereka berpaling pada Kang Tanur yang membujur lemas tanpa daya. Pada saat itu, mereka seperti orang yang kehilangan akal. Mereka ingin berteriak keras-keras tetapi kekuatan mereka seolah terhisap dengan kepergian Pangeran Benawa. Untuk waktu yang sedikit lama, mereka tidak mampu memikirkan tindakan apapun.
“Siapa yang kalian hadapi?” tiba-tiba suara Ki Getas Pendawa menyentak mereka dari lamunan. Para cantrik itu merasa seperti disengat oleh ular paling berbisa saat suara Ki Getas Pendawa menyusup jauh ke dalam hati dan menggugah perasaan untuk kembali menjadi sadar.
Bersamaan dengan itu, terdengar pula suara yang sangat mereka kenal baik. Ki Buyut Mimbasara telah duduk merendah di sebelah Kang Tanur,”Lukamu cukup berat. Kau harus mendapat perawatan yang cukup,” berkata Ki Buyut. Kedua tangan Ki Buyut bergerak cepat menyentuh simpul-simpul syaraf dan urat darah untuk meringankan luka-luka Kang Tanur. Sejenak kemudian ia berdiri dan menebar mata memandang sekelilingnya.
“Seseorang yang bernama Kiai Rontek, Ki Buyut,” terbata-bata Kang Tanur mencoba memberi keterangan pada gurunya. Kang Tanur berusaha memberi petunjuk arah dengan tangan yang nyaris tidak dapat digerakkan. Ia berkata lagi setelah mengatur nafasnya,”Maafkan aku, Ki Buyut.”
“Berusahalah untuk tenang dan jangan pikirkan Angger Pangeran,” sahut Ki Buyut,”Ini bukan kesalahanmu dan juga bukan kesalahan para cantrik. Tidak ada yang patut disalahkan dalam peristiwa ini.” Kata-kata yang diucapkan Ki Buyut Mimbasara memang menenangkan hati para cantrik, meskipun mereka yakin bahwa Ki Buyut tidak akan menimpakan kesalahan pada mereka tetapi mereka mengerti bahwa Ki Buyut mempunyai wawasan yang melampaui kedalaman samudera.
“Aku mendengar suara Angger Jaka Wening dalam perjalanan menuju kemari, ” ia berhenti sejenak, lalu,”sepertinya aku datang terlambat.” Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia terlihat tegar menerima kenyataan bahwa Pangeran Benawa tidak terlihat berada disekitarnya, namun sebenarnya kecemasan mendera dalam hatinya. Ki Buyut berpaling pada Ki Getas Pendawa yang berdiri mematung menghadap arah kepergian Kiai Rontek. Beberapa lama Ki Getas Pendawa memusatkan perhatian, lalu ia menundukkan wajah kemudian berkata,”Siapapun orang yang menculik Angger Jaka Wening, sudah barang tentu ia mempunyai kepandaian sangat tinggi.”
Ki Getas Pendawa memutar tubuh lalu bergeser menghampiri Ki Buyut Mimbasara. Katanya lirih,”Kakang, aku kira tidak ada lagi yang dapat kita lakukan pada malam ini.”
Ki Buyut menatap lekat wajah Ki Getas Pendawa, ia mengangguk kemudian,”Derap kakinya sudah tidak terdengar lagi. Dan kita harus katakan keadaan Angger Pangeran pada ayahnya sedangkan kita belum mengetahui siapa sebenarnya orang yang merusak tatanan itu.”
“Dan saat ini adalah masa yang sulit bagi kita berdua untuk membicarakan peristiwa di padepokan kepada Angger Adipati,” kata Ki Getas Pendawa. Sorot mata Ki Getas Pendawa lekat menatap wajah Ki Buyut seolah sedang menguatkan perasaannya yang terguncang. Dalam pada itu, Ki Getas memahami betapa sulit bagi Ki Buyut berkata sejujurnya pada Adipati Hadiwijaya.
Mereka berdua lantas memberi pertolongan pada para cantrik yang mengalami guncangan yang tidak begitu berat, setelahnya cantrik-cantrik itu perlahan-lahan memindahkan teman-temannya yang terluka parah ada bagian dalam ke bangunan induk padepokan. Sementara itu Kang Tanur mendapat perawatan khusus dari Ki Buyut Mimbasara karena ia mengalami benturan yang telah menjadi sebab luka parah yang pada pembuluh darahnya. Di bagian lain, Ki Getas Pendawa dengan cekatan meracik akar dan daun untuk mengobati luka dari bagian dalam. Maka kesibukan pun memenuhi bangunan induk. Para cantrik yang tidak begitu menderita luka parah bahu membahu memberi pertolongan pada yang lain dengan bimbingan dua sesepuh Pajang yang sangat disegani di seluruh tlatah Demak.
Setelah usai melakukan kewajiban mereka, Ki Buyut duduk bersebelahan dengan Kk Getas Pandawa sambil bersandar pada sebuah dinding papan kayu dari sebuah bangunan di bagian utara padepokan. Pandang mata Ki Getas Pendawa menoleh kembali ke arah kepergian Kiai Rontek dan sepertinya ia mempunyai dugaan yang sama dengan Ki Buyut.
Suara Ki Buyut menyeruak membelah keheningan ketika fajar belum merekah. “Sebenarnya pekerjaan ini sangatlah sulit. Meskipun terlihat hanya seperti menculik seorang anak kecil namun mereka melakukannya di dalam padepokan.”
“Kita masih harus menunggu Angger Tanur untuk penjelasan lebih lanjut,” kata Ki Getas Pendawa.
“Kiai Rontek,” desis lirih Ki Buyut mengulang nama yang disebut oleh Kang Tanur.
“Aku belum pernah mendengar nama itu,” sahut Ki Getas Pendawa. Meskipun ia berkata seperti itu, Ki Getas Pendaw masih berusaha keras mengingat orang-orang yang memiliki kecepatan laksana angin di wilayah Demak.
“Kita sebenarnya juga mempunyai kesempatan untuk menangkap orang yang menuju jurusan yang berbeda,” kata Ki Buyut kemudian,”Tetapi kita mempunyai kewajiban yang sangat berat.”
“Benar, Kakang,” Ki Getas Pendawa menarik nafas panjang. Lalu ia melanjutkan,”Nyawa beberapa cantrik mungkin tidak akan tertolong apabila kita berusaha menggali keterangan dari siapapun yang kita tangkap. Sementara mereka juga mempunyai pilihan lain dengan memberi penjelasan yang sebenarnya tidak berguna bagi keselamatan Angger Pangeran.”
Ki Buyut menatap jauh menembus kabut pagi yang tipis. Ia mengenang kembali kehadiran Pangeran Benawa dalam kehidupannya. Dan terasa olehnya bahwa Pangeran Benawa telah menjadi tumpuan untuk mewujudkan harapannya di masa mendatang. Ia berkata lirih,”Seorang anak yang mempunyai jalan panjang untuk menjadi besar.”
Tetapi Ki Buyut Mimbasara tidak ingin terlarut dalam kegelisahan yang berusaha keras untuk menguasai perasaannya dan mengguncang jantungnya. Kemudian ia berkata,”Hanya beberapa orang saja yang memiliki kecepatan seperti angin. Kita dapat mencari tahu mengenai hal itu, tetapi aku kira sebenarnya penculikan Angger Pangeran mempunyai tujuan yang lebih utama.”
“Aku pun mempunyai pemikiran bahwa Angger Jaka Wening tidak akan dibunuh oleh orang yang menculiknya,” kata Ki Getas Pendawa.
Dengan wajah yang terlihat tenang dan sorot mata yang lembut, Ki Buyut berkata,” Hilangnya Angger Pangeran mungkin saja mempunyai hubungan dengan Angger Adipati yang akan segera mengganti untuk sementara tugas Raden Trenggana.”
“Pertimbangan dan perhitungan matang seperti itu mungkin telah direncanakan jauh hari, Kakang,” Ki Getas Pendawa menanggapi.
“Apakah kita akan bicarakan terlebih dahulu dengan Paman Parikesit?” bertanya Ki Buyut.
“Apakah kita tidak akan tertinggal oleh Angger Adipati?” Ki Getas Pendawa bertanya balik.
nice story broh. ditunggu kelanjutannya :)
Comment on chapter Penaklukan Panarukan 1