12 Januari 2013, 15.30 WIB
“Bunda, ayo ikut!” paksaku sore itu.
“Tidak Adinda. Kamu pergilah bersama ayah” bunda enggan untuk pergi.
“Tetapi ini hari istimewa bunda” ak mulai menggerutu.
“Janganlah kamu bermasam muka Adinda, tidak cantik. Bunda akan menyusul setelah pekerjaan ini selesai.”
Aku tidak mengindahkan lagi perkataan bunda, saat itu juga aku berlari ke halaman rumah untuk menghampiri ayah yang sudah lama menunggu. Hari ini aku memakai jump suit merah muda yang sangat lucu. Baru saja kemarin dibelikan oleh ayah.
Hujan mengguyur kota sore ini. Riuh air dibalik jendela cukup menghibur hati ku yang tengah sendu. Mungkin langit juga sedang bersedih. Jangan-jangan dia juga sedang berulang tahun dan bernasib sama sepertiku?. Hanya Tuhan yang tahu jawabnya. Sepanjang perjalanan aku hanya menekuk wajah, sesekali menatap kosong kearah jalanan yang dipenuhi jas hujan berwarna warni. Bibirku bungkam, sudah tergembok. Mungkin kehadiran bunda disisi ku adalah kuncinya.
Tiba-tiba tangan ayah meraih pundak kiri ku lalu menarik kearah badannya. Ia merangkulku dengan penuh kehangatan. Seakan mengerti apa yang putrinya rasakan saat ini. Ayah mengelus kepala ku tanpa sepatah kata, sementara itu aku terus bersender dipundaknya. Emosi yang semula meluap-luap dan rasa kecewa yang menguasai diri perlahan sirna. Barulah aku tersadar apakah ak pantas melakukan semua ini?. Hati dan pikiran mulai bergejolak mengerluarkan pertanyaan-pertanyaan yang tak mungkin bisa ku jawab seorang diri.
“Ayah, kenapa bunda jahat?” aku membuka pembicaraan dan kembali duduk seperti semula.
“Bunda tidak jahat, sayang” menatapku sambil tersenyum, aku tahu ia sedang berusaha menenangkan diriku.
“Bunda jahat” aku bersikukuh.
“Ayah yang jahat, bukan bunda.”
“Kenapa begitu? Ayah menemani aku hari ini seperti tangal 12 tahun-tahun lalu.”
“Ayah jahat membiarkan istri ayah, bunda Adinda bekerja terlalu keras. Ini semua gara-gara ayah.”
Aku hanya bisa terdiam mendengar perkataan itu. Tak ada kemampuan untuk membahasnya. Bunda memang bekerja keras beberapa bulan terakhir, bahkan hari ini. Dihari ulang tahunku. Ayah diphk dari pekerjaannya, maka dari itu sekarang bunda menjadi tulang punggung keluarga. Sebenarnya aku ingin sekali bisa membantu meringankan beban keluarga ini, dengan bekerja paruh waktu. Namun, aku tak pernah mendapat izin untuk bekerja. Tugasmu hanya belajar, itulah perkataan ayah dan bunda acap kali aku meminta izin untuk bekerja.
“Asyik! Kita telah sampai” suasana hati ku tiba tiba saja berubah girang ketika tiba ditempat ini.
“Tuan putri ayah tidak sedih lagi?.”
“Tidak ayah, tuan putri ayah sekarang senang.”
Setiap tanggal 12 Januari menjadi agenda wajib untuk datang kesini. Tempatnya sederhana, namun menenangkan. Berjarak seikitar 4 km dari pusat kota. Menu disini kebanyakan menyediakan makanan rumahan, terletak di alam terbuka dipinggir sungai dalam kota. Setelah memesan makanan, aku masih menunggu kehadiran bunda disini.
“Adinda, ayah punya sesuatu untukmu. Tetapi bukanya dirumah ya?” Ayah mengeluarkan kotak kecil sudah terbungkus rapih dengan kertas kado.
“Wah!!! Ini apa ayah? Baiklah Adinda akan buka dirumah” Betapa riangnya aku malam itu, mendapat tambahan hadiah dari laki-laki paling aku sayang.
“Din, ayah ke wc sebentar ya.”
“Baik ayah.”
Namun ayah tak kunjung kembali. Ponsel miliknya masih dalam genggaman tangan ini. Kotak kecil yang baru ia berikan tergeletak diatas meja. Hingga akhirnya bunda datang dan memeluk erat gadis kecilnya yang sedang berulang tahun ini. Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi, malam itu aku pulang dengan perasaan yang tak bisa ku jelaskan.