Vino pikir tak ada yang lebih buruk daripada tewasnya para petugas keamanan dan hilangnya guru. Ternyata, hal buruk yang sebenarnya belum ia saksikan. Vino terjatuh-jatuh saat memasuki lorong kamar siswa kelas dua belas. Ada gas yang terus keluar dari pendingin udara. Baunya busuk, membuat kepalanya pening.
Sial, kamar Zen ada di ujung lorong dan ia harus terus berjalan. Berlari kalau bisa, tapi sayangnya kepalanya terlalu sakit dan kakinya melemas.
Vino memukul-mukul kepalanya, menitahkan otaknya untuk tetap sadar. Pandangannya sudah tertutup kabut putih dan ia jatuh untuk kesekian kalinya. Masa bodoh, Vino sebenarnya sadar gas yang masuk ke dalam paru-parunya beracun. Tapi, seperti yang diteriakan hatinya, masa bodoh. Ia ingin tahu keadaan Zen dan gas itu tentu tak bisa menghalanginya.
Kamar Zen terbuka lebar.
Vino sempat bersyukur karena ia tak perlu mendobraknya. Terakhir, untuk masuk ke sana ia membutuhkan bantuan Aldi untuk meminjamkan kartu kamarnya.
“Ze—” Vino memegang leher, ia tak bisa bicara. Kering sekaligus pahit terasa bercampur di tenggorokan dan lidahnya.
Tangan Vino meraba-raba tembok, mencari saklar lampu. Pandangannya buram, keadaan kamar yang remang membuat semuanya tambah buruk. Saat lampu menyala, Vino tak melihat kebeadaan Zen. Hanya Aldi yang meringkuk di bawah tempat tidur. Diam tak bergerak.
Vino hampir yakin semua penghuni asrama tak sadarkan diri karena gas beracun yang juga ia hirup. Tangannya bergetar, ia sudah kehabisan tenaga, ia juga sudah tak bisa berpikir jernih.
Di tengah keputusasaan itu, ia menyeret Aldi ke luar gedung, membuat tubuh teman seangkatannya itu membiru di beberapa bagian. Terutama paha dan betis karena beberapa kali menubruk barang. Vino akan meminta maaf nanti, sekarang yang terpenting adalah ia dan Aldi menjauh dari gas beracun itu.
“Nocil!” Vino jelas tahu satu-satunya orang yang memanggilnya Nocil, walaupun pandangan Vino sudah sepenuhnya berubah jadi asap-asap putih.
Haya meraih tangannya, sedangkan Sena menggotong Aldi keluar gedung.
Haya bicara sesuatu yang tak bisa Vino dengar. Sena juga menimpalinya. Masa bodoh dengan semua itu. Hanya satu hal yang penting bagi Vino. Zen tidak ada di kamarnya.
-
Vino terbatuk lalu mengumpat. Semua kata kotor telah keluar dari mulutnya. Vino juga menonjok pohon berulang kali.
“Sudahlah, Cil, mau gimana lagi?” Haya berbisik, ia takut para penjahat mendengarnya.
Dada Vino naik turun, “Aku sudah tahu, Hay, dan aku nggak bisa melakukan apapun!”
“Cil, jangan keras-keras, orang-orang jahat itu masih disini!” Haya sibuk melirik ke segala arah, memastikan bahwa yang berada di taman belakang hanya mereka berempat. Bersembunyi dibalik ilalang yang sudah meninggi.
“Iya, Vin, ssst!” Aldi ikut memperingatkan Vino. Setelah sadar dan sempat linglung, Aldi akhirnya bersuara.
Tiga orang lainnya langsung memberi tatapan berarti pada Aldi. Tatapan tolong-beritahu-apa-yang-terjadi.
“Ya… Ya aku jelasin. Sabar,” Aldi bersandar pada tembok berlumut. Ia berdeham lalu menarik nafas panjang, “Aku nggak tahu apa-apa, aku cuma dengar orang masuk ke kamarku. Sepertinya orang itu punya kartu, jadi kupikir dia guru. Aku sempat ngintip, orang itu menempelkan sesuatu ke leher Zen. Lalu dia pergi,”
“Terus?” Vino langsung menyela saat Aldi menarik nafas.
“Terus, selang beberapa menit, ada orang lain yang coba masuk. Aku tahu soalnya aku nggak tidur lagi dan aku dengar ada suara sepatu. Aku panik, jadi aku langsung sembunyi di bawah ranjang. Aku nggak lihat apa-apa dan nggak tahu apa-apa. Tiba-tiba aku bangun disini.”
Itu nggak membantu sama sekali, Haya menahan diri untuk tidak mengucapkan kalimat itu. Intinya adalah Zen dibawa pergi oleh seseorang dan Aldi melewatkan kejadian penting itu. Satu hal yang cukup pasti adalah penculik Zen sama dengan penyebar gas beracun.
Matahari mulai tinggi, mereka tak bisa terus bersembunyi diantara ilalang. Mereka saling diam, memikirkan jalan keluar.
“Kayaknya, kita harus periksa lagi asrama,” Sena bicara pelan, segan pada tiga seniornya itu.
“Nggak. Kita nggak akan kesana kecuali kita tahu disana aman,” Vino menolak mentah-mentah.
“Terus, sekarang kita harus bagaimana?” Haya yang sudah habis akal sebenarnya setuju dengan usul Sena. Memeriksa asrama, membawa siapapun yang masih sadar, menjelaskan kejadian, lalu bersama-sama mencari jalan keluar.
“Kalian berdua,” Vino menunjuk Sena dan Haya, “Tunggu disini. Aku sama Aldi bakal keliling sedikit,”
“Apa?” Aldi membelalak, ia hampir bangkit dari duduknya.
“Sena cukup baik untuk ngelindungin Haya, aku dan kamu bisa periksa keadaan.”
“Aku nggak mau! Itu bahaya—”
“Cil itu bahaya, sumpah!” Haya langsung menyambar. Bahu Vino diremas kemudian diputar, memaksanya untuk menoleh pada Haya.
“Atau kita bisa ketahuan disini, kemudian digiring ke suatu tempat?” Vino serius. Lebih serius dari siapapun yang ada disini.
Haya tak menyangka ia akan mengangguk dengan cepat. Menuruti semua perkataan Vino. Haya menunduk dan memeluk kedua kakinya. Vino dan Aldi berdiri, lalu pergi.
-
Zen terbangun di sebuah ruangan luas bersama tujuh orang lainnya. Dari semuanya, ia hanya mengenal Jev dan Wanda, dua teman sekelasnya. Sisanya adalah adik kelas yang tak ia tahu namanya.
“Jev?”
“Ya?”
“Sedang apa kita disini?” telunjuk Zen terarah ke lantai.
“Ibu Sofia ngasih tau ada bahaya di asrama, makanya beberapa siswa dibawa kesini dan sisanya ke ruangan lain.”
“Dibopong?”
“Aku sih dibangunin, kata mereka kamu sulit untuk dibangunin,”
Mulut Zen membentuk huruf o. Padahal biasanya ia akan terbangun dengan cepat, bahkan suara langkah kaki yang mendekat ke kamarnya bisa mmebuatnya terbangun. Mungkin kerena beberapa hari ini Zen kurang tidur.
Gara-gara Vino nyebar gosip gila itu, Zen berjanji dalam hati akan menyembur Vino jika mereka bertemu.
“Jev? Kamu kenal mereka?” Zen mengarahkan pandangan pada adik-adik kelasnya.
Jev menjawab dengan gelengan.
-
great story :)
Comment on chapter Batas ke 1