Di ruangan 5x5 meter tersebut, kehidupan dua gadis itu kembali dimulai di Ibukota. Dua buah koper besar, satu koper sedang, dan dua tas ransel yang juga berukuran besar tergeletak di salah satu pojok ruangan yang merangkap menjadi kamar tidur, ruang makan, hingga ruang tamu. Kamar kost mereka bentuknya seperti rumah dengan kamar-kamar. Di dalamnya terdapat enam kamar, dua kamar mandi, serta dapur yang cukup luas.
“Nin, kamu bawa apa aja, sih? Kok sampe dua koper gitu?”
Pemilik nama tersebut langsung duduk dan menghampiri barang bawaannya. “Aku bawa baju doang, kok, sama temen-temennya.”
“Temen-temennya tuh apa aja?” tanya Salwa yang ikut duduk.
“Ada kerudung, sepatu cuma sepasang, kosmetik bayi, sama buku-buku.”
“Kamu masih pake kosmetik bayi, Nin?” Hanin mengangguk santai. Tangannya mulai membuka resleting koper besar. “Aku kira libur hampir tiga bulan gini, kamu udah nggak pake kosmetik bayi.”
Hanin tertawa pelan. Satu-persatu tumpukkan baju dikeluarkan dari koper ke lemari lima laci. “Kayanya aku nggak bakal ganti produk, deh. Alat-alat bayi gini kan lebih aman bahan-bahan pembuatnya, yang lebih penting sih harganya murah dan awet.” Terdengar dengusan pelan dari Salwa, sementara Hanin kembali tertawa.
Sambil melanjutkan obrolan tentang barang bawaan dari kampung halaman masing-masing, tangan mereka cekatan membongkar koper dan tas. Hanin sibuk menata buku-buku yang ia bawa dari Pontianak ke atas rak buku yang terbuat dari kayu, yang letaknya dipaku di dinding. Sementara Salwa sibuk memindahkan makanan khas Padang yang dibuat langsung oleh Ibunya. Hingga dua jam tanpa jeda, barang-barang mereka sudah tertata rapih di tempat masing-masing.
“Eh, Nin, kayaknya kamar-kamar yang lain kok masih sepi, ya?”
“Masih di rumah masing-masing kali. Yang di luar pulau Jawa, kan, cuma kita aja. Kak Virna jauhnya di Pandeglang, atau Risti yang di Cibinong. Sisanya kebanyakan masih Jabodetabek, Sal.” Salwa mengangguk-angguk.
“Oh, iya, kamu di Pontianak ngapain aja? Ketemu hantu ponti nggak?”
Tangan Hanin langsung mencubit pinggang Salwa pelan. “Kamu tuh nggak bosen banget deh nanyain hantu ponti, itu kan cuma legenda.”
“Yaaa siapa tau aja kan beneran ada yang liat di zaman sekarang. Serius nih, kamu ngapain aja libur hampir tiga bulan?”
Hanin diam sejenak, matanya melihat ke arah langit-langit. Banyak kegiatan yang ia lakukan selama liburan di Pontianak. “Yang rutin sih ikut pondok tahfidz di kampung seberang, Sal. Lumayan lah hapalan aku nambah banyak dibanding pas ngampus. Terus, aku juga ngajar ngaji sama les baca tulis hitung anak SD di surau. Kalo pulang ngajar biasanya aku dapet nasi bungkus. Sisanya sih paling cuma baca buku, nonton film, sama main-main aja ke toko buku bekas.”
Ukiran senyum di bibir Salwa menunjukkan bahwa gadis itu merasa takjub dengan liburan Hanin yang baginya sangat positif dan bermanfaat. Berbeda dengannya yang lebih banyak meluangkan waktu untuk jalan-jalan ke berbagai tempat. Atau meningkatkan kuantitas tidur yang selama di Jakarta selalu saja kurang. “Keren... liburanmu berfaedah, Nin.”
“Kalo kamu ngapain aja?”
“Aku?” tanya Salwa, Hanin mengangguk sambil menggantungkan kerudungnya di gantungan besi. “Aku sih seringnya main, Nin. Tahfidz sama muraja’ah jujur aja aku paling cuma satu jam per hari, padahal waktuku banyak banget, ya. Entah kenapa aku baru sadar pas kamu cerita tentang liburanmu.”
“Iya, waktu luang kita banyak banget, sayang kalo dilewatin. Tapi itu semua kan udah terjadi, biarin aja. Yang penting kamu bisa jadiin pelajaran buat ke depannya.”
Salwa mengangguk cepat, senyum di bibirnya kembali terbit. Dalam hati ia selalu bersyukur memiliki sahabat seperti Hanin, yang selalu melihat segala sesuatu dari segi positif. Dua tahun hidup bersama Hanin, rasanya banyak sekali pelajaran yang ia dapat dari teman kamar kostnya.
“Nin, makan rendang buatan Amak-ku, yuk. Dijamin rasanya masih sama kayak yang kemarin-kemarin,” ajak Salwa dengan antusias. Banyak sekali makanan yang ia bawa untuk persediaan beberapa hari di kamar kostnya.
“Yuk, boleh tuh. Malemnya makan masakan Ibuku, ya.”
Salwa mengangguk. “Sambil nonton mau, nggak? Pas libur itu aku ke rumah sepupu yang ada wifi, lumayan aku download film banyak. Inshaallah seru-seru, Nin.” Usulan tersebut segera disetujui oleh Hanin. Beberapa jenak kemudian, keduanya larut dalam masakan rendang dan film yang memacu adrenalin mereka.