“Gimana? Ini cukup?” tanya Handoko kepada Cempaka yang hanya terduduk di balik meja kafe bersama Soraya. Handoko pulang setelah beberapa hari yang lalu Soraya menelepon dan mengutarakan keinginan untuk kuliah.
Tentu saja, selama ini Handoko meminta Soraya untuk kuliah tapi anak itu menolak. Dan, sekarang beliau tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Terlebih, semua ini berkat Cempaka. Soraya memang sangat menyayangi Cempaka, mereka bersahabat sejak di sekolah menengah atas. Soraya seringkali mengutarakan keinginannya untuk memiliki saudara dan dengan adanya Cempaka membuat Soraya begitu ceria.
“Om, ini berlebihan banget, deh! Cemcem nggak bisa nerima semua ini. Cemcem nggak enak sama Om, tante, Soraya juga,” jawab Cempaka tampak tak enak hati saat melihat Handoko menyimpan banyak tas belanjaan ke atas meja.
“Om nggak boleh ngasih hadiah buat anaknya sendiri?”
“Tapi, Om—”
“Udah, Cem! Nggak usah banyak protes, deh!” ucap Soraya memotong percakapan Cempaka dengan Handoko. Handoko tampak tersenyum lalu ikut duduk bersama dua gadis yang sejak tadi menemaninya di mall tersebut.
“Betul kata Aya. Lagian, Om beliin barang yang sama kayak Aya buat kamu. Nggak ada tolak-menolak. Om akan marah kalau kamu terus menolak.”
Cempaka menghela napas sesaat. Sebetulnya, ia merasa begitu sungkan dengan semua kebaikan keluarga Soraya. Mereka membiayai kuliah dan membelikan Cempaka perlengkapan kuliah serta kebutuhan pribadi. Cempaka hanya tidak ingin banyak berhutang budi karena dikasihani oleh keluarga Soraya. Tapi, perkataan Handoko membuat Cempaka tak dapat berkata-kata.
“Ya udah, Cemcem terima, Om. Makasih banyak. Tapi—“
“Cukup! Nggak pakai tapi,” potong Handoko, membuat mulut Cempaka akhirnya terkatup dengan rapat. “Hmm, untung aja pendaftaran mahasiswa baru masih dibuka. Kalian suka seenaknya kalau buat keputusan. Bukannya kuliah dari dulu, malah keluyuran nggak jelas. Makasih, ya, Cempaka. Karena kamu, Aya jadi mau kuliah. Walaupun Om tetap menyayangkan waktu dua tahun kalian terbuang percuma.”
“Papa apa-apaan, sih? Yang penting Aya mau kuliah, kan?”
“Hah, iya, iya! Ngomong-ngomong, tes masuknya bagaimana? Bisa jawab?”
“Waaa! Susah banget, Pah! Tapi, Aya sama Cemcem lolos tes, yeay!” teriak Soraya sumringah. Handoko mengacak-acak rambut anak gadisnya diiringi tawa riang.
Sementara, Cempaka membeku di tempat. Rasanya seperti sebilah bambu runcing menohok jantung. Menyesakkan dan menyakitkan. Tetapi, menyelipkan sebuah kerinduan.
Tanpa terasa sebutir air mata membasahi pipi Cempaka. Namun, dengan cepat gadis itu menghapus dan menghilangkan jejak kesedihannya dengan rapi. Tak ingin dua orang yang tengah tenggelam dalam romantisme ayah dan anak merasa terganggu oleh kesedihan klasik yang ia rasakan.
“Oke. Kalau gitu, Papa pergi dulu, ya? Emm, Cempaka!”
Cempaka langsung menoleh saat mendengar namanya disebut.“Ya, Om?”
“Mulai hari ini, kamu tinggal di rumah Om. Bukan cuma saat Om dan Tante nggak ada. Tapi, setiap hari. Setiap waktu. Kamu tanggung jawab Om sekarang.” Handoko mengakhiri ucapannya dengan senyuman yang hangat.
Pandangan mata Cempaka beralih berkali-kali dari Soraya dan Handoko. Tetapi, raut wajah dua orang yang teramat baik itu sama sekali tidak menampakkan gurauan. Senyuman mereka jelas menandakan senyuman kebahagiaan dan ketulusan.
“M-maksud Om?” tanya Cempaka tergagap.
“Om mau kamu jadi saudara perempuannya Soraya, jadi anak Om,” tutur Handoko lalu saling melempar senyuman dengan Soraya. Soraya mengangguk bersemangat dan langsung memeluk papanya seraya mengucapkan terima kasih, meluapkan kebahagiaan ala anak manja, seperti biasanya.
“Entah, Cemcem mesti bahagia ataukah sebaliknya. Tapi, apa semua ini nggak berlebihan buat anak menyedihkan kayak Cemcem?”
“Hei, kamu ngomong apa, sih? Sini, peluk Papa!” ujar Handoko lalu menarik Cempaka turut serta.
Beberapa saat kemudian, Handoko melepas pelukan lalu berpamitan kepada Soraya dan Cempaka. Ia hendak kembali ke kantor.
Sementara, Soraya dan Cempaka menikmati beef burger yang mereka pesan. Soraya dengan bersemangat mengunyah burger. Sedangkan, Cempaka masih terdiam. Ia lalu mendongak dan meraih lengan Soraya.
“Aya, gue nggak bisa—“
“Stop!” Soraya memotong perkataan Cempaka dan menatapnya. Ia tersenyum lalu menghela napas. “...kau mencuri hatiku, hatiku!”
Cempaka menjitak kepala Soraya dan menyandarkan tubuh pada sandaran kursi dengan sebal. Ia mendelik malas sementara Soraya yang tertawa terpingkal-pingkal, tak menghiraukan tatapan kesal Cempaka.
Cempaka mengalihkan pandangan ke arah lain sekadar menetralisir kekesalan. Namun, ia tertegun saat bertemu pandang dengan si pemilik iris mata hitam pekat. Hanya sesaat. Tatapan mata itu teralih saat Cempaka menyadari, seolah menghindari tatapan mereka bertemu.
Senyuman manis tampak dari bibir mungil Cempaka, ia beranjak lalu berjalan cepat meninggalkan Soraya. Soraya gelagapan, ia berusaha mengikuti langkah Cempaka. Hanya saja, tas belanjaan yang banyaknya tiada terkira menyulitkan Soraya. Hingga Soraya memutuskan untuk duduk dan menunggu Cempaka kembali.
Sedikit berlari kecil, Cempaka mengikuti lelaki yang terlihat berhenti di depan teller sebuah kafe lalu memesan coklat dingin. Cempaka tak melakukan pergerakan, ia hanya terdiam sambil tersenyum dalam jarak sekitar satu meter di belakang pria itu. Hingga dalam hitungan dua menit kemudian, lelaki itu berbalik dan tampak terkejut saat melihat Cempaka berdiri menatapnya sambil tersenyum.
“Hai,” sapa Cempaka lantas berjalan menghampirinya, namun lelaki itu melengos pergi tanpa berniat membalas sapaan Cempaka. Cempaka mengikuti lelaki itu, bahkan berusaha menyejajarkan langkah kakinya.
“Lo lupa sama gue? Gue yang waktu itu di food fair pakai kostum ayam!” ucap Cempaka kembali, menarik perhatian lelaki tersebut. Namun, sama sekali lelaki itu tak menghiraukan perkataan gadis di sampingnya.
“Emm, kata orang, kalau kita ketemu sama seseorang tanpa disengaja lagi dan lagi, mungkin itu jodoh namanya!” Cempaka terkikik geli. Sedikit terkejut ketika lelaki itu menghentikan langkah dengan tiba-tiba.
Lelaki itu tersenyum sebal, lalu berbalik menatap Cempaka. Senyuman itu menjelma menjadi senyuman manis tiada terkira.
Cempaka membalas senyuman itu dengan riang. Lalu tanpa ada kata terucap lagi, air berwarna coklat yang tadinya berada dalam wadah di tangan lelaki itu sukses berpindah ke kepala Cempaka. Lelaki itu tersenyum licik lalu pergi begitu saja.
Cempaka mengusap wajah yang basah karena siraman cinta si coklat dingin. Ia menatap kepergian lelaki itu dengan senyuman penuh tekad.
“Gue bakalan dapatin hati lo, kita jodoh Mas tampan. Gue yakin. Sarang tawon, Oppa!” tutur Cempaka lantas berjalan kembali menghampiri Soraya yang sudah menggembungkan pipi. Namun, langsung tertawa keras saat melihat kondisi Cempaka.
“Lo kenapa, Cem? Ya ampun! Hahaha!”
“Gue abis ketemu pangeran gue, Aya! Ah, gue yakin dia jodoh gue. Sumpah, dia ganteng banget!”
“Lha, terus ngapa rambut lo jadi bau coklat kayak gitu?”
“Ish, ini tuh tanda sayang dia ke gue. Xixixi!”
Soraya mengerutkan kening. Ia merasa Cempaka sudah sedikit kehilangan kewarasan. Tapi, Soraya merasa penasaran akan sosok yang disebut-sebut Cempaka sebagai pangerannya.
“Siapa?” tanya Soraya semakin heran.
Cempaka tersenyum tidak jelas lalu mengedikkan bahu. “Gue belum tahu, sih, siapa dia. Tapi, gue super yakin kalau dia jodoh gue!”
Soraya memutar bola mata. “Lo memang udah gila.”
Cempaka tersenyum semakin tidak jelas. “Gue yakin lo jodoh gue, lelaki Korea KW super! Kita juga udah main siram-siraman coklat cinta. Uh! Hati gue ada krenyes-krenyesnya!”
nice story
Comment on chapter 1. Balada Gadis Siluman Ayam