21. Diusir
21 // Diusir
Ara masuk ke dalam rumah dengan perasaan bahagia. Dia masih bertanya-tanya tentang hal yang tadi terjadi. Apakah mobil mereka menabrak seseorang? Lalu mengapa timbul keheningan setelah itu? Apakah Fabian mendapat masalah?
"Mungkin ada hal yang tidak boleh kuketahui," gumamnya. Tiba-tiba terdengarlah sebuah bunyi pintu yang tertutup. Ara melaju naik ke dalam kamarnya.
Saat ia masuk, benda yang paling disayanginya, yang dipinjamkan oleh Fabian, yakni topinya, sudah tidak berbentuk. Topi itu sudah tergunting habis dan sudah tidak berwujud seperti topi.
"Bella!" teriaknya marah.
????????????
"Va, apa ini akan berhasil?" tanya Bella pada temannya. Dia masih saja khawatir.
"Kamu tenang saja, Bella. Kamu sudah melakukan yang kusuruh, kan? Kalau iya, tugasmu selesai. Biarkan aku yang akan menyelesaikan hal ini. Kamu tinggal diam saja," jawab teman Bella. "Satu hal yang perlu kamu lakukan adalah percaya padaku. Sejauh ini, semua rencanaku tidak pernah gagal. Aku akan membuatnya tidak akan pernah gagal."
Brak
Ara membanting pintu kamar Bella. Di dalamnya, dilihatnya Bella sedang menyisir rambutnya sambil memegang ponsel.
"Ada apa, Kak Ara, kembaranku tersayang?" tanya Bella dengan raut pura-pura bingung. Dimatikan sambungan telpon antara dirinya dan temannya.
Brak
Dipukulnya meja belajar Bella dengan kencang. "Kamu sudah rusak topi yang ada di kamarku, kan?!" bentaknya.
"Kalau tidak, kenapa? Kalau iya, kenapa?" Bella menunjukkan wajah angkuhnya.
"-piip-" Ara langsung menghajar Bella.
Bella menangis dengan kencang saat mendengar suara pintu depan berbunyi.
"Bella, apa yang terjadi?" tanya mama sambil berteriak saat mereka pulang. "Kenapa kamu menangis." Mama bergegas ke kamar Bella. Terlihatlah Ara yang sedang memukuli Bella.
"Apa yang kamu lakukan?!" bentaknya.
????????????
"Jangan berani-beraninya kamu masuk ke dalam rumah dalam seminggu ini. Bahkan teras pun tidak layak untukmu. Tidurlah di jalanan!" bentak mama lagi. Dia benar-benar marah.
Ara menatap Bella marah. Dia keluar dari rumah dan berpapasan dengan papa.
"Papa dengar dari mama kalau kamu pukul adik kembarmu?" tanya papa dengan nada sinis.
"Iya, kenapa?"
"Kamu sudah mulai kurang ajar, ya!" Mata papa mengkilat marah. "Keluar kamu."
Inilah yang terjadi pada Ara sekarang, duduk di depan rumahnya, tanpa tahu apa yang harus dilakukannya.
"Apakah nasibku seperti ini? Kalau iya, hidupku malang sekali," katanya pada dirinya sendiri. Dia bersandar di dinding pagar. "Apakah aku bisa pergi dari kehidupan ini? Sebenarnya, bisa saja. Aku hanya ragu. Aku takut mereka akan sangat marah saat aku pergi."
Ara menatap malam yang baru saja tiba. Ditatapnya bintang yang mulai terlihat, dengan bulan purnama yang memantulkan sinar matahari.
"Menurut mimpiku, aku pernah melihat bulan bersama Bella. Tentunya hanya dalam mimpi. Karena dalam kehidupan nyata, hal itu sangat mustahil untuk terjadi." Ara menatap bulan itu. "Bagaimana kalau itu pernah menjadi nyata? Mungkin saja aku melupakannya."
Dia menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran itu.
"Ingatanmu tajam, Ra. Bagaimana mungkin kamu melupakan itu. Bahkan ada banyak mimpi serupa yang kamu lupakan."
Orang-orang yang berlalu lalang menatap Ara kasihan. "Kasihan sekali anak itu. Padahal dia terlihat pintar. Sayangnya dia tidak punya tempat tinggal dan malah berbicara seperti orang gila di depan rumah yang cukup mewah," kata seorang wanita pada laki-laki yang ada di sebelahnya.
Ara menatap mereka kesal.
"Hai, namaku Diva. Mau tinggal di rumahku saja?" tanya seorang gadis sambil tersenyum manis.
????????????
@silviagina makasih sudah mampir dan baca ceritaku ini :)
Comment on chapter 1. Ara & Bella