22. Hasil Rekaman
22 // Hasil Rekaman
"Silahkan dinikmati. Maaf cuma mi instan," kata Diva sambil tersenyum. Ara kembali tersenyum. Diva sangat baik padanya hingga mengizinkannya tinggal di rumahnya.
"Sepertinya kamu kesepian di rumah ini," celetuk Ara.
"Mengapa seperti itu?"
"Karena tidak ada orang lain selainmu," jawab Ara sambil memegang piring yang diberikan padanya.
"Oh, orangtuaku sedang ada pekerjaan di luar kota. Karena mempercayaiku yang sudah mulai dewasa, mereka meninggalkanku seorang diri di sini, tanpa pembantu dan hal semacamnya." Diva menuangkan Ara segelas air putih.
"Tapi kenapa kamu memperbolehkan aku masuk ke dalam rumahmu dengan gampangnya? Anggap saja aku bermaksud jahat, kan bisa jadi berbahaya." Ara bertanya-tanya.
"Aku tahu kamu soalnya. Kamu satu sekolah denganku," kata Diva.
Ara terkejut. "Benarkah? Aku tidak pernah melihatmu berkeliaran di sekolah."
"Hidupku hanya berada di dalam ruangan kelas. Aku jarang sekali pergi ke kantin. Aku tidak makan siang. Makan pagi sudah cukup untukku," cerita Diva.
"Kamu kelas berapa? Apa kita seumuran?"
"Tentu saja kita seumuran. Tapi sayangnya aku berbeda dua kelas darimu. Aku hanya menjalani hari-hari sekolahku seperti anak-anak pada umumnya, tidak melompati kelas," kata Diva yang cenderung terdengar sarkastik.
"Oh." Ara langsung terdiam dan menghabiskan makanannya.
"Ngomong-ngomong, kamu tadi diusir?" tanya Diva, kembali ke dalam senyumnya yang manis, seakan sindirannya tidak pernah dilontarkan.
"Iya."
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Diva lagi.
"Sepertinya belum saatnya menceritakannya padamu."
????????????
Bella berjalan mondar mandir di dalam kamarnya. Jujur saja, dia bingung. Bagaimana mungkin dengan mengusir Ara dari rumah bisa membuatnya dekat dengan Fabian? Bukankah itu tidak ada hubungannya?
"Sebenarnya, apa yang ada di pikirannya? Apa yang dia rencanakan?" pikir Bella. Dia berbaring. "Sial, otakku tidak pernah digunakan seperti ini. Terasa sangat sakit."
????????????
Beberapa hari telah berlalu. Ara masih menumpang di rumah Diva. Tentunya, dengan balasan berupa uang makan. Diva menyambut uang itu dengan senang.
"Boleh aku bertanya?" tanya Diva pada Ara.
"Tentu."
"Apa saja?"
"Tentu saja, aku pasti jawab." Tanpa sadar, Ara melontarkan kalimat itu.
"Oke, kalau begitu, apa yang terjadi padamu saat itu? Kenapa kamu berada di luar pagar orang?" tanya Diva.
Ara menghela napas, menyesali jawabannya. "Aku diusir dari rumahku sendiri."
"Benarkah? Bagaimana bisa orangtua mengusir anaknya seperti itu? Apakah mereka orangtua tirimu?" tanya Diva lagi.
"Bukan, mereka orangtua kandungku. Sampai sekarang, aku masih tidak tahu apa alasan mereka membenciku," jawab Ara.
"Kalau aku jadi kamu, aku sudah pergi dari rumah itu. Diusir itu tidak manusiawi," marah Diva. "Kamu tidak marah?"
"Sangat marah. Mereka benar-benar keterlaluan. Ingin rasanya menghajar mereka balik. Ingin rasanya merusak segala hal yang ada di dalam rumah dan menghajar adik kembarku yang sangat menyebalkan." Kemarahan Ara sudah tidak dapat dipendam lagi.
"Separah itu, kah?"
"Ingin rasanya mengharapkan mereka mati. Rasa dendam selalu muncul dalam benakku. Tapi semarah-marahnya aku pada mereka, aku tidak akan mengkhianati mereka. Aku akan tetap menjadi Ara yang mereka tahu. Menjadi seorang anak yang tegar menghadapi setiap kesulitan yang timbul setiap harinya." Ara menceritakan isi hatinya dengan panjang lebar.
Diva tersenyum. Namun, lama-lama senyum itu terlihat seperti senyum jahat.
????????????
Hukuman satu minggu di luar rumah sudah berakhir. Sepulang sekolah, Ara langsung masuk ke dalam rumahnya. Alangkah terkejutnya ia saat melihat orangtuanya memandangnya tajam.
"Mama, papa, ada apa?" tanyanya takut.
"Kamu mengharapkan kami mati, hah?" tanya mama.
Kebingungan datang. Apa yang mamanya katakan?
"Tidak usah sok suci. Kamu berani mengatai kami di belakang?!" bentak papa.
"Apa yang terjadi? Apa yang kalian bicarakan?" tanya Ara bingung.
"...mereka benar-benar keterlaluan. Ingin rasanya menghajar mereka balik. Ingin rasanya merusak segala hal yang ada di dalam rumah dan menghajar adik kembarku yang sangat menyebalkan..."
Suara rekaman itu terhenti sejenak lalu bersambung kembali.
"...ingin rasanya mengharapkan mereka mati. Rasa dendam selalu muncul dalam benakku. Aku akan mengkhianati mereka."
"Pengkhianatan seperti apa yang kamu rencanakan?"
Ara terkejut. Menurut ingatannya, dia berkata bahwa dia tidak akan mengkhianati orang tuanya. Dia juga berkata akan tegar melalui segala masalah. Apa yang terjadi? Mengapa hasil rekaman ini sangat berbeda dari yang ia ucapkan? Dan dari mana rekaman ini berasal?
Dia mencurigai seseorang.
Diva.
????????????
@silviagina makasih sudah mampir dan baca ceritaku ini :)
Comment on chapter 1. Ara & Bella