17. Bolos
17 // Bolos
Ara duduk di depan kaca, dengan gunting besar di tangan.
"Papa ngeselin. Kenapa harus rambut, coba? Selarut ini nggak ada lagi salon yang buka," gerutu Ara. Dia memandangi rambutnya yang panjang miris.
Dia mengangkat gunting itu.
"Selamat tinggal, rambutku. Mulai besok, kamu akan berubah menjadi Ara yang berambut pendek." Ara menggunting rambut kesayangannya terpaksa.
Ara terhenti sejenak saat dirasanya sudah cukup. Kemudian dilihatlah dirinya di kaca.
"Kamu mungkin hebat di pelajaran, Ara. Tapi dalam hal seperti ini kamu sangat kurang," gerutunya lagi. Hasil potongannya sangatlah kacau.
Dihempaskannya tubuhnya ke ranjang, dengan topi Fabian yang masih ada padanya. Dia melepas perban yang ada di kepalanya. Tiba-tiba dia meringis kesakitan.
"Aku baru ingat tadi papa lempar vas bunga padaku. Aku baru lihat kalau ada beberapa serpihan yang menempel di kulitku. Pasti sakit kalau kutarik," ringis Ara. Diambilnya pinset dan dikeluarkannya pecahan vas bunga itu perlahan-lahan.
"Wah, banyak juga," katanya. Dilihatnya pecahan itu yang memiliki sedikit darah di ujungnya. Dia tersadar.
"Mama dan papa melunak? Apa masa penyiksaan ini akan berhenti?" tebaknya.
????????????
"Ara, rambutmu," kata Clara dengan tatapan kasihan.
Di pagi hari, di perjalanan ke sekolah, Ara sempat mampir ke sebuah salon kecil di pinggir jalan untuk merapikan rambutnya. Dan inilah nasib rambut Ara saat ini. Dengan rambut sebahu dan senyum yang memesona, dia mengagetkan Clara.
"Dasar, anak nakal. Bisa-bisanya tersenyum pada kejadian ini," jitak Clara pada kepala Ara. Malangnya, Clara menjitak luka yang kemarin baru didapat Ara.
"Sakit," ringis Ara sambil memegangi kepalanya.
Clara langsung panik. "Maaf, Ara. Aku benar-benar tidak tahu. Aku lupa, maaf."
"Tapi ngomong-ngomong, kamu tahu dari mana kejadian semalam?" tanya Ara. Dia curiga kalau Clara adalah penguntitnya.
"Itu karena ulah permen karet, kan? Kamu tidak ingat? Setahun yang lalu, kamu memotong rambutmu sependek ini juga karena hal yang sama. Bagaimana mungkin aku tidak tahu?" Clara menepuk bahu Ara. "Ayo kita masuk ke dalam kelas."
????????????
Ara menatap ke luar jendela. Dilihatnya beberapa anak laki-laki kabur dari sekolah dan nongkrong di warung dekat sekolah. Ingin merasakan rasanya bolos walau hanya sekali.
"Apa aku coba bolos saja, ya? Bagaimana dengan hari ini?" tanyanya pada dirinya sendiri. "Oke, ayo kita bolos."
Guru di depan sedang menjelaskan. Dengan sabar, dia menunggu guru itu selesai berbicara untuk meminta izin ke toilet. Satu menit menunggu, akhirnya guru itu berhenti menjelaskan dan mengizinkan Ara pergi ke toilet.
"Apa yang biasa dilakukan orang saat bolos?" gumam Ara. Dia tidak pernah sama sekali melakukan hal tercela ini.
"Kamu mau bolos?"
Ara terlompat ke depan saat Fabian muncul dari belakangnya, sangat dekat dengannya. Jantungnya kembali berdesir.
"Kamu mau bolos? Pas sekali, aku juga mau bolos. Ayo kita bolos bersama," ajak Fabian. Karena langkah kakinya yang panjang dan kecepatan berjalannya yang termasuk cepat, Ara terpaksa berlari kecil di sampingnya.
????????????
"Jadi ini rasanya bolos." Saat ini Ara ada di atap sekolah. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya. Senyum merekah di wajahnya.
"Kamu belum pernah bolos sekalipun?" tanya Fabian. Tentu saja dia bingung, karena sejak tadi Ara bertanya ke mana dia harus pergi saat bolos. Itu termasuk pertanyaan bodoh yang dilontarkan anak sepintar Ara.
"Belum pernah." Ara membaringkan dirinya di atas karung yang terdapat di atap. "Aku pikir bolos itu kalau pergi dari sekolah. Sepertinya bolos keluar lebih menantang dan memacu adrenalin."
"Jangan coba-coba." Fabian duduk di sampingnya. "Saat ini guru-guru sudah lebih pintar. Mungkin saja suatu hari mereka memanen murid-murid yang bolos."
"Pokoknya terima kasih sudah menemaniku bolos hari ini. Aku sangat senang," kata Ara sambil menutupi wajahnya yang sudah merah itu. Fabian tertawa geli melihatnya.
????????????
@silviagina makasih sudah mampir dan baca ceritaku ini :)
Comment on chapter 1. Ara & Bella