7. Sakit
7 // Sakit
"Wah, hebat sekali pulang larut malam."
Jantung Ara berdegup dengan kencangnya saat mendengar suara yang sangat dikenalnya. Mama, menatapnya dengan tampang sangar. Matanya berkilat amarah.
Ara terhenti di tempatnya.
"Jangan masuk ke rumah. Pergi sana. Kalau memang pulang malam, kenapa tidak sekalian tidur di luar? Memangnya ini hotel? Bella mencarimu, ingin bertanya tentang pelajarannya di sekolahnya. Seharusnya kamu ada di rumah dan mengajarkan padanya agar dia pintar." Mama membentak Ara dengan kasar. "Keluar kamu, anak durhaka!"
Ara keluar ke teras dan pintu utama dikunci oleh mama. Walau sakit hati yang Ara terima sangat besar, namun dengan optimisnya dia bergumam, "Mama masih menungguku pulang. Dia takut aku kenapa-napa." Lalu dia tersenyum. Dia membaringkan dirinya di posisi kemarin dia tidur. Kepala Ara terasa pusing kembali.
"Tahun ini, aku harus ikut kelas akselerasi. Aku harus belajar," gumam Ara pada dirinya sendiri. Dia membuka bukunya dan mulai belajar.
Hatchim
"Bersin lagi. Jangan sampai sakit Ara. Kamu sendiri yang akan repot," gumamnya lagi. "Ayo belajar."
????????????
"Ara, kamu baik-baik saja?" tanya Clara khawatir saat bel istirahat berbunyi. "Wajahmu tambah pucat. Mau ke UKS?"
"Tidak. Aku baik-baik saja. Aku mau belajar." Ara tetap duduk di tempat duduknya sambil memegangi kepalanya.
"Ara, dengarkan aku." Clara memegang tangan Ara yang sudah mendidih itu. "Tidak apa tidak ikut kelas akselerasi. Kamu tidak harus, kok. Jangan khawatirkan tentang itu. Kamu harus—"
"Tapi kalau aku tidak ikut, kamu bakal setingkat dariku dan kita tidak bisa sekelas lagi. Dan aku tidak bisa meninggalkan kedua orangtuaku dengan cepat," kata Ara.
"Kamu bisa langsung pergi meninggalkan mereka, bukan?"
"Aku ingin melakukannya tanpa melukai hati mereka. Jika aku mendapat beasiswa di luar kota atau bahkan luar negeri, aku bisa menikah di sana dan tinggal di sana selama yang aku inginkan. Aku tidak harus di sini. Tapi kalau aku masih harus menunggu satu tahun lagi, mereka akan menghajarku lebih parah." Ara memegangi kepalanya lagi.
"Kamu bisa langsung kuliah, bukan? Tidak perlu belajar di kelas dua belas. Lagipula Kak Heri bisa mengajarkannya secara cepat padamu. Ya?" ajak Clara.
Bruk
"Ara!" Clara panik. Dia mengangkat Ara dengan kekuatannya. Ia sudah terbiasa dengan beban yang lebih daripada beban dirinya. Jadi pasti mudah baginya untuk menggendong Ara yang hampir setengah dari dirinya. Clara menatap sahabatnya dengan sedih. Ara tampak sangat kurus. Berapa hari dia tidak makan?
"Loh, Clara? Ara datang lagi ke sini?" tanya suster itu bingung.
"Iya, sus. Titip Ara sebentar, ya. Mau beli makanan untuknya." Clara langsung melesat pergi ke kantin untuk membeli makanan untuk Ara.
????????????
Ara membuka matanya. Dilihatnya Bella yang sedang berlinang air mata.
"Kak Ara!" Bella memeluk Ara dengan erat.
"Kenapa, La?" tanya Ara terkejut.
"Tadi Kak Ara tiba-tiba pingsan. Bella panik," ujar Bella yang baru saja berumur lima tahun. "Dua hari yang lalu Bella janji nggak bakal sakit lagi. Kenapa sekarang kakak yang sakit. Bella sedih."
Ara mengusap mata Bella penuh kasih sayang. "Maafkan kakak, ya. Karena ini, kamu juga tahu, kan, perasaan kakak saat kamu sakit?"
"Iya." Bella mengusap air matanya. "Besok kakak sembuh, kan?"
"Iya. Bella jangan nangis lagi, ya. Kakak nggak mau Bella nangis. Bella harus senyum," ujar Ara.
"Tapi kakak harus janji kalau besok sudah sembuh. Janji?" Bella mengangkat jari kelingkingnya.
"Janji." Ara membalas kelingking itu dengan kelingking miliknya yang masih pucat akibat sakit.
????????????
"Kamu sudah bangun?" tanya suster itu. "Minum dulu obatnya."
Ara membuka matanya. Mimpi itu lagi. Mengapa semua mimpi itu tentang kenangan indah bersama keluarganya? Apakah karena dia terus mengidamkannya? Sebenarnya tidak apa karena itu bisa membawa Ara ke dalam dunia tanpa rasa sakit atau kesedihan. Namun saat terbangun, yang selalu datang adalah rasa kekecewaan. Kecewa karena hal yang dia impikan tidak akan pernah menjadi nyata.
????????????
@silviagina makasih sudah mampir dan baca ceritaku ini :)
Comment on chapter 1. Ara & Bella