6. Andaikan
6 // Andaikan
"Ara," teriak Clara saat dia sampai di UKS. "Kenapa?"
"Dia pingsan tadi. Terus ada banyak bekas goresan pisau dibadannya," kata suster itu. Fabian masih menatap Ara dengan rasa iba.
"Sebenarnya ada apa dengan Ara?" tanya suster itu. "Dia tidak berniat bunuh diri, kan?"
Clara bingung harus menjawab apa. Ingin rasanya berkata kalau ini salah kedua orangtua Ara. Namun, pada lain sisi, jika hal ini terdengar sampai ke telinga Bella, maka Ara akan dihukum jauh lebih parah daripada kali ini. Kalaupun para polisi menangkap kedua orangtua Ara, Bella bisa menghubungi keluarga besarnya dan menyiksa Ara tanpa diketahui. Bagaimana Clara tahu? Dia diam-diam menyusup ke dalam acara keluarga Ara dan Bella. Di sana, mereka membahas tentang itu.
"Clara?" Suara suster itu menyadarkan Clara akan kenyataan.
"Dia tidak berencana bunuh diri. Namun ada masalah yang membuatnya seperti ini. Mungkin dia disiksa oleh preman atau orang yang membullynya." Clara terpaksa mengatakan kebohongan itu.
"Lain kali, dia harus lebih hati-hati. Tolong jaga dia. Goresan pisau ini sangat berbahaya. Untung saja tidak terkena tempat-tempat yang berbahaya seperti, leher, pergelangan tangan, dan mata," kata suster itu.
"Baik."
????????????
"Clara," panggil Fabian saat mereka sudah diminta keluar dari UKS. "Bagaimana cara dia pulang ke rumah? Mobil atau motor?"
Clara mendengus kecil. "Jalan kaki."
"Jangan main-main. Aku sedang serius."
"Aku juga serius. Dia selalu jalan kaki. Maaf, ya. Aku tidak ada urusan lagi denganmu. Jangan bicara lagi denganku." Clara meninggalkan Fabian yang menatap kepergian Clara dengan sedih.
"Kenapa kamu selalu kasar padaku sejak kejadian itu?" kata Fabian dalam hati.
"Hei, Fab. Ngapain di tengah jalan?" tanya seorang teman Fabian.
Fabian terdiam.
"Masalah dengan Clara lagi? Sudah kubilang, luruskan dulu permasalahannya. Karena sampai sekarang dia masih salah paham," kata orang itu.
"Sudah kucoba, Vin. Dia susah mendengar penjelasan," kata Fabian pada temannya, Ervin.
"Aku bantu. Asal kamu beritahu aku apa yang terjadi pada Ara," kata Ervin.
"Deal."
????????????
"Selamat malam, Ara. Nyenyak sekali tidurnya," kata Clara saat Ara membuka matanya.
"Berapa lama aku tertidur?" tanya Ara panik. "Harusnya aku tetap di kelas."
"Kamu sakit, Ra. Baru tidur empat jam, kok. Masih bisa mengejar ketinggalan. Kan teman baikmu ini mencatat untukmu. Mana terima kasihnya?" Clara membusungkan dadanya sombong.
Ara menimpuknya dengan bantal.
"Ngomong-ngomong, mau ke rumahku dulu? Kakakku pulang dari konverensi bersama ilmuwan-ilmuwan lain. Dia pasti bisa mengobatimu hingga sembuh," ajak Clara.
"Kak Heri?"
Clara mengangguk semangat. "Dia kakakku yang paling kamu sukai, kan? Dia benar-benar pintar sampai kamu ingin mencontohi jejaknya."
"Tentu saja. Dia orang yang hebat. Aku ikut." Ara menapakkan kakinya ke lantai. "Sudah jam pulang sekolah, kan? Ayo."
Clara memapah Ara ke mobilnya lalu membawanya ke rumahnya. Rumah yang Ara idamkan. Bukan karena ukurannya atau kemegahannya, tapi kehangatan dari tiap anggota keluarganya.
"Ara!" jerit kakak perempuan Clara, Kak Karia. "Udah lama nggak datang ke sini. Apa kabarnya?"
"Buruk." Clara menjawab kakaknya. "Di mana Kak Heri?"
"Di laboratorium, sama papa," jawab Kak Karia.
"Oke."
????????????
"Ara!" Kak Heri berlari menghampiri Ara lalu memeluknya. "Kenapa adik kecilku ada di sini? Ada apa?" Kak Heri mengusap kepala Ara dengan lembut. Bagi Ara, orang yang paling dia sayangi adalah Kak Heri. Dia memiliki sosok ayah yang semua orang idam-idamkan. Saat ini, Kak Heri sudah menikah dan memiliki satu orang anak berumur dua tahun.
"Dia disiksa orangtuanya. Perlu diobati." Clara menjawabnya singkat.
"Hah?" Papa Clara membelalakkan matanya terkejut. "Memangnya kamu ngapain sampai disiksa seperti itu?"
"Ara buat Bella pingsan," jawab Ara.
"Dasar setan itu. Ingin rasanya kucabik dengan tanganku sendiri." Mata papa mengkilat penuh amarah.
"Jangankan membunuh orang. Membunuh nyamuk saja tidak bisa," ejek Kak Heri.
"Jangan ejek papamu seperti itu, anak durhaka!" teriak papa kesal. "Sini kamu. Kucabik-cabik tubuhmu dengan tangan."
Kak Heri berlari keluar. Beberapa menit kemudian, dia kembali dengan sebotol salep.
"Kalau lukanya sudah tertutup, pakai salep ini. Kalau belum, tinggal ditutup saja dengan plester. Kalau lukanya lebar, harus dijahit. Datang saja ke sini. Kakak bisa jahit," kata Kak Heri.
"Iya."
"Rara!" teriak seseorang dari arah pintu. "Mama kangen sama kamu." Seorang wanita yang kelihatan masih muda memeluk Ara dengan erat. Dia adalah mama Clara, Kak Heri, Kak Karia, dan seorang anak lagi bernama Velesia. Jangan tertipu dengan wajahnya yang terlihat muda. Dia sudah hampir berumur enam puluh tahun. Dia menganggap Ara sebagai anaknya sendiri saking sayangnya pada Ara.
"Mama menjijikkan," ejek Clara.
Mama langsung memelototi Clara. "Dasar anak durhaka." Mama langsung berlari mengejar Clara. Mama melempar sebutir telur.
"Mama—"
Plok
Telur itu salah sasaran dan malah mengenai seorang yang baru menampakkan diri di depan pintu.
"Mama!" teriak Velesia, kakak Clara yang saat ini sudah bekerja.
"Huaaa!" Mama langsung melarikan diri darinya.
Ara menatap kejadian di depannya dengan pilu. "Andai saja keluargaku seperti ini. Andai saja rumahku ada canda tawa. Andai saja kedua orangtuaku baik. Yang kudapat dalam rumahku hanyalah jeritan kesakitan saat disiksa, ejekan yang menyayat hati, dan siksaan setiap hari. Andai saja kedua orangtuaku seperti mereka. Andaikan saja, aku lahir dalam keluarga ini, pasti hidupku lebih baik," pikir Ara dalam hati.
????????????
@silviagina makasih sudah mampir dan baca ceritaku ini :)
Comment on chapter 1. Ara & Bella