4. Kecewa
4 // Kecewa
Plak
Buak
"Beraninya kamu mencelakai adikmu sendiri. Lihat dia tersiksa sampai sebegitunya," bentak mama sambil memukul dan menampar Ara. Dia menjambak rambut Ara. "Dengar, tidak?!"
Ara mengangguk. Seluruh tubuhnya penuh dengan darah. Bukan hanya pukulan dan tamparan saja, tapi goresan pisau yang dibuat oleh papanya pada tangan dan kakinya.
"Bagus, sekarang kamu di sini dulu. Saya mau membersihkan diri dari orang hina seperti kamu." Mama pergi dari tempat itu.
Papa menatapnya tajam. "Siapa kamu, sampai bisa-bisanya menyiksa Bella. Untung saja Bella hanya pingsan. Jika lebih parah daripada itu, bukan hanya tangan dan kakimu yang saya goreskan pisau. Leher dan pergelangan tanganmu juga akan kulukai. Camkan itu." Papa pergi meninggalkan Ara bersama Bella.
Bella tertawa puas. "Aduh, kakakku yang paling kusayang, kasihan sekali melihatmu sekarang." Dia tertawa kembali. "Inilah balasan karena dengan sengaja menyiksaku. Jangan pernah coba-coba lagi. Aku punya papa dan mama yang ada di pihakku. Sedangkan kakak, tidak ada siapa-siapa. Kakak bahkan hanya seperti pembantu yang selalu disiksa di rumah ini. Jadi, jangan macam-macam denganku, kak."
Ara menatap Bella pilu. "Bella, kamu tetap orang yang paling penting dalam hidup kakak."
Bella mendecih. "Jangan munafik. Bahkan kakak tidak ada di pihakku saat aku sedang dalam kondisi sengsara. Perkataanmu itu hanyalah sampah. Sampah yang dikeluarkan oleh orang rendahan sepertimu."
Bella pergi meninggalkan Ara yang sedang menangis. Tiba-tiba, mama datang dengan wajahnya penuh kebencian. "Hari ini kamu tidur di luar. Jangan berani-beraninya masuk ke dalam rumah. Kamu akan mendapat hukuman lebih parah daripada ini."
Ara melangkahkan kakinya ke teras rumah. Tempat ini bukanlah tempat yang layak untuk tidur. Tapi apa boleh buat, Ara sudah diusir. Ara membaringkan badannya di lantai teras.
Hujan turun dengan derasnya bersama angin kencang yang mengikutinya. Bahkan dalam naungan atap pun, Ara tetap ditimpa derasnya air hujan yang turun. Dengan pasrah dia tertidur.
????????????
"Hujan!" teriak dua orang anak sambil melompat-lompat kegirangan. "Main hujan, boleh?" Mereka menatap mama mereka penuh harap.
"Tidak boleh—"
"Mama jahat!" potong mereka berdua.
"Hei, hei. Mama belum selesai bicara. Tidak boleh kalau tidak pakai jas hujan," sambung sang mama.
"Yey, terima kasih mama," sahut kedua orang anak dengan gembira. Mereka langsung memeluk mama mereka, mengambil jas hujan dan keluar dari rumah.
"Bella paling suka kalau hujan karena bisa main sama Kak Ara. Bella paling sayang kakak." Seorang anak bernama Bella mengutarakan perasaannya yang dia dapat saat bermain hujan-hujanan bersama kakak kembarnya, Ara.
"Aku juga senang karena bisa main dengan Bella. Biasanya Bella dirawat di rumah sakit. Ara pengin main sama Bella, tapi mama nggak kasih. Bella sudah sehat, kan?" tanya Ara.
"Bella sudah sehat. Bella sampai lupa Bella pernah sakit. Hehe." Bella tertawa penuh kebahagiaan.
"Kita bisa main hujan terus, dong?" Ara memeluk Bella dengan erat. "Bella jangan sakit lagi, ya. Ara sayang Bella, nggak mau lihat Bella sakit lagi."
"Bella tidak akan sakit lagi."
"Janji?"
"Janji."
"Sudah, yuk. Nanti masuk angin." Mama tiba-tiba menampakkan diri. "Kalian kelihatan senang sekali."
"Bella janji nggak akan sakit lagi. Ara senang," kata Ara sambil tersenyum bahagia.
"Kak Ara janji kita bakal main hujan-hujanan terus. Bella senang," kata Bella ikut tersenyum.
"Mama juga senang melihat kalian berdua bahagia. Ayo ganti baju. Kalau masuk angin nanti sakit, loh." Mama mengeringkan badan mereka dengan handuk. "Besok ulang tahun kalian yang kelima. Harus tidur cepat biar besok bisa merayakannya dengan lancar."
"Siap, mama!"
????????????
Ara terbangun saat seekor kucing menggeliat di tangannya. Luka yang didapatnya kemarin masih belum tertutup. Darah mengalir di lantai teras. Ara langsung membersihkannya dengan air. Lalu dia duduk, terdiam.
"Andai yang kuimpikan itu nyata. Andai mereka memang menyayangiku sampai seperti itu. Tapi sayangnya kenyataan tidak sesuai harapan," gumam Ara sedih. Saat Ara berumur empat tahun, ia dipaksa belajar pelajaran kelas satu. Bahkan berbicara pun masih tersendat-sendat. "Andai aku dilahirkan di keluarga yang menyayangiku. Pengandaian itu tidak nyata dan karena itu, hanya kecewa yang kurasakan sekarang."
????????????
@silviagina makasih sudah mampir dan baca ceritaku ini :)
Comment on chapter 1. Ara & Bella